Konten dari Pengguna

Dilema Guru Muda: Memilih Jalan Antara PPG dan Dedikasi Mengajar

Fadhel Izanul Akbar
Guru SMA Taruna Muhammadiyah Gunungpring - Magister Interdisplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga - Inisiator Komunitas Rumah KITa (Komunitas kajian sosial, politik, dan gender)
14 Agustus 2024 16:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhel Izanul Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto saat Penulis mengajar di kelas
zoom-in-whitePerbesar
Foto saat Penulis mengajar di kelas
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tantangan unik yang dihadap
i oleh hampir mayoritas g
uru muda di Indonesia adalah dilema harus memilih antara melanjutkan Pendidikan
ADVERTISEMENT
Profesi Guru (PPG) atau terus melanjutkan pengabdian diri secara penuh sebagai p
endidik di kelas.
Dilema ini tidak hanya menyangkut keputusan karir, tapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam tentang komitmen terhadap profesi guru dan bagaimana cara terbaik untuk mendukung kualita pendidikan di negara ini.
Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Indonesia adalah program yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Dengan mengikuti PPG, guru muda tidak hanya mendapatkan sertifikasi profesional yang diakusi negara, tapi juga mendapatkan bekal tambahan dalam pedagogi, manajemen kelas, dan pengembangan kurikulum.
Data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa hingga tahun 2022, lebih dari 70% guru di Indonesia belum memiliki sertifikasi profesional.
Namun, proses PPG yang memakan waktu dan energi seringkali memaksa guru muda untuk meninggalkan kelas sementara waktu. Hal inilah yang menjadi tantangan terutama ketika sekolah di daerah-daerah terpencil kekurangan tenaga pengajar. Berdasarkan laporan dari UNICEF Indonesia, sekitar 20% sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan guru, sehingga kehadiran guru sangat penting.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dedikasi untuk tetap mengajar penuh waktu tanpa mengikuti PPG menunjukkan komitmen langsung terhadap siswa dan proses belajar-mengajar. Guru muda yang memilih jalur ini sering kali merasa bahwa kehadiran mereka di kelas adalah hal yang paling penting, terutama dengan keterbatasan tenaga pengajar.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2021, ditemukan bahwa 45% guru muda merasa terbebani dengan kewajiban mengajar yang tinggi sehingga merasa enggan dan sulit untuk meninggalkan kelas untuk melanjutkan PPG.
Namun, memilih untuk tidak mengikuti PPG dapat membawa konsekuensi jangka panjang. Tanpa sertifikasi PPG, guru mungkin menghadapi hambatan dalam kenaikan pangkat, akses ke tunjangan, dan pengakuan profesional.
Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa guru yang memiliki sertifikasi PPG berpotensi mendapatkan tunjangan yang lebih tinggi hingga 30% dibandingkan mereka yang tidak bersertifikat . Ini dapat memengaruhi motivasi dan kesejahteraan jangka panjang mereka sebagai pendidik.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mencari solusi jalan tengahnya? Salah satu pendekatan yang bisa dijadikan pertimbangan adalah program PPG yang lebih fleksibel, yang memungkinkan guru muda untuk bisa melanjutkan pendidikan profesi tanpa meninggalkan kewajiban mengajar.
Beberapa Universitas di Indonesia telah menawarkan program PPG dalam format daring atau blanded learning, yang memungkinkan guru untuk tetap aktif mengajar sambil menjalani pelatihan profesional.
Selain itu, dukungan dari pemerintah dan institusi pendidikan dalam bentuk beasiswa, program mentoring, dan penyesuaian beban kerja dapat membantu meringankan tekanan yang dirasakan oleh guru muda.
Data dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menyebutkan bahwa jumlah beasiswa untuk PPG meningkat sebesar 15% pada tahun 2023, dengan prioritas diberikan kepada guru di daerah terpencil .
ADVERTISEMENT
Dilema antara memilih PPG atau terus mengajar adalah tantangan nyata bagi guru muda di Indonesia. Keputusan ini mencerminkan ketegangan antara profesionalisme dan tanggung jawab langsung kepada siswa. Namun, dengan pendekatan yang tepat, guru muda dapat menavigasi dilema ini dengan cara yang mendukung kedua tujuan tersebut.
Fleksibilitas, perencanaan, dan dukungan yang memadai adalah kunci untuk memastikan bahwa guru muda dapat berkembang sebagai profesional yang berdedikasi, sambil tetap memberikan kontribusi signifikan kepada siswa mereka. Semoga pemerintah tidak abai dan lebih memperhatikan nasib guru di Indonesia, jika ingin meningkatjan kualitas Pendidikannya.