Rumus Bahagia ala Epikuros

Fadlan
Kolomnis dan pendiri Lingkar Studi Filsafat (LSF) Sophia
Konten dari Pengguna
17 September 2020 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber:  https://www.bbc.co.uk/programmes/w3cszjv4
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.bbc.co.uk/programmes/w3cszjv4
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu teman saya membeli sebuah ponsel baru. Itu ponsel yang sangat bagus, menurut saya. Bahkan lebih bagus dari ponsel teman-teman yang lain, termasuk saya. Namun, entah mengapa tak ada guratan kebahagiaan yang nampak di wajahnya laiknya orang yang baru saja mendapat ponsel baru pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Namun, selang beberapa hari kemudian, dia membeli ponsel yang baru lagi, yang sebenarnya tak jauh berbeda dari ponsel miliknya sebelumnya. Namun sama saja. Ia masih tidak menunjukkan roman yang menggambarkan kepuasan pada gawai barunya itu. Saya lantas bertanya, apa gerangan yang membuatnya masih tidak puas?
Dia lalu menjawab: "Sebenarnya saya mau ponsel yang 'itu' (ponsel merek terbaru dan terkenal). Hanya saja uangku belum cukup. Tapi saya juga bosan kalau tidak ada yang bisa dipakai buat chattingan."
Apa yang terjadi pada kasus teman saya di atas merupakan gambaran dari budaya konsumerisme saat ini; Budaya konsumerisme mungkin kini sudah menjadi kegaliban di tengah masyarakat kita, di mana kita selalu menginginkan lebih dan lebih, karena kita acap kali menilai bahwa lebih banyak berarti lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya konsumerisme, kita cenderung dihadapkan pada kegelisahan dan ketidakpastian yang tak berujung dalam memutuskan apa yang dapat membuat kita puas, juga kesangsian dalam menentukan skala prioritas, dan apa yang akan membuat kita untuk dapat berkata 'cukup' pada diri sendiri. Alih-alih membawa kepuasan, hasrat seperti ini justru membuat kita tidak pernah puas.
Judul tulisan ini mungkin nampak seloroh, karena kebanyakan kita tidak begadang semalaman hanya untuk memikirkan Epikuros, ksatria hitam Yunani kuno dan penganjur hedonisme. Namun demikian, tak dapat dinafikkan, ia merupakan sumber inspirasi filsuf-filsuf setelahnya.
Epikuros adalah seorang filsuf Yunani kuno yang dikenal sebagai pendiri mazhab Epikureanisme dalam filsafat. Seperti yang kita lihat; aliran ini memang dinisbahkan atas namanya. Ia hidup sekitar tahun 341-270 SM di Athena. Sentral gagasan filsafatnya yaitu tentang "bagaimana cara hidup bahagia," atau yang ia istilahkan dengan "Ataraxia." Ajarannya itu dicatat baik oleh penulis-penulis setelahnya, seperti penyair Romawi Lucretius dan Diogenes Laertius.
ADVERTISEMENT
Dan, sebab karena gagasannya tersebut pula lah maka wajar—banyak yang menuding Epikuros terlalu menekankan hidup yang materialistis yang hanya berpatok pada materi semata. Namun di sini, saya tidak dapat menilai apakah kesimpulan awam tersebut benar atau salah, karena boleh jadi Epikuros mengaminkannya atau mungkin saja menentangnya; karena toh materi bagi kebanyakan orang memang dianggap sebagai kebahagiaan—di sisi lain, Epikuros juga menilai bahwa materi pun tidak selamanya membawa kebahagiaan seperti kasus di atas.

Tentang Keinginan dan Kenikmatan

Epikuros adalah seorang hedonis tulen. Meskipun tujuan filsafatnya adalah kebahagiaan, namun begitu, bukan berarti segala jenis kenikmatan musti dikejar. Epikuros tidak menyarankan kita untuk mengejar kebahagiaan jangka pendek, ia menyarankan kita untuk mengejar kebahagiaan jangka panjang. Motto dari etikanya ialah: kebahagiaan dan kenikmatan merupakan kebaikan, sementara ketakutan dan kegelisahan adalah kejahatan.
