Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Problem Polisi (Belum) Sipil
28 Agustus 2022 9:25 WIB
Tulisan dari Fadhil Alfathan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini publik terus dihebohkan oleh kasus pembunuhan Brigadir Josua. Tak tanggung-tanggung, kasus ini menyeret pejabat teras Mabes Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai dalangnya.
ADVERTISEMENT
Yang menarik perhatian publik dalam kasus ini bukan hanya soal pembunuhan oleh polisi terhadap polisi, namun berbagai versi skenario yang semula diumumkan sebagai musabab kematian, kemudian berbalik menjadi suatu rekayasa yang melibatkan puluhan polisi dari berbagai level kepangkatan. Bisa jadi, pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, puluhan polisi diperiksa bahkan belasan di antaranya harus mendekam dalam tempat khusus (Patsus) Mako Brimob.
Namun, suatu hal yang kerap kali absen dari perbincangan publik adalah mengenai akar persoalannya. Adalah kultur militeristik yang masih bercokol dalam tubuh Polri. Kultur yang sudah ada sejak kelahirannya sebagai kelanjutan dari kepolisian Hindia Belanda yang semakin terlembaga di zaman orde baru, masih terasa hingga kini. Inilah salah satu penyebab yang dapat menjelaskan mengapa Sambo dengan entengnya menggunakan kekerasan dan memerintahkan puluhan anggota Polri untuk merekayasa kematian Brigadir Josua.
ADVERTISEMENT
Militer Sejak Lahir
Tak heran, saat itu, para indonesianis –seperti Takashi Shiraishi dan Harry Poeze– menyebut Hindia Belanda sebagai Negara Polisi yang setidaknya memiliki tiga ciri utama. Pertama, adanya penggunaan kekerasan oleh negara terhadap warganya; kedua, semua persoalan yang muncul dari pergerakan sosial-politik warga direduksi hanya menjadi sekadar persoalan keamanan; ketiga, kepolisian menjadi alat yang langsung dikendalikan pemerintah pusat.
Tiga ciri di atas, ada pada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu. Melalui berbagai regulasi pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi hingga politik pembuangan (exorbitante rechten), serta legitimasi lembaga peradilan terhadap kerja-kerja pemolisian untuk membatasi kebebasan dan hak-hak politik masyarakat, bahkan jika perlu dengan kekerasan (Marieke Bloembergen: 2011).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, pada masa revolusi fisik (1945-1949), Polisi ikut berperang bersama kekuatan bersenjata lainnya. Berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan Negara No 112 Tahun 1948 Tentang Militerisasi Polisi Negara, Kepolisian dimiliterisasi; mempunyai kedudukan sebagai tentara; dan diperintahkan untuk menjalankan pekerjaan Tentara atas perintah Komando Tentara. Bahkan pangkat anggota kepolisian pun disesuaikan dengan pangkat ketentaraan. Sejak kelahirannya, Polri merupakan kombatan karena tuntutan revolusi.
Konflik politik yang tinggi pada zaman demokrasi terpimpin pun turut menyeret polisi ke dalam pusaran politik. Keadaan semakin menjadi-jadi pada masa orde baru ketika polisi diintegrasikan ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Akibatnya, polisi kehilangan keterampilannya sebagai polisi sipil yang profesional (Salim Said: 2001).
Masih Militer atau Sudah Sipil?
ADVERTISEMENT
Sejak 2002, Polri berubah menjadi institusi penegak hukum sipil setelah dipisahkan dari ABRI. Namun nyatanya, anasir-anasir militeristik masih melekat dalam tubuhnya. Hal tersebut bahkan bisa dilacak sejak dini dari pola pembentukan dan pendidikan personil Polri.
Sebagai contoh, sejak 2015, secara rutin diselenggarakan Pendidikan Dasar Integrasi Kemitraan Akademi TNI dan Akademi Kepolisian yang diadakan selama 3 bulan di Lembah Tidar, Akademi Militer, Magelang. Kegiatan tersebut mengingatkan kita kembali pada ‘Masa Basis’, sebagai salah satu rangkaian kegiatan bagi para calon prajurit taruna di lingkungan AKABRI zaman orde baru untuk menginternalisasi nilai-nilai militer –termasuk pengutamaan keandalan fisik dan kepatuhan mutlak pada hirarki– ke dalam bagian hidup para calon perwira ABRI, termasuk Polri yang saat itu merupakan salah satu matra di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Dampak buruk dari pola pendidikan bercorak militeristik tersebut adalah lahirnya relasi hirarkis yang diwarnai dengan kekerasan di dalamnya. Pada 2017 lalu, Brigadir Dua Taruna Mohammad Adam , Taruna tingkat II Akpol bahkan meregang nyawa karena dianiaya belasan seniornya. Atau yang terkini, 22 bintara senior melakukan penganiayaan kepada 20 bintara junior di Polres Bungo , Jambi yang tengah menjalani masa pengenalan lingkungan kantor pada 9 Agustus 2022 lalu.
