Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jejak Penyair Kolonial di Aceh
3 Februari 2022 12:17 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fadhli Espece tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengenang 121 Tahun Perang Samalanga
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, Saya mengunjungi Kerkhof Peucut, sebuah kompleks pemakaman serdadu Belanda yang mati dalam masa perang Aceh (1873-1942). Pemakaman ini terletak tepat di belakang Museum Tsunami, Banda Aceh. Di kompleks inilah para serdadu Belanda disemayamkan sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir.
ADVERTISEMENT
Saat memasuki kompleks Kerkhof ini, pengunjung akan disambut oleh sebuah prasasti besar milik Johan Harmen Rudolf Kohler, seorang Jenderal Militer legendaris Belanda yang tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Selain tentara KNIL Belanda, bersama pemimpin ekspedisi perang Aceh periode pertama itu, ikut terbaring tentara-tentara bayaran dari Jawa, Ambon, Manado, Ternate, dan pasukan-pasukan beretnis pribumi lainnya.
Di dinding kompleks itu, terpahat dengan jelas nama-nama mereka yang telah berjasa dan terlibat dalam usaha menaklukkan daulat Kesultanan Aceh Darussalam. Sebagai salah satu pemakaman terbesar, kompleks itu dirawat dengan baik oleh Pemerintah Belanda melalui Yayasan Peucut. Kerkhof Peucut itu menjadi salah satu situs sejarah yang dapat menggambarkan betapa ganas dan kelamnya perang Aceh di masa lalu.
Salah satu nama yang tercatat bersemayam di Kerkhof itu adalah Izaak Thenu, seorang pendeta asal Maluku yang telah berjasa bagi pemerintah Hindia-Belanda. Di Aceh, Izaak Thenu bekerja sejak 30 september 1894 menggantikan tugas pendeta Pattiselano. Ia bertugas pada usia 26 tahun sebagai perawat rohani bagi tentara pribumi yang beragama Kristen. (Nieuwenhuis: 2017)
ADVERTISEMENT
Dalam agresi Belanda ke Samalanga pada Januari tahun 1901, Izaak Thenu ikut serta dalam rombongan tentara kolonial. Agresi ini merupakan agresi yang cukup bergengsi dan emosional bagi Belanda. Pasalnya, Belanda sudah tiga kali menelan pil pahit kekalahan dalam serangan Samalanga. Agresi pertama terjadi pada Agustus 1877. Dalam serangan ini, Belanda mengalami kegagalan dalam menguasai benteng pertahanan Batee Iliek. Bahkan salah seorang panglima militer Belanda, Van der Heijden, tertembak di mata kirinya sehingga sejak saat itu, orang Aceh menjulukinya dengan Jendral Buta Siblah (Jenderal Buta Sebelah).
Batee Iliek memang dikenal sebagai benteng pertahanan yang cukup kokoh. Dalam agresi yang kedua pada Juli 1880, Belanda juga harus mengakui keunggulan benteng pertahanan Batee Iliek. Karena frustrasi, sebulan kemudian, Van der Heijden menyerang lagi benteng pertahanan Batee Iliek untuk yang ketiga kalinya. Namun, Belanda tetap tidak berhasil, sehingga peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah Het Echec van Samalanga (kegagalan total di Samalanga).
ADVERTISEMENT
Penaklukan Samalanga baru berhasil setelah 20 tahun kemudian, saat Jenderal van Heutsz menjadi Gubernur Sipil dan Militer di Aceh. Dalam agresi tahun 1901, Izaak Thenu mengarang sebuah syair yang kemudian dijadikan lagu untuk membangkitkan semangat tentara pribumi dalam menaklukkan pejuang Aceh di Samalanga. Pihak Belanda sadar akan pengaruh karya sastra semacam Hikayat Prang Sabi dalam perang Aceh. Sehingga apa yang dilakukan oleh Izaak Thenu merupakan sebuah usaha untuk meniru atau menciptakan karya tandingan terhadap Hikayat Prang Sabi.
Meskipun tidak cukup kualifikasi untuk dapat disandingkan dengan Hikayat Prang Sabi, karya Izaak Thenu yang berjudul “Samalanga” tergolong berhasil dalam membangkitkan semangat peperangan tentara pribumi dalam agresi di Samalanga. Syair Samalanga berhasil menggerakkan tentara kolonial pribumi dalam menaklukkan benteng Batee Iliek.