ADVERTISEMENT
Menilik cerita teman saya sebelumnya, ide Epikuros mungkin dapat membantu kita dalam usaha untuk menahan hasrat yang eksesif tersebut dan mungkin dapat membuat kita menyadari apa yang benar-benar penting bagi kita.
Epikuros membedakan dua jenis kenikmatan, yaitu kenikmatan yang "bergerak" dan kenikmatan yang "diam";
Kenikmatan yang "bergerak" muncul ketika seseorang sedang memenuhi suatu keinginan karena indranya yang sedang terangsang. Contoh kenikmatan bergerak adalah seperti budaya konsumerisme—dan/atau ketika seseorang minum alkohol dan mabuk. Sesaat setelah ia meneguk alkohol dan memenuhi hasratnya, kenikmatan yang ia rasakan dengan segera pasti akan hilang, dan setelah itu muncul lagi rasa resah untuk memenuhi hasrat itu kembali.
Sementara itu, kenikmatan "diam" adalah—kenikmatan yang timbul saat ketika kita tidak lagi memiliki keinginan akan sesuatu. Laiknya ketika seseorang yang sudah begah setelah makan; logikanya, orang yang sudah kenyang dengan sendirinya pasti akan berhenti makan.
ADVERTISEMENT
Dari dua jenis kenikmatan tersebut, Epikuros berpendapat bahwa kenikmatan yang "diam" adalah kenikmatan yang terbaik karena kenikmatan yang bergerak selalu tidak pernah merasa cukup.
Olehnya, agar supaya kita dapat mengendalikan keinginan kita yang tanpa batas dan menanggulangi penderitaan yang ditimbulkannya, kita perlu untuk mengklasifikasikan mana keinginan yang benar-benar penting dan mana yang tidak. Olehnya, dengan filsafatnya, Epikuros lalu mengklasifikasikan "keinginan" menjadi tiga jenis;
Pertama, keinginan yang alami dan perlu. Bagi Epikuros, keinginan ini wajib dipenuhi. Contoh dari keinginan ini adalah makanan, tempat tinggal, pakaian dan sejenisnya. Saya kira adalah wajar untuk menginginkan hal-hal ini dan, tentu saja, faktor yang paling krusial bagi hidup. Karena, jika kita tidak makan, kita akan menderita karena kelaparan.
ADVERTISEMENT
Kedua, keinginan yang alami tetapi tidak perlu. Jenis keinginan ini menurut Epikuros adalah keinginan untuk hal-hal tertentu yang umumnya muncul dikarenakan sifat narsisme dan egoistik; seperti menginginkan makanan yang mahal.
Menurut Epikuros, benar bahwa ego adalah hal alamiah. Tetapi tak jarang ego juga mengantarkan kita pada kebutuhan yang (sebenarnya) tidak penting; Memang benar, kita sangat membutuhkan makanan untuk hidup, tetapi untuk hidup kita tidak harus makan-makanan yang mahal. Jika seandainya kita menginginkan hal ini, sementara kita sendiri tidak punya uang untuk membelinya, tentu saja kita akan kecewa.
Ketiga, keinginan yang sia-sia. Keinginan yang sia-sia adalah keinginan untuk berkuasa, kaya, atau terkenal. Epikuros mengatakan keinginan semacam ini sulit untuk terpenuhi karena tidak ada batasnya—hasrat manusia yang tidak pernah terpuaskan.
ADVERTISEMENT
Contoh, jika kita menginginkan kekayaan dan sudah mencapainya, pasti kita akan selalu menginginkan yang lebih dari apa yang sudah kita dapatkan sebelumnya, begitu seterusnya. Menurutnya, keinginan yang seperti ini adalah bagian dari "hasrat terpendam di dasar tergelap ego kita."
