Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Duh, Sudah Jam Segini Saja! Scrolling Media Sosial Secandu Itu, Ya?
5 Desember 2024 18:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Excel Gading Khatulistiwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Scrolling sosmed sebentar doang kok, nggak bakal lama.”
Berapa kali kita berkata seperti ini dalam sehari? Tak bisa dipungkiri, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita, khususnya bagi milenial dan Gen Z. Sebelum mengerjakan tugas, scrolling. Sebelum mandi, scrolling. Sebelum tidur, bahkan setelah bangun tidur, scrolling lagi.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan dari goodstats.id, rata-rata penggunaan ponsel masyarakat Indonesia pada tahun 2023 mencapai 5,7 jam per hari dan sebagian besar untuk media sosial. Apa yang awalnya mungkin hanya bertujuan mengisi waktu luang kini sering kali berubah menjadi kebiasaan yang mencuri waktu tanpa kita sadari.
Fakta ini memunculkan pertanyaan penting, apakah scrolling media sosial benar-benar secandu itu? Lantas apa konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari?
Infinite Scroll: Desain Adiktif di Balik Candunya Media Sosial
Fitur infinite scroll yang ada di hampir seluruh media sosial memang dirancang untuk membuat pengguna tetap berada di aplikasi selama mungkin. Dengan menggulir konten tanpa akhir dan sistem algoritma yang hanya menampilkan konten menarik, media sosial menciptakan lingkungan yang membuat kita terus-menerus terjebak di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Desain ini bukan tanpa alasan. Media sosial memanfaatkan pola neurologis otak, khususnya sistem dopamin dan serotonin. Ketika pengguna menemukan konten baru, otak melepaskan dopamin—neurotransmitter yang bertanggung jawab atas rasa senang dan puas. Sensasi ini bersifat sementara, tetapi cukup untuk membuat pengguna ingin terus menggulir. Sementara itu, serotonin, yang biasanya membuat kita merasa tenang dan puas, cenderung menurun, mendorong kita untuk mencari stimulasi baru untuk menjaga rasa puas sebelumnya.
Sayangnya, pola ini mirip dengan mekanisme kecanduan pada penjudi. Dalam keduanya, terdapat elemen random intermittent reward membuat pengguna terus berharap pada 'hadiah' berikutnya. Fakta ini membuat kita bertanya kembali, apakah selama ini scrolling sosial media secara tidak sadar membuat kita menjadi sama dengan para penjudi? Fakta ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan dan mendorong kita untuk mengevaluasi kembali kebiasaan scrolling.
ADVERTISEMENT
Antara Infinite Scroll dan Mesin Slot
Media sosial memengaruhi otak kita melalui dopamin—neurotransmitter yang terkait dengan rasa senang dan antisipasi. Ketika kita menggunakan media sosial setelah jeda yang lama atau saat pertama kali, dopamin dilepaskan dalam jumlah besar karena adanya unsur hal baru dan mengejutkan. Sensasi ini menciptakan dorongan untuk terus mencari stimulasi serupa, karena serotonin, yang biasanya membuat kita merasa puas, menurun, mendorong kita untuk mengulangi perilaku tersebut.
Ketika scrolling dilakukan terus-menerus, tingkat dopamin menurun karena kehilangan unsur hal baru dan mengejutkan, justru hal ini berubah menjadi perilaku obsesif kompulsif. Kita mulai terjebak dalam kebiasaan scrolling sosial media, terus mencari konten yang dapat memuaskan seperti saat pertama kali mengaksesnya. Media sosial menggunakan random intermittent rewards (hadiah acak) seperti feed yang penuh kejutan menarik.
ADVERTISEMENT
Hal ini mirip dengan mekanisme perjudian yang ada pada mesin slot, kita terus menggulir tanpa tahu kapan akan mendapatkan "konten jackpot” selanjutnya. Elemen ini memperkuat kebiasaan scrolling, meskipun kita sadar bahwa aktivitas tersebut tidak produktif dan menyita waktu. Kita terus mencari kepuasan melalui scrolling, meskipun konten yang ditemukan tidak selalu menarik atau relevan.
