Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Uang sebagai Narasi Kapitalisme, Konsumerisme dan Identitas pada era modern
25 November 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Evika Nur Aisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat modern yang memiliki semangat kapitalisme, uang telah melampaui perannya sebagai alat tukar menjadi narasi sentral yang membentuk cara manusia memandang dunia, berinteraksi, dan membangun identitas diri. Narasi ini tidak hanya mepengaruhi perilaku ekonomi, tetapi juga telah memasuki ke dalam ranah budaya, relasi sosial, hingga nilai-nilai moral.
Kapitalisme berperan sebagai mesin penggerak narasi uang.
pada kapitalisme modern ini uang diposisikan sebagai ukuran utama dalam suatu keberhasilan. Adanya kemampuan menghasilkan dan mengakumulasi uang dapat menjadi tolok ukur status sosial dan kekuasaan pada seseorang. Saat ini, uang bukan hanya sekadar simbol kekayaan melainkan cerminan produktivitas dan kompetensi individu. Dalam sistem ini, siapa yang memiliki uang lebih banyak dianggap lebih sukses, lebih pantas dihormati, dan lebih "berarti" dalam hierarki sosial.
Namun, kapitalisme sering kali menumbuhkan ketimpangan yang semakin lebar dalam menciptakan kelompok masyarakat yang terpinggirkan karena ketidakmampuan mereka memenuhi standar keberhasilan yang ditentukan oleh uang. Di sinilah letak ironi dari kapitalisme, ia menjanjikan kebebasan dan peluang, tetapi sering kali memperkuat struktur sosial yang hierarkis.
Konsumerisme berperan ketika uang menjadi alat pemenuh gaya hidup seseorang.
Dalam era modern, konsumerisme menjadi wajah baru setelah kapitalisme yang di mana uang tidak hanya digunakan untuk kebutuhan dasar, tetapi juga untuk memenuhi keinginan yang sering kali diciptakan oleh pasar. Barang-barang yang kita beli tidak lagi sekedar memiliki fungsi tertentu, tetapi juga dapat membawa pesan mengenai siapa diri kita dimata oarang lain. Dengan membeli barang yang memiliki merek tertentu menjadi cara untuk mengekspresikan identitas, selera, dan aspirasi.
Iklan dan media memainkan peran penting dalam membentuk narasi ini. Mereka menciptakan ilusi bahwa emosional seseorang seperti; kebahagiaan, cinta, dan penerimaan sosial dapat dibeli dengan uang. Akibatnya, banyak individu merasa terjebak dalam siklus kerja keras untuk membeli barang yang mereka yakini dapat meningkatkan status mereka, tetapi pada akhirnya barang yang dibeli tersebut hanya memberi kepuasan sementara.
Uang sebagai identitas berperan untuk cermin diri
Lebih dari sekadar alat ekonomi, uang kini menjadi elemen pembentuk identitas. Di era modern, apa yang kita miliki sering kali dianggap lebih penting daripada siapa kita sebenarnya, ketika ada seseorang yang memiliki uang banyak maka seseorang tersebut dapat berkuasa. Untuk menjadikan uang sebagai identitas diri seseorang di era modern ini, Orang dihakimi berdasarkan gaya hidup mereka, merek barang yang mereka kenakan, dan tempat mereka menghabiskan uang, bukan berdasarkan nilai-nilai atau kontribusi mereka kepada masyarakat.
Generasi muda terutama Gen Z dan milenial, saat ini mulai mempertanyakan nilai-nilai tradisional yang terkait dengan uang. Generasi muda sekarang lebih cenderung menghargai pengalaman daripada kepemilikan materi. Tren seperti ekonomi berbagi (sharing economy) dan investasi pada kesejahteraan mental menunjukkan bahwa uang tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kebahagiaan.
ADVERTISEMENT