Epikuros meyakini bahwa sebenarnya kita telah dibodohi bahwa hal-hal objektif seperti kekayaan, ketenaran, dan jabatan akan memberi kita kebahagiaan, padahal sebenarnya tidak. Maka, menurutnya keinginan yang seperti ini harus dihilangkan. Olehnya, jika kita belajar untuk mengontrol keinginan atau ego kita, kita akan bahagia dan lebih tenang.
***
Laku hidup mazhab Epikureanisme adalah ketenangan pikiran dan kebahagiaan. Epikuros mengatakan menginginkan kesenangan dan menghindari penderitaan adalah kodrat manusia. Itu adalah sifat alamiah. Memangnya orang waras mana yang ingin hidupnya menderita? Pasti tidak ada. Jadi, kita harus mulai melatih diri kita dalam hal-hal yang dapat membawa kita kepada kebahagiaan, karena, jika itu hadir, kita memiliki segalanya, dan jika itu tidak ada, semua tindakan kita pasti diarahkan untuk mencapainya.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa catatan yang tersisa, Epikuros mengategorikan kesenangan dan rasa sakit dengan tiga kriteria utama, yaitu: pertama, kualitasnya. Melihat seberapa tinggi tingkat kenikmatan yang dihasilkan; kedua, durasinya. Melihat seberapa lama kesenangan yang dihasilkan; dan ketiga, kemurniannya. Melihat efek yang dihasilkan.
Menilik ketiga hal tersebut, Epikuros pernah berkata, "... Jadi, tidak ada alasan untuk makan makanan mahal, mabuk-mabukkan, dan bergembira dengan wanita hari ini jika gegara itu Anda akan sakit kepala besok"; Menurutnya, makan makanan mahal atau mabuk-mabukkan secara berlebihan tidak akan membuat kita bahagia, baik dalam durasinya atau kemurniannya.
Di sinilah Epikuros berpisah dengan hedonis tradisional yang hanya—bersenang-senang sepanjang hari demi memenuhi hasrat semu mereka. Epikuros menekankan bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat kita lakukan, karena "banyak hal yang tidak muluk baik bagi diri kita," dan, tentu saja bagi dompet kita.
ADVERTISEMENT
Jadi, agar supaya kita mencapai kebahagiaan dan mencegah penderitaan, ia selalu menasihati para muridnya—untuk menjalani kehidupan yang tenang—yang terlepas dari masyarakat dan menghindari hal-hal yang berujung pada tanggung jawab (seperti memegang jabatan). Hal ini berguna untuk menghindari kecemasan karena ambisi dan rasa ketakutan yang disebabkan ocehan orang lain, misalnya.
Meskipun kenyataannya hidup ini tidak pasti dan tak jarang membawa kita pada kegagalan dalam usaha untuk menghindari penderitaan, menurut saya, dalam hidup kita memang selalu dihadapkan pada rasa sakit dan penderitaan sebagai bagian dari pengalaman hidup kita.
Namun, untuk hidup dengan lebih positif, kita mungkin dapat menjadikan filsafat Epikuros ini sebagai sebuah pandangan baru; Mungkin kita tidak selalu dapat menghindari perasaan-perasaan negatif yang muncul, olehnya dia menyarankan kita agar konsisten memilih untuk menghindari hal-hal yang dapat memicu keinginan yang berlebihan, meskipun itu untuk kesenangan.
ADVERTISEMENT
Ia menyarankan kita untuk mengubah gaya hidup kita;—lepas dari keinginan akan sesuatu yang (sebenarnya) tidak diperlukan, melepaskan diri dari pengharapan yang terlampau tinggi, dan berhenti menaruh standar kebahagiaan kita pada hal-hal yang bersifat temporal seperti status, kekayaan, atau ketenaran. Jika semua ini sudah dilakukan, kata Epikuros: "percayalah, kebahagiaan sejati akan datang."