Dampak Scrolling pada Kehidupan
Setelah memahami jebakan modern seperti infinite scroll, media sosial saat ini sengaja menghapus 'stopping cues' seperti akhir halaman, sehingga sulit bagi pengguna untuk berhenti, ditambah dengan algoritma yang dioptimalkan untuk memberikan konten yang tailor-made berdasarkan preferensi kita. Itulah mengapa sosial media terus merekomendasikan video yang “kok pas banget sama mood aku hari ini?”
ADVERTISEMENT
Kebiasaan scrolling tanpa henti memiliki konsekuensi nyata yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti berikut.
1. Produktivitas Menurun
Scrolling sering kali membuat kita kehilangan fokus pada hal-hal penting. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, bekerja, atau beristirahat menjadi habis untuk aktivitas yang sebenarnya tidak diperlukan. Awalnya mungkin scrolling sosial media untuk mengisi waktu senggang diantara jeda kegiatan, namun akhirnya kita terjebak dalam algoritma sosial media.
2. Stres dan Gangguan Mental
Paparan berlebihan terhadap konten media sosial dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi. Selain itu, fenomena fear of missing out (FOMO) membuat kita merasa harus terus terhubung dengan media sosial, meskipun ini sering kali mengorbankan kesehatan mental. Konten yang terus-menerus mengalir juga dapat menyebabkan kelelahan kognitif. Otak menjadi terlalu terbebani dengan informasi, sehingga kemampuan fokus dan pengambilan keputusan menurun. Selain itu, paparan terus-menerus terhadap berita negatif atau konten yang membandingkan kehidupan orang lain dapat kembali memicu stres, kecemasan, bahkan depresi.
ADVERTISEMENT
3. Gangguan Tidur
Kebiasaan scrolling sebelum tidur memperburuk kualitas istirahat kita. Paparan cahaya biru dari layar ponsel menghambat produksi melatonin, hormon yang membantu kita tidur nyenyak. Ini juga mengurangi aktivitas fisik, yang penting untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Lantas Apa yang Bisa Kita Lakukan
Meskipun sulit untuk sepenuhnya lepas dari jeratan sosial media, ada beberapa cara untuk mengurangi dampak negatif. Melansir dari strategi yang disampaikan Dr. Limke melalui video penjelasan yang diunggah oleh Washington Post, kitab isa mengurangi dampak negatif melalui puasa dopamin,yaitu mengurangi penggunaan media sosial untuk waktu tertentu. Lalu memahami konsep 3C:
• Control: Apakah kita bisa mengontrol penggunaan?
• Compulsion: Apakah kita menggulir secara otomatis?
• Consequences: Apakah ada dampak negatif dari penggunaan ini?
ADVERTISEMENT
Referensi/ sumber
Freedom Matters. (n.d.). Why You Can't Stop Doom Scrolling. Diakses pada 28 November 2024 melalui https://freedom.to/blog/why-you-cant-stop-doom-scrolling/ .
GCF Global. (n.d.). Why We Can’t Stop Scrolling. Diakses pada 28 November 2024 melalui https://edu.gcfglobal.org/en/digital-media-literacy/why-we-cant-stop-scrolling/1/ .
Goodstats.id. (2023). Screen Time Ponsel Warga Indonesia Tertinggi Sedunia. Diakses pada 28 November 2024 melalui https://data.goodstats.id/statistic/screen-time-ponsel-warga-indonesia-tertinggi-sedunia-RypaM .
Goodstats.id. (2023). Orang Indonesia Paling Sering Habiskan Waktu untuk Main Sosial Media. Diakses pada 28 November 2024 melalui https://goodstats.id/article/orang-indonesia-paling-sering-habiskan-waktu-untuk-main-sosial-media-nETfh .
Singh, T. (n.d.). The Psychology of Infinite Scroll. Diakses pada 28 November 2024 melalui https://www.linkedin.com/pulse/psychology-infinite-scroll-tushar-singh-gj2tf/ .
Washington Post. (n.d.). Why Is It So Hard to Stop Scrolling? Diakses pada 28 November 2024 melalui https://www.youtube.com/watch?v=rooEBjZWpDc .
Williamson, Chris (n.d.). What Happens to Your Brain When You Can't Stop Scrolling? Diakses pada 28 November 2024 melalui https://www.youtube.com/watch?v=Zh-AcF_4Hao
ADVERTISEMENT