Tak selesai di situ, hirarki atasan-bawahan dalam lingkup penugasan Polri juga tak luput dari kekerasan. Kapusdikmin Lemdiklat Polri, Kombes Ekotrio pernah mengamuk dan menghajar 7 anggota Polri yang berjaga di gerbang Pusdikmin Lemdikpol Polri pada 2018 lalu, atau bagaimana Kapolres Nunukan, AKBP Syaiful Anwar terekam CCTV melakukan penganiayaan terhadap anggotanya dalam suatu acara, dan yang terkini, pembunuhan keji terhadap Brigadir Josua yang melibatkan atasannya, eks Kadiv Propam, Irjen Pol. Ferdy Sambo.
ADVERTISEMENT
Pola relasi hirarkis yang demikian berimplikasi pula pada paradigma pemolisian yang didominasi dengan pendekatan keamanan yang sarat akan penggunaan kekuatan (use of force) Kepolisian. Hal tersebut setidaknya dapat tergambar dari hasil survei Eko Riyadi , akademisi Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Universitas Islam Indonesia.
Pada 2015 lalu, Eko mengajukan survei kepada 300 Taruna tingkat tiga Akpol dengan pertanyaan mengenai penempatan tugas yang mereka inginkan pasca pendidikan. Alhasil, lebih dari 70% taruna memilih penempatan di fungsi reserse dan kriminal (reskrim), diikuti penugasan lalu lintas (lantas), intelijen, dan yang terakhir samapta atau sabhara. Tak ada Taruna yang memilih penugasan pada satuan kerja yang berkenaan dengan fungsi pelayanan atau pembinaan masyarakat (Bimas).
ADVERTISEMENT
Pengutamaan keandalan dan kekuatan fisik yang lazim digunakan oleh militer untuk menghadapi lawan dalam situasi perang merupakan suatu keniscayaan, tentunya dengan kepatuhan pada batas-batas jus ad bellum dan jus in bello dalam hukum humaniter. Namun agaknya, hal demikian lazim pula dilakukan oleh Polisi. Parahnya, dilakukan dalam kerja-kerja pemolisian –bukan dalam keadaan perang– yang berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat. Sehingga serangkaian pelanggaran dan pengabaian HAM menjadi tak terhindarkan.
Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) , Polisi kerap melakukan kekerasan berlapis berupa tindakan kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing) sekaligus disertai rekayasa kasus di dalamnya. Di 17 wilayah selama 3 tahun terakhir (2019-2021), YLBHI mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah mencapai 1.088 korban. Komnas HAM RI juga menangkap situasi serupa, dalam kurun waktu 2020-2021, tercatat 71 tindakan kekerasan dan 39 tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh Kepolisian.
ADVERTISEMENT
Alih-alih melahirkan pola relasi hirarkis dan paradigma represif, pola pendidikan dan pembentukan personil Polri seharusnya dapat melahirkan personil Polri yang mampu menyeimbangkan peran gandanya sebagai strong hand of society dalam menanggulangi fenomena kejahatan dan gangguan kamtibmas, serta sebagai soft hand of society untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dalam kerja-kerja Pemolisian (Satjipto Rahardjo: 2001).
Saatnya Jadi Sipil Sejati
Semangat zaman yang ada saat ini, mengharuskan Polri menjadi Polisi Sipil (a civilian in uniform) yang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan perubahan masyarakat yang dinamis.
Tuntutan tatanan masyarakat demokratis pun turut berpartisipasi pada perubahan konsep pemolisian. Dari yang awalnya hanya mengandalkan penggunaan kekuatan dalam menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif menjadi pemolisian demokratik (democratic policing) yang mengacu pada prinsip-prinsip negara hukum dan penghormatan HAM (Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo: 2017).
ADVERTISEMENT
Salah satu karakteristik pemolisian demokratik dalam konteks Polri sebenarnya telah ada dan mewujud dalam bentuk Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Peraturan ini merupakan salah satu bukti bahwa telah dilakukan ikhtiar untuk mengarusutamakan HAM dalam kerja-kerja pemolisian. Namun tampaknya ikhtiar tersebut belum cukup, pelbagai data mengenai kekerasan polisi yang dicatat YLBHI dan Komnas HAM RI sebagaimana telah dipaparkan di muka justru berbicara lain.
Kepolisian merupakan institusi penegak hukum yang paling “bergelimang” masyarakat. Tidak ada institusi penegak hukum lain yang memiliki interaksi dengan masyarakat (public encounter) yang lebih intens dibanding Kepolisian. Mulai dari mengurus SKCK, surat kehilangan atas suatu barang, hingga surat izin mengemudi. Sederhanannya, hampir semua orang punya urusan dengan Polisi.
ADVERTISEMENT
Menjadi janggal apabila Polisi masih mengedepankan kekerasan dan cenderung resisten terhadap perubahan masyarakat. Sehingga Reformasi Kepolisian berkelanjutan demi memastikan Kepolisian dan Pemolisian dapat sesuai dengan nilai-nilai Demokrasi dan HAM menjadi suatu keharusan zaman. Mengembalikan Polisi pada khitahnya sebagai sipil sejati merupakan harga mati!