Konten dari Pengguna

Sumpah Pemuda Tanda Lahirnya Bahasa dan Kesusastraan Indonesia

Faiq Sabila
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28 Oktober 2024 13:20 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faiq Sabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
sumber : foto pribadi
ADVERTISEMENT
Tanggal 28 Oktober tahun 1928 ditetapkan sebagai hari Sumpah Pemuda sebagai hasil dari Kongres Pemuda II di Batavia yang digaungkan oleh perwakilan seluruh pemuda-pemuda Indonesia untuk menyatukan jiwa nasionalisme, patriotisme dan kesatuan cinta tanah air. Sebagian besar masyarakat hanya menandai tanggal 28 Oktober sebagai hari sumpah pemuda, tetapi sejatinya hari itu juga sebagai hari lahirnya bahasa kesatuan dan ditetapkanya awal mula sejarah kesusastraan Indonesia yang kaya akan nilai-nilai luhur yang menjiwai segenap bangsa.
ADVERTISEMENT
Kongres Pemuda yang diadakan kali kedua ini digagas oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang diketuai oleh Sugondo Djojopuspito dengan tujuan untuk memperkuat rasa persatuan dan kebangsaan Indonesia yang telah tumbuh didalam benak dan sanubari pemuda-pemudi. Kongres yang diadakan di tiga tempat yang berbeda ini yaitu di gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw (Rumah Indekos, Kramat No. 106), mebahas tema yang berbeda-beda. Hari pertama di gedung Kathoileke ketua Sugondo memberikan sambutan tentang pentingnya arti kesatuan dan menghindari perceraiberaian. Hari kedua di gedung Oost-Jawa membicarakan tentang masalah pendidikan yang disampaikan oleh Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dan hari ketiga di gedung Clubgebow membahas tentang pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain yang ada di gerakan pramuka. Theo Pangemanan mengatakan pentingnya nilai-nilai kepanduan harus ditanamkan dalam setiap jiwa anak bangsa untuk mendidik dan meneguhkan kepribadianya. Berakhirnya kongres pemuda menjadi langkah nyata semangat dan perjuangan kaum pemuda-pemudi bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Rapat diakhir dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” Ciptaan Wage Rudolf Supratman dan menghasilkan butir-butir yang kita kenal dengan 3 butir “Sumpah Pemuda”.
ADVERTISEMENT
Sastra ada ketika bahasa itu ada
Sastra X baru ada setelah bahasa X itu ada, adalah sebuah definisi tentang sastra Indonesia menurut Prof Umar Junus beliau merupakan sastrawan asal Silungkang, Sumatra Barat. Pengertian tentang sastra Indonesia dan hari lahirnya sastra Indonesia memang beragam. Seperti misalnya menurut Ajip Rosidi bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa. Ia mengatakan bahwa sastra Indonesia sejak tahun 1920/1921 karena adanya sajak-sajak bercorak kebangsaan dan memakai bahasa Indonesia dari pemuda Jong Sumatra oleh pemuda Moh. Hatta, M. Yamin dan Sanusi Pane. Sedangkan menurut A. Teeuw seorang pakar Sastra dan Budaya Indonesia asal Belanda mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia modern baru ada sekitar tahun 1920 dengan alasan yang berbeda dari Rosidi. Alasan Teeuw menetapkan tahn 1920 karena pada masa itu para pemuda mulai beramai-ramai menuangkan ide dan perasaan mereka kedalam bait-bait puisi. Sedangkan pendapat yang cukup berbeda disampaikan oleh Prof. Slamet Mulyana seorang Sejarawan yang mengatakan sastra Indonesia lahir dari tahun 1945 karena bahasa Indonesia secara resmi dikukuhkan sebagai bahasa persatuan seperti dalam UUD 1945. Atau pendapat terakhir dari dua orang sarjanawan Belanda Hooykas dan Drewes bahwa kesusastraan Indonesia sudah lahir sejak masa kesusastraan melayu seperti karya-karya Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri dan lainya.
