Konten dari Pengguna

Delik Pers dan Kehati-hatian Kerja Jurnalistik

Muhammad Fadlan Athariq
Pekerjaan saya sehari-hari adalah ke kampus. Saat ini saya adalah mahasiswa di Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Komunikasi. Tidak ada yang spesial, saya hanya suka menulis untuk membagikan ilmu yang saya dapat. Itu saja
16 September 2024 8:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fadlan Athariq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa itu Pers? Pers adalah lembaga sosial yang melakukan kegiatan jurnalistik. Seperti mencari, mengumpulkan, dan menyebarkan informasi berbentuk berita kepada publik atau masyarakat. Pers adalah tonggak bagi negara demokrasi. Dengan pers, masyarakat bisa mendapatkan cahaya kebenaran informasi sehingga tidak mudah untuk dibodohi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kebebasan pers dijamin dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Hal tersebut terbukti pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 yang khusus membahas soal kerja pers. Sayangnya, kebebasan pers masih diperdebatkan hingga saat ini. Apakah pers benar-benar sudah bebas bersuara, atau masih ditekan oleh negara?
ADVERTISEMENT
Delik Pers adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pers. Namun, dalam ilmu hukum tidak ada yang namanya delik pers, yang ada hanyalah delik umum yang dilakukan oleh pers. Maka, delik pers tidak dikhususkan pada pekerja dalam pers saja. Hal ini bisa saja dikenakan oleh orang-orang yang berada di luar pers atau masyarakat umum. Selama pelanggar melakukan pelanggaran menggunakan media cetak dan ditujukan kepada publik. Dalam Pasal 153 KUHP, delik pers dibagi dalam dua bentuk: delik aduan dan delik biasa.
Delik aduan adalah jenis delik yang memerlukan adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Contohnya pada kasus tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah. Pihak yang dirugikan harus melapor terlebih dahulu, baru kasus tersebut bisa diproses oelh penyidik. Namun, apabila kasus tersebut sudah dilaporkan dan ingin dicabut oleh si penuntut, penyidik masih memiliki hak untuk mengusut kasus tersebut. Disinilah delik biasa diartikan, penyidik bisa memproses suatu kasus tanpa harus ada pengaduan dari pihak penuntut. Hal ini dikarenakan adanya bukti dan kecurigaan akan tindak pelanggaran. Contohnya bisa seperti kasus pencemaran nama baik pemerintah, penghasutan, menghinaan kepada agama, dan pelanggaran lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan tugas, jurnalis atau wartawan pasti tidak akan luput dari kesalahan. Sengaja atau tidak sengaja, perasaan tersinggung dan tuduhan pencemaran nama baik pasti pernah dirasakan oleh pekerja pers. Lalu, bagaimana apabila pekerja pers melakukan kesalahan? Kemana kita bisa mengadukan hal tersebut? Segala hal dalam ruang lingkup jurnalistik diurus oleh Dewan Pers. Hal tersebut sudah sesuai dengan prosedur dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999. Pihak yang merasa dirugikan oleh kerja suatu pers dapat mengajukan pengaduan kepada Dewan Pers. Nanti Dewan Pers akan mengusut kasus tersebut dan mengadili pers apabila terbukti bersalah. Pihak kepolisian tidak memiliki hak untuk mengadili kinerja jurnalistik. Kenapa? Takutnya tindakan tersebut bisa menyakiti sendi-sendi kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Namun, kenapa masih ada kasus-kasus yang menggiring pekerjaan pers malah diselesaikan di pengadilan? Banyak faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi. Seperti tanggung jawab pers pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 yang belum mampu menyelesaikan sendiri persoalan pelanggaran yang dilakukan oleh kerja jurnalistik. UU Pers masih memerlukan pasal-pasal lain dalam menindak pelanggar hukum, seperti kasus pencemaran nama baik yang masih memerlukan pasal-pasal pada kitab KUHP. Selanjutnya, tidak adanya kejelasan perbedaan kasus-kasus yang harus ditanggani oleh Dewan Pers (dengan Pasal pada UU Pers) dan yang diberikan kepada pengadilan. Seperti membedakan kasus khusus yang harus ditanggani oleh Dewan Pers dan kasus umum yang boleh diselesaikan oleh pengadilan dengan pasal selain UU Pers.
ADVERTISEMENT
Perdebatan-perdebatan inilah yang harus cepat diselesaikan oleh lembaga pers. Penyelesaian hukum yang abu-abu dapat mencemari kemerdekaan pers dan melukai para pekerja yang berada diruang lingkup jurnalistik. Kita memiliki kisah kelam soal bagaimana mengerikannya ketika pers dibelenggu oleh negara dan kita tentu tidak menginginkan hal seperti itu kembali terjadi. Menurut Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), terdapat 83 kasus serangan terhadap pers pada tahun 2023. Hal ini dikonfirmasi menjadi jumlah kasus terbanyak penyerangan kepada pers sejak
ilustrasi ancaman kebebasan pers (by: Canva)
10 tahun terakhir. Ini adalah alaram bahaya bagi kebebasan pers.
Bagi para pekerja pers, diharapkan untuk lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Ingat bahwa pers memiliki tanggung jawab sosial demi memberitakan kebenaran. Jangan sampai melakukan hal-hal yang dapat mencemari sucinya pekerjaan wartawan. Berpedomanlah pada Kode Etik Jurnalistik, sehingga pekerjaan pers tetap bisa dilindungi oleh Dewan Pers. Jangan sampai “anjing pengawas’ ini bisa dijinakkan dan salah satu pilar demokrasi ini dapat diruntuhkan. Apabila pers dapat ditidurkan, maka celaka akan datang pada negara demokrasi.
ADVERTISEMENT