Konten dari Pengguna

Mengapa Partai Lokal Kandas di Banda Aceh?

Fadhli Espece
Institute for Muslim Politics and Aceh Studies (IMPACT)
13 September 2024 13:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhli Espece tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Gedung DPRK Banda Aceh. Foto: Am Shal)
zoom-in-whitePerbesar
(Gedung DPRK Banda Aceh. Foto: Am Shal)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
30 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh periode 2024-2029 resmi dilantik pada Rabu (11/9/2024) dalam Rapat Paripurna Istimewa di Gedung DPRK Banda Aceh. Menariknya, struktur baru keanggotaan DPRK Banda Aceh yang dilantik telah didominasi oleh partai nasional (parnas) dan tidak satu pun dari partai lokal (parlok) yang berhasil mengirimkan perwakilannya di parlemen ibukota. Dalam pemilihan umum (pemilu) 2024, kuota legislatif DPRK Banda Aceh berjumlah 30 kursi. Total 30 kursi tersebut diisi oleh 8 parnas yang diwakili oleh PKS, Nasdem, PAN, Demokrat (5 kursi), Gerindra (4 kursi), Golkar (3 kursi), PPP (2 kursi), dan PKB (1 kursi).
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa parlok bisa kandas dan sama sekali tidak mampu merebut hati masyarakat di ibukota Provinsi Aceh. Tulisan ini memberikan pandangan bahwa kekalahan parlok di Banda Aceh bukan (sekadar) karena money politics atau karena masyarakat Banda Aceh lebih terpelajar (seperti asumsi yang beredar) sehingga masyarakat meninggalkan parlok, melainkan kekalahan total parlok dalam pemilu 2024 di Banda Aceh disebabkan oleh persoalan internal manajemen parlok dan keterbatasan mereka dalam melakukan ekspansi politik ke ibukota.
Sejak pertama kali berpartisipasi dalam pemilu lokal di Banda Aceh, parlok sempat memberikan warna dan nuansa lokal dalam komposisi politik di parlemen ibukota. Dalam pemilu 2009, parlok mengirimkan 10 perwakilan dari total 30 kursi yang tersedia. 10 kursi tersebut masing-masing diisi oleh Partai Aceh (6 kursi), Partai Daulat Aceh (3 kursi), dan Sentral Informasi Rakyat Aceh (1 kursi). Dengan perolehan tersebut berarti 33% kursi DPRK Banda Aceh diisi oleh parlok. Oleh karena itu, asumsi liar parlok sebagai partai yang “tidak intelek” menjadi tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Dalam pemilu kedua 2014, elektabilitas parlok di Banda Aceh menurun. Dari 30 kursi yang tersedia, parlok hanya mampu mengisi 5 kursi yang diwakili oleh Partai Aceh (4 kursi) dan Partai Damai Aceh (1 kursi). Perolehan tersebut berarti 16.66% DPRK Banda Aceh masih diisi oleh parlok. Penurunan elektabilitas parlok di Banda Aceh berlanjut dalam pemilu 2019. Dalam pemilu tersebut parlok hanya meraih 3 kursi yang diwakili oleh Partai Aceh (2 kursi) dan Partai Nanggroe Aceh (1 kursi). Artinya, perolehan 10% kursi DPRK Banda Aceh oleh parlok terus menunjukkan grafik yang menurun dari pemilu ke pemilu.
Kandas di Pemilu 2024
Tren penurunan elektabilitas parlok di Banda Aceh mencapai titik klimaksnya di pemilu 2024. Pemilu 2024 menjadi titik terendah dari kandasnya partai lokal yang sama sekali tidak memiliki keterwakilan dalam percaturan politik di Banda Aceh. Parlok sama sekali tidak mampu menjaga eksistensinya di ibukota provinsi. Dalam pemilu 2024, parlok yang menjadi peserta pemilu berjumlah 6 partai: Partai Aceh (PA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Adil Sejahtera (PAS), Partai Gabthat, Partai Darul Aceh (PDA), dan Partai SIRA. Lantas, apa yang membuat parlok sebagai identitas politik lokal Aceh tidak mendapatkan tempat dalam hati masyarakat Banda Aceh dalam pemilu 2024?