ADVERTISEMENT
Beragam pendapat tentang lahirnya sastra Indonesia merupakan bukti bahwa sejatinya kesusastraan Indonesia kaya akan nilai-nilai yang menyertainya. Baik itu sejak munculnya sastra melayu ataupun sejak digunakanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, semua itu merupakan peninggalan kekayaan akan sastra Indonesia yang memiliki nilai luhur, semangat cinta tanah air dan kepercayaan akan Tuhan yang maha Esa. Namun secara resmi Indonesia mengakui hari lahir Bahasa Indonesia yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 bertepatan dengan hari lahir Sumpah Pemuda.
Sekilas tentang periodisasi sastra Indonesia
Periodisasi sastra Indonesia jika diatrik kebelakang itu dimulai pada tahun 1850, hal ini karena pada tahun itu mulai adanya teknologi baru dalam dunia sastra yaitu mesin cetak. Penggunaan mesin cetak memiliki dampak yang sangat signifikan dalam upaya penyebarluasan karya-karya sastra dari setiap sastrawan untuk disebarluaskan kepada pembaca tujuanya.
ADVERTISEMENT
Periode tahun 1850-1933
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa pada periode awal ini munculnya teknologi mesin cetak sangat berpengaruh pada perkembangan sastra. Hal ini dimulai dari penerjemahan sastra Cina dan Eropa yang mulai masuk sekitar abad 19. Ragam sastra ini ditandai dengan adanya sebutan Sastra Melayu Tionghoa, Bacaan Liar, Sastra Koran, Max Haveler dan Politik Etis, dan Balai Pustaka. Kesemua ragam penyebutan itu berkaitan juga dengan kondisi perpolitikan dan penjajahan yang berlangsung di Indonesia dalam kurun waktu tersebut.
Periode tahun 1933-1942
Pada periode ini muncul berbagai majalah salah satu yang paling terkenal adalah majalah Pujangga Baru yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Majalah yang terbit sebelum Pujangga Baru diantaranya seperti majalah Sri Po estaka (1919-1942), Panji Poestaka (1919-1942), Jong Java (1920-1926), dan Timboel (1930-1933). Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-1933) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian diganti oleh STA dengan bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Periode 1942-1945
Sebenarnya pada periode ini ada kaitanya dengan masa pendudukan Nippon atau jepang di Indonesia. Periode ini banyak didominasi oleh jepang dalam upaya propaganda lewat sastra. Hal ini dengan lahirnya badan yang mengurusi kegiatan propaganda jepang yaitu Sendenbu. Lembaga ini berusaha membangun citra pemerintah Jepang melalui berbagai cara termasuk mempropagandakan kebijaksanaaan pemerintah Jepang. Lembaga ini kemudian mendirikan Barisan Propaganda yang anggotanya terdiri budayawan, wartawan, dan seniman.
Periode 1945-1961
Periode ini memasuki awal kemerdekaan yang membuka pintu masuknya perubahan budaya yang signifikan dikalangan budayawan dan sastrawan. Hal ditandai dengan muncul berbagai penerbitan seperti Panca Raya, Panji Masyarakat, Genta, Basis, Pembangunan, Siasat, Nusantra, Gema Suasana, Mimbar, Pujangga Baru, dan Seniman. Perkumpulan-perkumpulan para sastrawan yang sesuai dengan idelogi atau rasa yang ingin ditampilkan dalam sastranya juga mulai bermunculan seperti Gelanggang Seniman Merdeka yang didirkan oleh Chariril Anwar sastrawan angkatan 45, ada juga Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang diinisiatifi oleh D.N Aidit, Nyoto, M.S Ashar dan A.S Dharta yang mempropagandakan ide-ide pemikiran mereka.
