Konten dari Pengguna

Gerakan Feminis Milenial di Media Sosial: Gelombang Baru Feminisme di Indonesia

Fadhel Fikri
Co-founder di komunitas Sophia Institute Palu, serta pegiat filsafat dan sains.
27 Juli 2022 10:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhel Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
RODNAE Productions sumber:https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
RODNAE Productions sumber:https://www.pexels.com/
ADVERTISEMENT
Aneu Damayanti, aktivis Jaringan Muda Setara menyatakan bahwa ketika ia memulai melakukan kampanye feminisme di media sosial, ia langsung mendapatkan stempel sebagai perempuan berdosa karena punya pemikiran beda, dianggap menunggangi gerakan politik, dan dianggap sok feminis.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini ternyata membuat Aneu kemudian menjadi takut dan was-was: apakah yang ia lakukan selama ini sudah di rel benar atau tidak? Pertanyaan lain apakah jika ia dimaki di media sosial karena kampanyenya ini, apakah ada orang yang akan membelanya?
“Saya kadang mensensor diri dengan anggapan ini. Padahal sebutan feminis ini sangat penting dan mengubah pola pikirku yang selama ini mungkin masih patriarki untuk memperjuangkan masa depan feminis, tapi begitu baru mulai kampanye, langsung distempeli seperti ini.”
Hal ini terpapar dalam diskusi yang digelar LETSS Talk dan Konde.co dengan judul “Feminis Milenial di Media Sosial” pada 10 Juli 2022
Kalis Mardiasih, feminis muslim mengaku mulai ingin berkampanye feminisme sejak ia menjadi panitya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 5 tahun silam di tahun 2017. Sejak itu ia punya keyakinan tentang pentingnya kampanye soal Islam frame work di digital platform.
ADVERTISEMENT
“Karena saya sejak dulu memang mempunyai ruang untuk bekerja pada sesuatu yang mendomestifikasi perempuan di Islam dan seluruh kemanusiaan perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah yang membahayakan keimanan laki-laki dan eksistensi seluruh dunia.”
Kalis kemudian mendapatkan bahan bacaan dari buku-buku tulisan feminis muslim yang dibacanya seperti buku-bukunya Fatima Mernisi dan para perempuan feminis timur seperti Nawaal Saadawi untuk belajar lebih lanjut tentang apa yaitu feminisme
“Aku belajar dari cerita-cerita ini semua. Literatur Indonesia untuk muslim muda ini sedikit dan terbatas dan yang memegang adalah dunia akademia, dosen-dosen UIN yang bisa mengakses. Maka aku mencoba membacanya.”
Feminisme di Indonesia mengalami perkembangan sangat dinamis akhir-akhir ini. Hal ini tidak terlepas dari dua hal, yaitu situasi sosial-politik yang semakin memberi ruang kebebasan berekspresi dan akses internet termasuk media sosial yang memfasilitasi berbagai artikulasi kebebasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang paling “muncul” dan berkembang adalah feminisme generasi baru yang merepresentasikan feminisme milenial. Intensitas mereka pada internet dan sosial media berkontribusi pada semakin populernya ide-ide feminisme.
Meski demikian, banyak kelompok yang secara kritis melihat proses pembentukan kesadaran feminis milenial yang terlalu fokus pada internet membuat feminisme generasi baru dianggap tidak punya basis politik yang solid. Apalagi, kehadiran mereka tidak dalam konteks sejarah opresi yang melibatkan aparatus negara otoriter.
Bagaimana melihat perkembangan feminisme kontempoer yang diwarnai feminisme milenial tersebut? Bagaimana mengkontekstualisasi feminisme milineal dalam sejarah feminisme Indonesia yang panjang sehingga tidak terjadi historical gap yang tidak produktif bagi konsolidasi gerakan feminisme? Diskusi ini menjadi penting di tengah gerakan feminis yang terus berubah dan dinamis.
ADVERTISEMENT
Dalam feminisme, gerakan internet merupakan gerakan baru. Cyberfeminism menyatakan bahwa perempuan berhak atas hak digital dan diperjuangkan secara digital baik dalam konten maupun akses.
Sebuah manifesto cyborg feminis menjadi jawaban yang melegakan setelah datang berbagai pertanyaan: apakah teknologi sebenarnya membebaskan perempuan atau justru menjerat perempuan?. Donna Haraway, seorang feminis kemudian menuliskan bahwa teknologi seharusnya membebaskan perempuan, menyongsong masa depan dan memberikan akses kepada perempuan dan kaum marjinal untuk membebaskan kehidupannya.

