Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami SP3 dan Praperadilan dalam Penghentian Penyidikan
15 Januari 2024 8:49 WIB
Tulisan dari Muhammad Fachri Nurfaizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apabila seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka setidaknya penyidik telah memiliki 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 184 KUHAP ada 5 jenis alat bukti yang sah yaitu (1) keterangan saksi (2) keterangan ahli (3) surat/dokumen (4) petunjuk (5) keterangan terdakwa. Jika tindak pidana yang dipersangkakan terkait dengan tindak pidana ITE, maka ada satu jenis lagi alat bukti yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 juncto UU No. 19 Tahun 2016, yang menyatakan : “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
ADVERTISEMENT
Alasan Terbitnya SP3
Diterbitkannya penetapan tersangka oleh penyidik telah melalui proses penyidikan, meskipun dalam kasus tertentu yaitu tertangkap tangan maka penetapan tersangka tidak dilakukan melalui proses penyidikan. Jika mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP maka penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti sehingga membuat terang sebuah tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Jadi penetapan tersangka pasti dilakukan setelah penyidik menemukan alat bukti.
Setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, ternyata ada hak penyidik untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). SP3 ini terbit ketika sudah adanya penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika mengacu pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu Pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya :
ADVERTISEMENT
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya”.
Dari norma di atas jika kita kaji, maka alasan terbitnya SP3 itu ada tiga yaitu :
1. Tidak cukup bukti
2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana
3. Demi hukum
Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki 2 alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini tentu sedikit membingungkan karena ketika proses penyidikan berlangsung, dan ketika akan menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka penyidik telah memiliki 2 alat bukti yang sah. Lalu jika alasan tidak cukup bukti yang dijadikan dasar, maka artinya ada alat bukti yang dianulir oleh penyidik sebagai alat bukti yang sah, sehingga dalam terbitnya SP3 tersebut dinyatakan bahwa alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka dinyatakan tidak syah/tida tepat/tidak akurat/bukan sebagai alat bukti sehingga diterbitkanlah SP3.
ADVERTISEMENT
Dalam menganulir alat bukti yang dipergunakan dalam penetapan tersangka, tentu saja bisa ditafsirkan bahwa tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Atau bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik. Namun demikian SP3 dalam konteks tidak cukup bukti dapat juga dikatakan sebagai tindak korektif yang dilakukan penyidik atas penetapan tersangka pada diri seseorang. Tindakan korektif ini harusnya secepatnya dilakukan agar hak-hak tersangka tidak dirugikan. Jika tindakan korektif tidak segera dilakukan, sangat mungkin terjadi tersangka mengajukan permohonan praperadilan karena tidak cukupnya alat bukti dalam menetapkan tersangka.
Terkait dengan tidak cukupnya alat bukti, maka dapat merujuk pada putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 Juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang menyatakan alat bukti yang cukup adalah sekurang-kurangnya penyidik telah memiliki dua alat bukti yang syah menurut Pasal 184 KUHAP. Definisi saksi mengacu pada Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan alat bukti saksi, maka dalam tindak pidana umum dan tindak pidana khusus mengacu pada asas unus testis nullus testis yaitu 1 saksi bukanlah saksi. Ketika menetapkan seseorang sebagai sebagai tersangka, maka penyidik harus memiliki dua orang saksi. Hal ini juga diperkuat sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Namun demikian ada pengecualian untuk tindak pidana Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Dalam Pasal 55 UU PKDRT disebutkan bahwa keterangan 1 saksi korban sudah cukup ditambah dengan alat bukti lainnya yang syah menurut KUHAP. Hal yang sama juga diatur dalam UU No. 21/2007 tentang PTPPO.
Alasan bahwa peristiwa yang dipersangkakan bukan peristiwa pidana juga menunjukkan ketidak hati-hatian atau ketidakprofesionalan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Karena ketika seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka ada rangkaian tindakan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (5) KUHAP yaitu perbuatan penyelidik untuk menentukan ada atau tidaknya perisitwa yang diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana. Dengan demikian, penyelidikan ini dimaksudkan sebagai filter, memastikan perisitiwa hukum tersebut adalah adalah tindak pidana, dan bukan perbuatan dalam kontek hukum perdata atau hukum administrasi negara atau peristiwa adat. Dengan demikian alasan menjadi kurang relevan ketika menyatakan terbitnya SP3 karena perbuatan yang dilakukan tersangka tidak masuk dalam kategori hukum pidana atau tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Alasan ketiga terbitinya SP3 adalah karena alasan demi hukum. Alasan demi hukum lebih rasional dibandingkan dengan dua alasan di atas.Hal ini disebabkan sudah masuk pada alasan yang lebih substansi juridis formil. Dalam banyak doktrin dan putusan pengadilan, alasan demi hukum terbitnya SP3 didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu (1) nebis in idem (2) tersangka meninggal dunia (3) daluarsa.