ADVERTISEMENT
Penurunan elektabilitas parlok dalam kontestasi politik di Banda Aceh tidak terlepas dari keterbatasan manajemen partai. Keterbatasan tersebut berdampak pada ketidakmampuan dalam melakukan ekspansi politik. Dalam pemilu 2024 di Banda Aceh, tidak satu pun partai lokal yang memaksimalkan kuota pencalonan yang merupakan hak istimewa parlok di Aceh. Dalam pencalonan anggota legislatif, parlok memiliki hak istimewa kuota pencalonan 120% yang berbeda dengan partai nasional yang berhak atas kuota 100%. Dalam konteks Banda Aceh, parlok berhak untuk mengajukan 35 nama calon dalam memperebutkan 30 kursi DPRK Banda Aceh.
Tentu saja, “privilege” tersebut dapat menjadi pendongkrak dalam perebutan suara konstituen. Sayangnya, tidak satupun parlok yang memanfaatkan peluang dan kesempatan tersebut secara maksimal. Dari 35 kuota yang diberikan untuk DPRK Banda Aceh, PA mengisi 32 nama, PNA 29 nama, PAS 25 nama, Partai Gabthat 20 nama, Partai SIRA 7 nama, dan PDA sama sekali tidak memiliki nama untuk dicalonkan. Banyaknya kuota kosong ini menandakan bahwa parlok kekurangan kader untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif. Bahkan PA sebagai partai lokal yang selalu menjadi penguasa politik di Aceh pun tidak mampu memaksimalkan kuota pencalonan tersebut.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kesiapan partai nasional yang memborong kursi DPRK Banda Aceh. Partai nasional peraih kursi DPRK Banda Aceh mengisi semua kuota pencalonan kecuali PKB yang kurang 1 calon di daerah pemilihan (dapil) 4 (Banda Raya-Jaya Baru). Secara kuota, parnas lebih siap dalam menghadapi pemilu dengan memaksimalkan jatah kuota kursi yang disediakan di setiap dapil. Sedangkan parlok yang telah diuntungkan dengan kuota pencalonan lebih banyak justru tidak mampu memaksimalkan hak kekhususan tersebut. Hal ini mempengaruhi dalam perolehan suara dan kontestasi para kandidat di masing-masing dapil. Oleh sebab itu, kecenderungan parlok yang tidak maksimal dalam pemenuhan kuota pencalonan di setiap dapil menandakan ketidaksiapannya dalam menghadapi pemilu 2024.
Tentu saja, persoalan tersebut dapat terjadi karena ada masalah dalam internal manajemen parlok khususnya dalam pengkaderan dan persiapan kontestasi politik di Banda Aceh. Fenomena krisis kader dan kekurangan figur potensial di tingkat kabupaten kota hampir dialami oleh semua parlok. Oleh sebab kekurangan kader, parlok terpaksa “mengimpor” kader dari luar Banda Aceh sebatas untuk mengisi kekosongan kuota. Kader-kader tersebut belum memiliki akar yang kokoh di masyarakat. Dampaknya partai tidak memiliki basis suara yang jelas di dapil.
ADVERTISEMENT
Problematika manajemen parlok sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Persoalan ini semakin beralasan setelah ditegaskan dengan banyaknya kader parlok yang pindah haluan ke partai nasional. Diakui atau tidak, dinamika tersebut berimplikasi pada perolehan hasil pemilu yang jauh dari kata memuaskan. Sebenarnya parlok kandas tidak hanya di Banda Aceh melainkan juga di Aceh Tengah. Ke depan, parlok juga berpotensi kandas di Aceh Singkil, Simeulue, Aceh Tenggara dan Gayo Lues, yang dalam pemilu 2024 hanya tersisa 1 perwakilan. Fenomena ini harus segera menjadi bahan evaluasi parlok dalam membenahi manajemen dan tata kelola sistem di internal partai.
Bagaimana pun, eksistensi parlok perlu dijaga sebagai wujud identitas kekhususan politik yang masih Aceh miliki. Kekalahan total di Banda Aceh sepatutnya menjadi pembelajaran berharga bagi parlok dalam menentukan langkah politik yang lebih tertata dan inklusif. Jangan sampai kekalahan di Banda Aceh menjadi awal mula tabuhan genderang kekalahan yang akan terus berkesinambungan sampai ke kabupaten/kota lainnya. Pemilu 2024 di Banda Aceh telah memberikan pelajaran, maka yang tersisa hanya ada dua pilihan: selamatkan atau selamat tinggal partai lokal!
ADVERTISEMENT