Mengapa Memilih Kampanye di Media Sosial?

Mengapa para feminis muda kemudian memilih berkampanye di media sosial, jawabannya karena ini merupakan ruang sehari-hari yang mudah mereka jangkau.
Vica Larasati, Direktur Qbukatabu, sebuah platform untuk keberagaman gender dan seksual dalam diskusi ini menyatakan proses panjang yang dialaminya untuk menjadi feminis. Dulu ia pernah tanya bisa gak jika ia jadi presiden? Dijawab, kayaknya enggak bisa karena Vica perempuan, bukan Jawa dan bukan Muslim. Jadi ada banyak tantangan untuk menjadi feminis atau untuk menjadi pemimpin. Lalu di media sosial, ia melihat banyak kampanye yang menyatakan bahwa kita bisa menjadi sesuatu yang kita inginkan. Gambaran inilah yang memberikannya informasi tentang pentingnya kampanye di media sosial
ADVERTISEMENT
“Kita sebenarnya sering bertanya, kita feminis gak sih?. Kayaknya kita bukan aktivis terkenal yang turun ke jalan. Diskusi soal feminis apakah penting atau tidak, sampai kesimpulan mendeclare diri sebagai feminis jadi hal penting, dan menginternalisasi feminis dalam diri ini rasanya lebih penting, yang penting menjalankan nilai feminis.”
Noval Auliady, aktivis Jakarta feminist menyatakan senang ketika ia bisa bergabung dengan para feminis muda. Ia bisa memvalidasi orang-orang yang beda-beda dan bisa berdiskusi dengan banyak perbedaan di sini, jadi ia kemudian belajar untuk berempati dan menerima perbedaan untuk bagaimana melihat berbagai macam keberagaman ini, dan Noval menjadi penting di sana
Kalis Mardiasih menyatakan, media sosial terbukti bisa mengkampanyekan isu-isu baru seperti kawin tangkap yang orang lain belum tahu, isu kekerasan berbasis gender yang dulu tidak banyak yang tahu. Dari sini ternyata banyak sekali perempuan lain yang jadi follower di media sosialnya. Para follower ini juga bercerita, bahwa mereka jadi bisa punya keputusan penting di hidup mereka setelah mereka membaca poster-poster yang dibaca di medsos.
ADVERTISEMENT
Kampanye Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ RUU TPKS merupakan praktik baik di mana semua bisa disatukan dan mengetahui apa yang dilakukan lewat media sosial
“Dengan advokasi level atas di fraksi balkon dan feminis muda di internet dan yang ada di lapangan menggerakan lapangan untuk demonstrasi, petisi, jadi semuanya merasa bahwa ini adalah isu kita bersama, bukan isu liberal, isu muslim, queer saja, tapi kita disatukan secara universal bahwa ini adalah isu bersama stop kekerasan seksual dan kita sadar bahwa kita tidak bisa sendiri, dan media sosial menyatukan ini.”
Kampanye bersama ini tentunya tidak hanya pada isu ketubuhan, tapi juga isu yang lain seperti isu perubahan iklim, buruh dan isu kehidupan kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT
“Isu tubuh ini bukan isu populer, tapi isu darurat. Isu tubuh ini pertamakali diperjuangkan karena penting karena kita harus merasa aman, jika tidak aman maka kita tidak bisa bergerak. Jadi benar ini diperjuangkan lebih dulu. Seharusnya sekarang kita sudah bekerja karena ini sudah ada aturan yang aman.”
Vica Larasati menyatakan bahwa jika ada ramai-ramai di medsos dan dikatakan bahwa gerakan di medsos ini tanpa basis real, menurut Vica ini salah besar karena bangunan internet ini bangunannya dari dunia nyata dan kemudian dinaikkan ke dunia maya untuk mempercepat. Jadi media sosial lalu berfungsi untuk membuka ruang agar semua orang bisa mengakses dan menyebarkan, jadi fungsinya adalah melakukan konsolidasi yaitu bisa mempertemukan dengan orang-orang baru yang tak sama.
ADVERTISEMENT
“Jadi perlu kita tahu siapa yang terpapar dan siapa yang sudah kerja-kerja di advokasi pengetahuan dan jaringan. Dari kerja-kerja kita ini kita jadi belajar ekosistem baru, publik baru di internet yang seharusnya diorganisir. Tantangannya yang sebetulnya berat karena tidak saling mengenal, tapi justru ini tantangannya,” kata Kalis Mardiasih