ADVERTISEMENT
Secara kuantitas, syair Samalanga yang dikarang Izaak Thenu tidak sepanjang Hikayat Prang Sabi karya Teungku Chiek Pante Kulu. Syair itu hanya berjumlah 14 bait, dan setiap baitnya terdiri dari 4 baris. Syair tersebut berisi tentang patriotisme yang dikemas dengan janji kehormatan dari pemerintah Hindia Belanda.
Siapa masuk nomor satu
Itulah tanda amat berani
Nanti dapatlah bintang satu
Tanda setia lagi berani
Dengan syair itulah Izaak Thenu menggelorakan semangat peperangan tentara kolonial pribumi. Isi syairnya menyiratkan keterlibatan aktor dari kalangan pribumi dalam serangan ke Samalanga. Secara propaganda, syair ini dikarang memang sengaja ditujukan kepada prajurit pribumi. Hal ini terlihat jelas dalam lanjutan syairnya.
Meski dengarlah hujan pelor
Dari musuhmu orang Aceh
ADVERTISEMENT
Jangan sekali bersusah keluh
Tetapi peranglah hidup mati
Mari kamu hai orang Ambon
Lagi Manado lagi Ternate
Lawan musuh bertambun-tambun
Sampai gagahnya jadi berhenti
Anak Ambon gagah berani
Tak takut mati atau luka
Turut hati orang berani
Anak Ambon berani di muka
Kamu lagi hai sobat Jawa
Angkat kerjalah ramai-ramai
Agar kami bisa tertawa
Kalau musuh sudah berdamai
Penggalan syair di atas menggambarkan api semangat yang dikobarkan oleh sang pengarang. Dalam struktur syairnya, Izaak Thenu mempertimbangkan keterpaduan rima di setiap barisnya. Namun, syair tersebut berbeda dengan hikayat Aceh yang berpola zig-zag, ia lebih identik dengan pola persajakan pantun yang telah lama berkembang di kepulauan Nusantara.
Syair Samalanga menjadi sumbangsih penting Izaak Thenu dalam serangan Batee Iliek. Keberhasilan Belanda dalam menguasai pertahanan Batee Iliek berbuah manis bagi Izaak Thenu. Karena akumulasi jasanya di masa perang Aceh, pada tahun 1901, Izaak Thenu dianugerahi gelar kehormatan “Ksatria Ordo Oranye-Nassau” oleh Pemerintah Belanda.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, syair karangannya masih tercatat dengan baik dalam lembaran sejarah Belanda. Sosok Izaak Thenu dikenang karena kontribusinya terhadap perjuangan Belanda dalam menaklukkan kerajaan Aceh. Bahkan sesaat setelah kematiannya, Belanda mendirikan sebuah monumen di depan salah satu gereja protestan di Banda Aceh sebagai bentuk penghargaan.
Di Kerkhof Peucut, kuburan Izaak Thenu terletak di sebelah kiri pintu masuk, tidak jauh dari prasasti Kohler. Prasastinya tergolong besar jika dibandingkan dengan prajurit-prajurit pribumi lainnya. Penghormatan ini adalah simbol atas kebesaran jasanya terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa perang Aceh.
Di prasasti itu tertulis dalam bahasa Belanda “Di sini beristirahat Prajurit Pendeta Aceh, Iz Thenu, Ksatria Ordo Oranye Nassau. Lahir 14 September 1868 di Hutumuri, Ambon. Meninggal 10 Mei 1937 di Kutaraja”. Sebagai tanda jasa, di bawahnya tertera kutipan Alkitab Perjanjian Lama, “Sungguh, engkau telah mengajarkan banyak orang dan engkau telah menguatkan tangan-tangan yang lemah (Ayub 4:3)”.
ADVERTISEMENT
Perawatan dan pemugaran terhadap kuburan Izaak Thenu merupakan tanda penghormatan Belanda kepada penyairnya di masa Perang Aceh. Sampai hari ini, Kerkhof Peucut terus dirawat dengan baik sebagai bentuk penghargaan mereka atas sejarah, berbanding terbalik dengan makam Teungku Chiek Pante Kulu selaku sastrawan besar dalam masa perang Aceh dan pembesar-pembesar Kesultanan Aceh Darussalam lainnya!