Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Bahasa di Tangan Penulis Media
31 Oktober 2021 11:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ersya Fadhila Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Nanti kita mencari kata kunci harus riset dari Google Trends dulu, ya, kita terapkan SEO,” ujar salah satu senior kala mengajari para penulis baru di sebuah portal media daring. Portal berita itu belum lama berdiri, berkisar tiga bulan sebelum saya dan dua penulis lainnya bergabung. Kami, para penulis baru, mau tak mau berhadapan langsung dengan “oknum” asing bernama SEO.
ADVERTISEMENT
Pengoptimalan mesin telusur atau dalam bahasa Inggris search engine optimization (SEO), merupakan keputusan besar bagi sebuah media untuk mendulang keuntungan. Penggunaan kata kunci yang tepat di artikel paralel dengan peningkatan situs dan reputasi sebuah media, di luar aspek teknis dan teknologi mesin pencari. Tugas penulis bukan lagi meriset isu, tetapi juga meriset kata kunci yang populer di masyarakat.
Mengapa harus kata kunci yang populer? Menurut laman resmi Google, praktik telusur kata atau frasa membantu artikel yang dimuat untuk mencapai laman teratas pencarian Google. Sering kali, para jurnalis dan penulis media daring mengorbankan padanan kata bahasa Indonesia dengan padanan kata bahasa asing yang lebih lazim terdengar di telinga masyarakat. Walaupun menggunakan bahasa Indonesia, ejaan yang dipilih bukan lagi ejaan yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi ejaan yang sering muncul di mesin pencari.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang Indonesia mengetahui ejaan yang tepat menurut KBBI. Namun, bagaimana dengan sebagian masyarakat kita lainnya sampai-sampai para jurnalis dan penulis mengadopsi kata yang keliru sebagai kata kunci pada artikelnya? Saya, seorang mantan penulis konten media daring, menjadi saksi bagaimana bahasa ibu kita semakin luntur kelestariannya di tangan para penulis.
Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia kian surut pengejanya di tanah air kita, yang sialnya juga didorong oleh pengaruh media massa. Bagaimana tidak? Masyarakat, terutama generasi muda yang ingin terlihat “gaul”, cenderung menyelipkan bahasa asing di setiap kalimat yang diucapnya.
Kadang kala, meskipun menggunakan bahasa Indonesia, pelafalannya belum tentu benar. Contohnya, Anda lebih familiar dengan kata “handal” atau “andal”? “Hembus” atau “embus”? “Silahkan” atau “silakan?” Sadar tidak sadar, penggunaan kata search engine optimization ketimbang pengoptimalan mesin telusur juga menjadi salah satu wabah kebahasaan yang terus menggerogoti sendi kebahasaan penulis daring.
ADVERTISEMENT
Media massa mengemban andil yang besar dalam menyebarkan frasa dan ejaan kata yang akrab di telinga masyarakat. Media menjadi medium subur dalam menyampaikan berbagai macam pesan, tak terkecuali bahasa. Alih-alih meluruskan ejaan atau padanan kata yang keliru, media terus-menerus mereproduksi kekeliruan sehingga masyarakat terjebak di dalam jurang antibahasa ibu kita.
Dilema penulis dalam pemilihan kata kunci nyata adanya. Penulis mau tak mau harus memilih padanan kata yang populer karena kebijakan redaksi. Demi mendongkrak pendapatan situsnya, media massa terkadang merelakan bahasa mereka sendiri.
Solusi atas permasalahan ini adalah jurnalis dan penulis haruslah memperbanyak produksi konten tentang pelurusan bahasa yang salah di masyarakat. Selain itu, redaksi seharusnya mengutamakan aturan penggunaan padanan kata dalam bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing serta melakukan koreksi berulang terhadap unsur kebahasaan konten.
ADVERTISEMENT
Selain untuk memutus benang panjang kekeliruan bahasa, media massa membantu agar penutur bahasa Indonesia sadar atas kekayaan bahasanya. Penggunaan siasat optimalisasi mesin telusur bukanlah instrumen pelunturan bahasa, tetapi alat yang potensial untuk memperkenalkan padanan kata “baru” kepada masyarakat.