Konten dari Pengguna

Vaksin COVID-19 Berbayar, Indikasi Langgengnya Kekerasan Struktural?

Fahrizal Lazuardi
Penulis bernama lengkap Fahrizal Lazuardi. Lahir di Majalengka, 21 Agustus 1994. Saat ini berdomisili di Surakarta. Penulis sedang menempuh Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM. Penulis bisa dihubungi melalui [email protected].
16 Juli 2021 21:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahrizal Lazuardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus pandemi coronavirus disease (COVID-19) di Indonesia terus mengalami kenaikan yang signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun Satuan Tugas Penanganan COVID-19 hingga 15 Juli 2021, angka kasus COVID-19 di Indonesia tercatat telah mencapai 2.726.803, pasien sembuh sekitar 2.176.412, dan meninggal 70.192 jiwa.
ADVERTISEMENT
Pada hari yang sama, total kasus baru di Indonesia bertambah sebanyak 56.757. Perolehan angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat ke-1 dengan jumlah penambahan kasus terbanyak di dunia. Selain itu, jumlah kasus harian COVID-19 tersebut juga merupakan rekor tertinggi bagi Indonesia sejak pertama kali diumumkan pada awal Maret 2020.
Dalam upaya mengendalikan penyebaran COVID-19 yang semakin meningkat tersebut, Pemerintah telah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh daerah, termasuk mempercepat pelaksanaan program vaksinasi nasional.
Salah satu kebijakan untuk menggenjot vaksinasi nasional adalah melalui vaksin mandiri berbayar atau Vaksinasi Gotong Royong Individu. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 10/2021 yang mengubah Permenkes No. 84/2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Permenkes tersebut, vaksinasi gotong royong individu dipatok dengan harga Rp321.660 untuk sekali dosis, sehingga harga total untuk dua kali dosis penyuntikan adalah Rp879.140, termasuk harga layanan Rp117.910. Vaksinasi gotong royong individu ini rencananya akan menggunakan vaksin Sinopharm dan dijual oleh PT Kimia Farma.
Sayangnya, kebijakan Pemerintah terkait vaksinasi gotong royong individu yang baru dicanangkan tersebut justru menimbulkan polemik di kalangan publik. Beberapa pihak menilai bahwa kebijakan vaksinasi gotong royong individu berbayar kontraproduktif dengan janji Presiden Joko Widodo yang sebelumnya mengatakan vaksin COVID-19 untuk seluruh masyarakat adalah gratis.
Sumber: foto tangkapan layar kanal Youtube Sekretariat Presiden, 16 Desember 2020
Alih-alih mempercepat pemerataan vaksinasi nasional, kebijakan vaksinasi gotong royong individu malah dapat dilihat sebagai bentuk kekerasan struktural yang dilakukan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada literatur, konsep kekerasan struktural pertama kali diperkenalkan Johan Galtung pada tahun 1990. Konsep ini merujuk pada aneka norma, agama, suku, bahasa, yang menormalkan pembagian topdogs dan underdogs.
Singkatnya, kekerasan struktural merupakan kekerasan yang membagi masyarakat yang mempunyai akses dan tidak punya akses, privilege dan tidak privilege, topdogs dan underdogs.
Dalam hal vaksin COVID-19, maka kebijakan Vaksinasi Gotong Royong Individu akan memecah masyarakat ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas yang dapat menjangkau vaksinasi gotong royong individu.
Sedangkan kelompok kedua adalah masyarakat kelas ekonomi bawah atau kelompok rentan yang harus rela mengantre, berdesak-desakan, bahkan seringkali tidak berhasil mendapatkan akses vaksin gratis karena kuota sudah penuh atau ketersediaan pasokan vaksin telah habis.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, kebijakan vaksin mandiri berbayar pun akan menormalkan pembagian kelompok di atas. Dengan kata lain, akan menjadi wajar bagi kelompok rentan untuk sulit mendapatkan vaksin COVID-19 karena ketidakmampuannya membeli vaksin berbayar.
Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah adalah terjaminnya akses terhadap vaksin COVID-19 bagi semua elemen masyarakat, terlepas dari apa pun status ekonominya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Kepala Unit Program Imunisasi World Health Organization (WHO) Ann Lindstrand.
Pada konferensi pers secara dalam jaringan (daring) tanggal 12 Juli 2021, Ann Lindstrand menekankan pentingnya Pemerintah untuk menjamin setiap warganya memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses vaksin COVID-19.
Ia juga menambahkan bahwa vaksin berbayar dapat menimbulkan masalah akses dan etika selama pandemi. Padahal, Pemerintah seharusnya meningkatkan cakupan vaksinasi yang luas, termasuk menjangkau kelompok yang paling rentan.
ADVERTISEMENT
Hingga tulisan ini diturunkan, Presiden Jokowi pada akhirnya memutuskan untuk mencabut rencana vaksin mandiri berbayar. Dengan demikian, Pemerintah sekali lagi memastikan bahwa vaksinasi akan tetap gratis dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Langkah ini patut diapresiasi bersama karena hal ini berarti bahwa Pemerintah telah mendengar masukan dan kritikan publik. Dengan menggratiskan vaksin COVID-19 secara penuh, Pemerintah berada di jalur yang tepat dalam menjalankan amanat konstitusi, yakni “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”.