ADVERTISEMENT
Periode 1961-1971
Periode ini penuh dengan pergolakan dengan banyaknya pertentangan para sastrawan yang mewakili kepntingan golonganya masing-masing. Konflik tersebut salah satunya terkait pembubaran Lekra beserta ajaran-ajaran yang dibawanya dan pembubaran partai PKI. Polemik itu muncul dari penolakan 26 sastrawan yang dimotori oleh sastrawan Taufiq Ismail penganugrahan hadiah Masagsay yang diberikan kepada salah satu tokoh sastrawan Lekra. Kemudian banyak konflik yang terjadi antara perkumpulan Manifestasi Kebudayaan (Manikebu singkatan dari aktifis Lekra) dan juga Lekra yang menjadi musuh utama para aktifis sastrawan Manikebu. Manikebu sendiri merupakan perkumpulan para seniman dan intelektual yang mengusung tema humanisme-universal. Tokoh yang terdapat didaalmnya seperti Wiratmo Soekito, H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Zaini, Djufri Tanissan, A. Bastari Asni, Boen S. Oemarjati, Purnawarman Tjondronagoro, Sjawhwil, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Taufiq Ismail, M. Saribi Afn., Binsar Sitompul, dan Hartojo Andangdjaja.
ADVERTISEMENT
Periode 1971-1988
Periode ini setelah melewati masa-mas konflik mulai menemukan bentuk-bentuk sastra yang jauh meninggalkan konvensi. Menurut Damono, hal ini akibat tidak ada tuntutan mengikuti garis tertentu sehingga hal ini memberikan kebebasan sastrawan untuk berekspresi. Pada periode ini jelas kesusastraan di Indonesia mulai membaik dan meningkatkan ragamnya. Seperi Kredo Puisi yang merupakan wawasan estetik puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Kemudian didirikanya Pengadilan Puisi untuk mensahkan hak hidup puisi di Indonesia. Dan juga munculnya fakultas-fakultas sastra mulai tahun 1970 seperti ditandai adanya Fakultas Sastra UI dengan aliran terkenalnya aliran Rawamangun dengan tokohnya M. Saleh Saad, Lukman Ali, S. Effendi, M.S. Hutagalung.
Periode 1988-Sekarang
Pada masa ini ditandai dengan lahirnya pengarang-pengarang perempuan yang tidak hanya banyak dipuji tetapi juga diapresiasi oleh masyarakat. Tema-tema yang mengeksploirasasi tentang seks disandingkan dengan nilai-nilai islami. Pengarang tersebut salah satunya adalah Djenar Mahesa Ayu dengan karyanya kumpulan cerpen berjudul “Mereka bilang, saya monyet”. Kemudian ada Ayu Utami dengan karyanya “Laila tak mampir di New York” dan “Larung”. Disusul kemudian Dewi Lestari dengan novelnya “Supernova : Kesatria, Putri dan Bintang jatuh”. Dan juga Rieke Dyah Pitaloka dengan kumpulan puisinya “Renungan Kloset”. Dan pengarang lainya seperti Asma Nadia, Oka Rusmini dll. Pada perkembangan ini juga muncul istilah sastra cyber yang memanfaatkan kecanggihan teknologi media dengan karya sastra.
ADVERTISEMENT
Itulah sedikitnya tentang sejarah sastra di Indonesia dan penetapan hari lahir bahasa dan sastra Indonesia untuk menyadarkan kita bahwa pentingnya memahami perjalanan panjang bahasa dan sastra Indonesia dan perananya. Alangkah baiknya kita tidak hanya sekilas memahami tanggal 28 Oktober sebagai hari Sumpah Pemuda akan tetapi juga memandang sebagai hari tonggak lahirnya sastra Indonesia. Sebagaimana butir-butir dari Sumpah Pemuda :
"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia."
"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia."
"Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Referensi :
Buku Sejarah Sastra Indonesia karya Ahmad Bakhtiar dan Rosida Erowati tahun 2011 cetakan pertama.
https://www.indonesiana.id/read/154727/lahirnya-kesusastraan-di-indonesia.
ADVERTISEMENT