Cara Puan Maharani dan Muhadjir Effendy Membuat Masyarakat Masuk Surga

Erwin Setia
Penulis cerpen dan esai.
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 15:24 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru honorer. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru honorer. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Saya pikir yang bisa melontarkan ucapan sarat faedah dan layak dikutip untuk dijadikan status WhatsApp atau caption Instagram hanyalah para motivator dan ahli hikmah saja. Ternyata saya keliru. Seorang Ketua DPR yang masih merangkap jabatan menteri dan seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga bisa mengeluarkan pernyataan quotable. Contohnya adalah Puan Maharani dan Muhadjir Effendi.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya wartawan soal kenaikan iuran BPJS, Mbak Puan bilang itu tak lain agar masyarakat lebih menjaga kesehatan. Tepatnya cucu proklamator itu berkata begini, “Kelas I dan II kan kenaikannya sebagian besar dari mereka itu untuk bisa menjaga kesehatannya secara preventif. Saya rasa di manapun namanya fasilitas kesehatan itu enggak ada yang seperti kita lakukan waktu dulu, melihat iurannya.”
Mbak Puan yang kelihatannya pendiam itu rupanya sekali bicara sangatlah berbobot. Alih-alih mempertimbangkan ulang perihal kenaikan iuran BPJS yang akan diberlakukan mulai 2020, lalu lebih memfokuskan pada pembenahan sistem pengelolaan dana BPJS dan memperketat aturan terkait, Mbak Puan setuju-setuju saja soal kenaikan itu.
Sementara di sisi lain, jajaran direksi BPJS Kesehatan justru mendapat kenaikan gaji dan bonus yang aduhai besar nominalnya. Bayangkan, gaji direksi BPJS meningkat pesat sampai Rp 200 juta. Jumlah yang setara dengan biaya iuran BPJS Kelas II untuk 2.000 orang.
ADVERTISEMENT
Menyoal kenaikan gaji direksi BPJS yang mungkin hanya masuk di akal alien (itu pun kalau alien memang ada dan alien punya akal), semestinya Mbak Puan turut juga melontarkan pernyataan quotable berikutnya. Misalnya: “Kenaikan gaji direksi BPJS semestinya dibatalkan, agar mereka itu bisa menjaga gaya hidup hemat dan merakyat. Saya rasa di manapun namanya direksi harus menjadi teladan bagi masyarakat, bukan malah bersenang-senang sendiri.”
Kan asyik kalau Mbak Puan berkata segahar itu. Walaupun saya rasa mustahil beliau akan mengatakan hal demikian. Sebab, beliau pejabat dan saya melihat semacam sindrom bahwa para pejabat itu kok ya kayaknya susah betul untuk sekadar mengeluarkan statement yang bikin rakyat senang dan bangga. Omongan pejabat kebanyakan cuma berbau kontroversi dan bikin rakyat kesal. Ya, memang ada sih pejabat yang baik. Tapi kebanyakan kan… Ah, sudahlah, lebih baik kita kembali fokus ke kata-kata Mbak Puan di atas.
ADVERTISEMENT
Soal Mbak Puan yang menyatakan iuran BPJS naik agar masyarakat lebih menjaga kesehatan, sesungguhnya itu baik belaka. Secara tidak langsung itu menunjukkan kecintaan beliau kepada rakyat Indonesia. Beliau ingin rakyat Indonesia sehat senantiasa, agar bisa menjalani hari dengan sugar bugar, dan memperbanyak amal saleh, lalu masuk surga.
Demi kesehatan itu, beliau tidak ambil pusing mengenai fakta masih banyaknya masyarakat yang kesulitan secara finansial sehingga kesulitan membayar iuran BPJS. Logikanya, ketika iuran BPJS belum naik saja masih banyak yang nunggak, apalagi kalau dinaikkan? Tapi, barangkali logika Mbak Puan dan para pejabat yang terhormat memang berbeda. Pokoknya, apa pun masalahnya, solusinya adalah naikkan, naikkan, dan naikkan. Adapun pembenahan sistem dan kelembagaan itu urusan kesekian.
ADVERTISEMENT
Lain Mbak Puan, lain lagi Pak Muhadjir Effendy, Mendikbud kita tercinta. Di tengah maraknya guru honorer yang menderita karena kecilnya gaji dan kekurangajaran murid, dengan entengnya—oh, bukan, maksud saya, dengan bijaknya—Pak Muhadjir berkata, “Kalau sekarang, gajinya sedikit, apalagi guru honorer, nikmati saja, nanti masuk surga.”
Begitu pertama kali membaca pernyataan beliau, saya hanya bisa berkata wow, wow, wow, dan masyaallah. Alangkah mulia hati Pak Mendikbud. Jadi, alih-alih membikin kebijakan agar kesejahteraan guru honorer lebih terjamin, beliau menyuruh mereka menikmati saja penderitaan mereka supaya masuk surga. Kalau yang berbicara demikian adalah ustaz atau ulama, saya masih bisa maklum. Tapi, ketika yang bicara soal ini adalah seorang menteri—yang punya wewenang dan tanggung jawab khusus terhadap rakyat—tidak ada lain yang bisa saya lakukan selain mengulangi ungkapan ketakjuban sebanyak ribuan kali.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, saya punya saran buat Pak Muhadjir. Bagaimana kalau beliau bertukar peran dengan para guru honorer itu? Biar Pak Muhadjir masuk surga duluan gitu. Jadi, coba Pak Muhadjir rasakan bagaimana susahnya menjadi guru honorer yang gajinya sedikit, tidak ada tunjangan dan bonus, mengajar di sekolah dengan fasilitas seadanya, dan sekelumit hambatan lain.
Saya rasa Pak Muhadjir tak akan keberatan untuk melakukan hal itu. Toh, kalau beliau masih berpegang dengan kata-katanya, seharusnya beliau tidak ragu untuk menyambut saran ini. Saya membayangkan beliau turun langsung menjadi guru honorer selama beberapa waktu. Tapi, saya tidak yakin begitu selesai dari percobaan menjadi guru honorer beliau masih akan berkata “nikmati saja, nanti masuk surga”.
ADVERTISEMENT
Namun di luar itu, Pak Muhadjir memang luar biasa. Kata-katanya sangat menenangkan jiwa. Bukan hanya Pak Muhadjir, ding. Mbak Puan dan seluruh pejabat kita memang luar biasa. Sangat luar biasa. Sangat luar biasa lucunya. (*)