Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
AI Bisa Mengajar, Tapi Tak Bisa Mendidik Hati
8 April 2025 17:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Erwandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pagi itu, saya duduk di bangku kayu panjang sebuah ruang guru di salah satu kecamatan di Pangkalpinang sambil menyeruput kopi hitam mengepul, dan suara ayam kampung sesekali menyusup lewat jendela. Di depan saya, Pak Ishak—guru SD yang telah mengajar lebih dari 20 tahun—menatap layar laptop tuanya dengan dahi berkerut.
ADVERTISEMENT
“Saya baru belajar pakai ChatGPT buat bikin RPP. Katanya biar cepat. Tapi... saya masih bingung, apa iya nanti anak-anak bisa belajar lebih baik dengan begini?”
Saya tidak langsung menjawab. Karena pertanyaan itu tidak hanya tentang teknologi. Tapi tentang arah dan makna dari pendidikan itu sendiri.
Hari ini, dunia bergerak cepat. Terlalu cepat. Teknologi seperti Artificial Intelegence (AI) bukan lagi masa depan, tapi masa kini. Sekarang, guru bisa dengan mudah mengakses ribuan contoh soal, merancang materi, bahkan menggunakan robot untuk menjelaskan konsep fisika yang rumit. Di satu sisi, ini kemajuan luar biasa. Di sisi lain, kita perlu bertanya: apakah semakin canggih cara mengajar berarti semakin berhasil pendidikan kita?
Karena sejatinya, pendidikan bukan cuma tentang mengisi otak, tapi tentang membentuk hati.
ADVERTISEMENT
Saya percaya, tak ada teknologi secanggih apa pun yang bisa menggantikan kekuatan tatapan mata guru yang tulus, atau pelukan diam saat murid kehilangan semangat. AI bisa mengoreksi jawaban. Tapi AI tidak akan pernah bisa menangkap lirihnya suara murid yang patah hati karena orangtuanya bercerai.
Kita sedang berada di persimpangan besar dalam sejarah pendidikan. Di satu sisi, kita didesak untuk akrab dengan teknologi, mengejar kurikulum digital, dan mempercepat literasi sains. Tapi di sisi lain, angka kekerasan di sekolah meningkat, empati menurun, dan anak-anak tumbuh menjadi pintar, tapi tidak selalu bijak.
Laporan Komnas Perlindungan Anak tahun 2023 menyebutkan bahwa kasus bullying di lingkungan sekolah meningkat 23% dibanding tahun sebelumnya. Untuk mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan, Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Kebijakan ini bertujuan melindungi seluruh warga sekolah—termasuk peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan—dari segala bentuk kekerasan. Tiga aspek utama yang diatur mencakup tata kelola, edukasi, dan sarana prasarana, dengan melibatkan sekolah dan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Permasalahan ini bukan karena guru tidak pandai mengajar. Tapi karena kita—sebagai sistem—mulai lupa bahwa pendidikan karakter adalah fondasi dari segalanya.
Saya sering bertanya kepada guru-guru yang saya temui: "Apa momen paling berkesan selama mengajar?" Dan jawabannya selalu sama. Bukan tentang nilai murid yang tinggi, atau lomba yang dimenangkan. Tapi tentang murid yang dulu pemalu, sekarang berani bicara. Tentang anak yang dulu nakal, kini jadi pemimpin desa. Tentang surat kecil bertuliskan “Terima kasih Bu, karena Ibu saya tidak putus sekolah.”
Semua itu bukan hasil dari kecanggihan. Tapi dari kehadiran hati seorang guru.
AI bisa menjadi alat bantu. Tapi guru adalah jiwa dari pendidikan. Karakter tidak bisa diajarkan lewat layar. Ia tumbuh dari keteladanan, dari cara guru menyapa dengan sopan, menegur dengan lembut, dan merangkul dengan ikhlas.
ADVERTISEMENT
Kita butuh lebih banyak guru yang berani berkata, “Saya bukan sekadar mengajar, saya mendidik.” Karena itu dua hal yang sangat berbeda. Mengajar bisa dilakukan oleh siapa saja—bahkan oleh mesin. Tapi mendidik? Itu panggilan jiwa.
Saya tahu, hari-hari ini tidak mudah bagi guru. Tuntutan administrasi menumpuk. Gaji sering tak sebanding dengan beban. Dan kini, datanglah “saingan baru” bernama AI yang seolah bisa melakukan semuanya lebih cepat dan lebih efisien. Tapi justru di sinilah letak harapan.
Karena ketika dunia makin dingin oleh mesin, kitalah yang harus tetap hangat.
Menjadi guru hari ini adalah perjuangan menjaga kemanusiaan. Mengajarkan bahwa nilai jujur lebih penting dari nilai ujian. Bahwa menghargai teman lebih bermakna daripada memenangkan lomba. Bahwa menjadi manusia yang baik jauh lebih dibutuhkan daripada menjadi manusia yang sekadar pintar.
ADVERTISEMENT
Saya teringat Pak Ishak yang akhirnya tersenyum setelah berhasil mengintegrasikan AI ke rencana pelajarannya, tanpa kehilangan sentuhan pribadinya. Di akhir pelajaran, ia menulis di papan tulis: "Teknologi bisa membantu kita belajar, tapi hati tetap yang menentukan arah hidup."
Maka untuk para guru di seluruh penjuru negeri, saya ingin berkata:
Jangan takut pada AI. Tak perlu merasa tergantikan. Karena Anda tidak pernah digaji untuk menjadi mesin. Anda hadir untuk menyentuh jiwa. Dan itu, tidak akan pernah bisa dilakukan oleh algoritma mana pun.
Karena pendidikan karakter dimulai bukan dari teknologi, tapi dari keteladanan. Dan di sanalah, guru tetap jadi bintang utama.