Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Keberpihakan pada Korban
15 Desember 2022 13:57 WIB
Tulisan dari Roy Erza Faraby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan yang dilakukan oleh orang yang bertempat tinggal atau berbagi tempat tinggal yang sama dengan korban (domestic violence) bagi sebagian orang merupakan hal yang tabu untuk dibawa ke ruang publik. Sebenarnya, di Indonesia sendiri sudah terdapat undang-undang sebagai payung hukum terkait kekerasan dalam rumah tangga, yakni UU-PKDRT tahun 2004. Undang-undang tersebut kemudian menjadi landasan bahwa setiap korban KDRT berhak untuk membawanya ke ranah hukum.
ADVERTISEMENT
Oktober 2022 jagat maya dihebohkan dengan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh Lesti Kejora terhadap suaminya, Rizky Billar. Namun, secara tak terduga, ketika para warganet mendukung untuk menghukum Rizky Billar, Lesti Kejora malah memutuskan untuk mencabut laporan KDRT yang dia lemparkan sebelumnya. Secara hukum jelas, dikarenakan tindak kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam delik aduan bukannya tindak pidana umum, maka Rizky Billar dengan ini dicabut status tersangka dan bebas dari jeratan hukum.
Pencabutan laporan tersebut membuat bingung pengguna media sosial, apalagi yang sebelumnya aktif membela Lesti Kejora agar segera mendapatkan keadilan. Tak ayal, banyak dari mereka kemudian meluapkan perasaan kecewa, marah dan kesalnya dengan berbagai ekspresi. Mulai dari tagar #BoikotLeslar hingga mengeluarkan pernyataan terbuka mengecam perilaku Lesti yang dianggap mempermainkan hukum.
ADVERTISEMENT
Namun, aksi yang warganet lakukan, seolah menafikan apa yang sebenarnya terjadi pada proses pengambilan keputusan dan latar belakang korban mencabut laporan tersebut. Berikut beberapa alasan mengapa korban sulit untuk lepas dari KDRT oleh hubungan beracun.
A. Perubahan sikap pelaku yang diharap korban
Karena kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang terjadi dalam ranah relasi personal, menjadikan kedua belah pihak memiliki sense of belongings atau keterikatan saling memiliki. Rasa kepemilikan tersebut tak jarang menjadi dasar korban beranggapan untuk bisa mengubah sikap pelaku setelah mendapatkan perlakuan kekerasan.
“Ah, seiring berjalannya waktu dia juga gak akan kasar lagi ke aku”
“Aku harus tetap bersama pelaku agar aku bisa mengubah wataknya yang kasar”
ADVERTISEMENT
Anggapan tersebut membuat korban sulit untuk lepas dari pelaku. Padahal, sejatinya harapan tersebut hanyalah ilusi semata. Perubahan hanya didapat jika pelaku benar-benar berkomitmen untuk tidak mengulangi hal yang sama. Jadi, tidak ada orang yang bisa mengubah sikap tersebut sekalipun itu pendamping hidupnya.
B. Eksploitasi anak dan ketergantungan ekonomi
Pada kasus kekerasan yang menerpa rumah tangga yang sudah memiliki keturunan, cara ini kerap dilakukan oleh para pelaku agar mencegah korban lepas dari relasi tersebut. Baik pelaku dan korban yakin bahwa mereka tidak boleh berpisah demi anak. Padahal, jika kita melihat di luar sana banyak sekali kasus depresi anak, bahkan bunuh diri yang disebabkan ketidakharmonisan dan kekerasan yang dialami orang tuanya.
Selanjutnya, bagi korban yang bergantung secara finansial terhadap pelaku, proses lepas akan jauh lebih rumit lagi. Realitas ekonomi memaksa korban untuk menerima penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Korban terus bimbang jika keluar dari relasi tersebut, stabilitas finansial akan terganggu sampai nantinya berpikiran bahwa bentuk kekerasan merupakan harga yang harus dibayar untuk beban ekonomi yang ditanggung pelaku.
ADVERTISEMENT
C. Konstruksi sosial yang me-lumrahkan kekerasan
Keterjeratan yang dialami oleh korban kekerasan sering kali disebabkan oleh konstruksi sosial yang ada. Dengan mengambil contoh konstruksi gender bahwa perempuan bertugas untuk mengasuh anak dan suami. Ketika tugas tersebut tidak terlaksana dengan baik, maka kekerasan adalah salah satu bentuk pendidikan yang bisa mendewasakan korban untuk melaksanakan tugasnya lebih baik lagi. Dalam konstruksi tersebut, wanita terbiasa untuk menganggap wajar perlakuan kasar suaminya. Kondisi keterjeratannya bermuara pada diabsahkannya kekerasan pasangan. Hal itulah menjebaknya untuk tetap berada pada hubungan yang tidak sehat.
D. Tekanan dari pihak luar dan manipulasi kesalahan
Pandangan masyarakat cenderung negatif terhadap pasangan suami-istri yang bercerai. Sementara korban yang butuh akan dukungan keluarga, stigma masyarakat tersebut menjadi menjadikan hambatan yang memaksa korban untuk tetap berada dalam keterjeratan. Beberapa pihak kemudian berbalik menyalahkan korban karena tidak pandai menjaga hubungan dalam keluarganya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, didapat inti bahwa, mungkin Lesti berada dalam kondisi keterjeratan tertentu sehingga berakhir mengambil kesimpulan untuk mencabut laporannya. Hal ini seharusnya menjadi dasar bagi kita semua untuk tidak melulu menyalahkan keputusan yang diambil, serta berperilaku lebih berpihak kepada korban, apa pun keputusan yang korban pilih. Marilah kita menjadi generasi yang sadar dan awas akan setiap bentuk kekerasan yang ada, serta terus mendukung para korban kekerasan dalam rumah tangga di sekitar kita.