Konten dari Pengguna

Tiga Peluit Panjang untuk Pemerintahan Nova

Fadhli Espece
Institute for Muslim Politics and Aceh Studies (IMPACT)
30 Agustus 2020 5:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhli Espece tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ir. Nova Iriansyah, Plt. Gubernur Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Ir. Nova Iriansyah, Plt. Gubernur Aceh
Dalam satu semester terakhir, apa sih gebrakan baru dari program pemerintah Aceh di bawah kendali Plt Gubernur Nova Iriansyah? Wajar saja pertanyaan ini muncul, di tengah situasi genting seperti hari ini pemerintah justru terkesan tidak memiliki arah dan konsep yang jelas dalam menjalankan fungsi kekuasaannya. Singkat kata, Pak Nova dan jajarannya terlihat gamang dengan keputusan yang telah diambilnya sendiri. Jika diibaratkan dalam dunia sepakbola, Pemerintahan Nova terlalu banyak kilek-kilek dan lupa mencetak gol, bahkan terkadang justru peulop bola lam gon droe.
ADVERTISEMENT
Coba kita perhatikan berbagai kegamangan yang telah lama dipertontonkan di hadapan rakyatnya sendiri. Saya tidak ingin memulai dari masalah stiker BBM bersubsidi. Itu biar dipeuteupat sendiri oleh Pak Nova. Tapi kita bisa melihat dengan terang bagaimana polemik Sapi Kurus di Saree yang sempat diangkat oleh media tempo hari. Bukan hanya kurus, sapi-sapi itu malah sebagiannya sudah banyak yang mati.
Di tengah keteledoran itu, tim hore pemerintah justru dengan seenak dengkulnya menuduh berita itu hoax dan mengangkat foto lama. Padahal ketika dikroscek langsung oleh netizen, kasus tersebut benar adanya. Sampai disini kita patut mengacungkan empat jempol dari tangan sampai ke kaki kepada BuzzeRp Plt. Mereka sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Lantas, bagaimana nasib sapi-sapi kurus itu hari ini?
ADVERTISEMENT
Berkaca pada keteledoran lainnya, kita tentu masih ingat dengan kasus penganggaran empang breuh, goodie bag, laptop, mobil dinas, dan yang baru-baru ini pawai moge untuk memperingati MoU Helsinki. Pemerintahan Nova terlalu banyak melakukan pemborosan anggaran kepada sesuatu yang tidak substantif. Padahal kondisi genting lebih membutuhkan program-program strategis yang terukur dan tepat sasaran.
Untung saja rakyat mampu mengawasi uangnya sendiri sehingga beberapa program itu berhasil dibatalkan. Kita juga tidak perlu berharap banyak kepada anggota dewan yang terhormat yang terkadang tengeut-tengeut jaga. Adakalanya rakyat memang harus mengawal sendiri kuasa pemerintah yang senang untuk bermain-main dengan kekuasaannya.
Pemerintah Aceh saat ini nggak tau mau kita bilang apa. Berharap pada program, program tidak signifikan. Berharap pada janji, janji tidak ditunaikan. Alih-alih mengharapkan janjinya ditunaikan, yang ada malah sangkalan terhadap kata-kata yang telah keluar dari mulutnya sendiri. Betapa lukanya hati diaspora Aceh di Malaysia yang telah diberikan harapan mengenai bantuan sembako. Setelah menunggu berbulan-bulan, hanya janji-janji palsu yang didapatkan. Itu belum lagi dengan janji memberikan insentif kepada tenaga medis. Tidak perlu berharap lebih, kita sebagai rakyat harus puas jika hanya dijadikan sebatas alat pencitraan oleh penguasa. Selebihnya? Bak pucok trieng leumiek.
ADVERTISEMENT
Mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah Aceh tidak memiliki anggaran yang memadai? Tentu saja itu bullshit. Aceh telah melakukan refocussing Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sebanyak 1.7 Triliun, bahkan ada desas-desus sudah mencapai 2.3 Triliun. Masuk 5 besar tertinggi di Indonesia. Mengapa desas-desus? Karena Pemerintah Aceh enggan melakukan transparansi anggaran refocussing APBA. Sampai hari ini rakyat tidak tahu anggaran saboh tong itu digunakan untuk apa. Pemerintah lebih suka bermain kucing-kucingan dengan rakyatnya sendiri. Padahal anggaran itu harus segera dipergunakan, mengingat kasus covid-19 di Aceh sedang melonjak tajam.
Di samping itu, kesejahteraan rakyat Aceh juga masih menjadi persoalan yang paling krusial. Di tengah berlimpahnya dana otonomi khusus, jumlah penduduk miskin di Aceh justru semakin bertambah. Aceh memang tidak lagi menyandang "prestasi" sebagai provinsi termiskin di Sumatra. Tapi itu bukan karena keberhasilan Pemerintahan Aceh dalam menekan jumlah penduduk miskin, namun karena persentase kemiskinan di Bengkulu yang sedang melonjak tajam.
ADVERTISEMENT
Faktanya pada September 2019 penduduk miskin di Aceh masih berjumlah 809,76 ribu. Berselang enam bulan kemudian, jumlah penduduk miskin di Aceh pada Maret 2020 meningkat menjadi 814,91 ribu. Artinya penduduk miskin di Aceh bertambah sebanyak 5,1 ribu orang. Jadi tidak ada yang perlu disyukuri.
Selain mendapatkan peringkat kedua provinsi termiskin di Sumatera, Aceh juga masuk dalam 5 provinsi dengan realisasi APBD di bawah rata-rata nasional. Menurut data laporan Kemendagri per tanggal 11 Agustus 2020, realisasi APBA di Aceh semester I tahun anggaran 2020 masih di angka 29,98%. Apa yang harus dibanggakan?
Lalu apakah rakyat harus duduk manis saja menonton semua permainan dan dagelan sandiwara ini? Tidak, cepat atau lambat, rakyat akan menggugat kinerja pemerintah Aceh yang gamang dan bertele-tele ini. Hentikan semua kerja pencitraan yang hanya menguras sia-sia uang rakyat. Sudah terlalu lama Pemerintah Aceh bermain-main dengan kekuasaan di tangannya. Tidak ada lagi masa "injury time". Mulai detik ini kita tiupkan tiga peluit panjang sebagai penanda selesainya semua permainan. Sudah cukup bermain-main dengan nasib dan masa depan 5 juta rakyat Aceh. Tolong ya, cukup sudah!
ADVERTISEMENT