Secara singkat dapat saya jelaskan bahwa nebis in idem ini diatur dalam Pasal 76 KUHP yang mengatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama. Frase “menuntut” memang otoritas jaksa, namun tentu penyidik juga tidak akan bertindak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka karena jaksa sudah dipastikan tidak akan mau menuntut orang tersebut jika ternyata untuk perkara yang sama pernah dituntut sebelumnya. Karena itu, ketika penyidik menyadari bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka ternyata adalah orang yang sama dengan perkara yang sama yang pernah dijatuhi hukuman, maka diterbitkanlah SP3.
ADVERTISEMENT
Tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP. Dalam hal ini cukup jelas jika dijadikan pertimbangan terbitnya SP3. Karena tidak mungkin menuntut seorang mayat ke pengadilan, meskipun perbuatan sangat kejam sekalipun. Alasan ketiga adalah daluarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. Tentang daluarsa ini ada empat kategori yaitu : (1) sudah lewat satu tahun untuk tindak pidana percetakan; (2) sudah lewat 6 tahun, untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda, kurungan atau penjara tidak lebih dari 3 tahun; (4) sesudah 12 tahun, untuk tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari 3 tahun; (4) sesudah lewat 18 tahun, untuk tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup.
Praperadilan SP3
ADVERTISEMENT
Oleh karena SP3 merupakan salah satu objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77, juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Atas terbitnya SP3, pelapor atau kuasanya dapat melakukan permohonan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Dalam mengajukan permohonan gugatan praperadilan, ada permintaan yang ditujukan kepada hakim untuk membatalkan SP3 dan mememerintahkan untuk meneruskan penyidikan.
Dalam banyak kasus yang saya amati, terbitnya SP3 juga disebabkan karena petunjuk Jaksa Peneliti yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri untuk proses pra penuntutan tidak bisa dipenuhi oleh penyidik. Petunjuk dari Jaksa Peneliti itu bisa diberikan beberapa kali, sehingga penyidik pun akhirnya menyelenggarakan Gelar Perkara untuk memutuskan menerbitkan SP3. Namun terbitnya SP3 tetap harus mengacu pada alasan yang diatur dalam Pasal 109 (2) KUHAP.
ADVERTISEMENT
Permohonan praperadlan oleh Pelapor atau kuasa hukumnya harusnya melihat dan menganalisa alasan terbitnya SP3 yang dibuat oleh penyidik. Alasan terbitnya SP3 tersebut harus menjadi fokus pemohon praperadilan. Jika alasannya karena tidak cukup bukti maka tentu pemohon mengajukan klarifikasi atau mempertanyakan kepada penyidik, status alat bukti yang sebelumnya digunakan dalam menetapan tersangka. Dengan demikian jelas, kenapa dan mengapa alat bukti tersebut dipergunakan dalam menetapkan tersangka. Artinya prinsip kehati-hatian dalam menilai alat bukti patut dipertanyakan. Selain itu, dalam menetapkan tersangka juga dilakukan gelar perkara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka Gelar Perkara tersebut juga patut dipertanyakan. Karena salah satu fungsi gelar perkara adalah untuk menetapkan status seseorang sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Jika yang menjadi alasan penyidik diterbitkannya SP3, adalah karena perbuatan yang dilakukan tersangka bukanlah tindak pidana. Hal ini juga perlu dipertanyakan tentang proses penyelidikan dan penyidikan dan gelar perkara yang dilakukan penyidik. Karena untuk menyatakan sebuah perbuatan adalah tindak pidana, maka ada proses panjang termasuk meminta klarifikasi pelapor dan terlapor.
Jika yang menjadi alasan SP3 adalah demi hukum, maka juga harus dipertanyakan jenis alasan demi hukum yang dipergunakan oleh penyidik, apakah karena nebis in idem, daluarsa atau karena tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam pasal 76-78 KUHP.
Dapat disimpulkan bahwa setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, penyidik memiliki hak untuk menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) karena alasan tidak cukup bukti, peristiwa itu bukan tindak pidana dan demi hukum, alasan pemberian penghentian penyidikan melalui SP3 yaitu untuk menegakan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya yang ringan dan untuk menegakannya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT