Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Belajar Konflik dan Damai dari Lukisan-Lukisan Dinding di Kota Belfast
15 Juni 2019 14:01 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Faisal Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah anda membayangkan tinggal di suatu kota atau wilayah yang setengah penduduknya mengibarkan bendera dari negara yang berdaulat di sana, sementara setengahnya lagi mengibarkan bendera negara lain?
ADVERTISEMENT
Pernahkah anda membayangkan tinggal di suatu kota di mana nama orang, penyebutan istilah, dan bahkan warna mata seseorang bisa menunjukkan identitas etnis, agama, dan afiliasi politik orang tersebut?
Selama setahun, saya tinggal dan kuliah di Belfast, Irlandia Utara, Inggris Raya, dan saya mengalami semua hal tersebut. Di Belfast saya belajar bahwa dua komunitas dengan perbedaan identitas mendasar bisa tetap hidup berdampingan, meskipun tidak dapat disatukan.
Di kota ini ini pula, saya belajar bahwa perdamaian tidak selalu harus berarti menghilangnya perbedaan, melainkan cukup hanya berupa menghilangnya kekerasan dan meredanya kebencian.
Irlandia Utara: Land of Passwords and Winks
Irlandia Utara terbentuk setelah 26 kabupaten di Pulau Irlandia yang berpenduduk mayoritas Katolik memerdekakan diri dari Inggris dan menjadi Republik Irlandia yang beribu kota di Dublin pada tahun 1922. Sementara itu, enam kabupaten lainnya di pulau itu yang berpenduduk mayoritas Protestan memilih tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris Raya.
ADVERTISEMENT
Namun, minoritas Katolik yang tinggal di Irlandia Utara tetap menganggap diri mereka orang Irlandia dan menginginkan agar Irlandia Utara bersatu dengan Republik Irlandia. Perbedaan identitas di antara kedua komunitas tersebut kemudian semakin menajam dan menjadi periode penuh kekerasan yang disebut “The Troubles” (1969-1998).
Selama masa tersebut, kehidupan di Irlandia Utara didominasi oleh kekerasan dan aksi terorisme tanpa henti berupa pengeboman, penembakan, dan pembunuhan oleh paramiliter dari kedua komunitas. Begitu meluasnya kekerasan di Belfast pada waktu itu, sampai-sampai ada aturan larangan meninggalkan mobil tanpa penumpang di kawasan pusat kota, karena seringnya terjadi bom mobil.
Selain itu, dari keterangan beberapa teman saya di Queen’s University Belfast, lokasi sekitar kampus saya tersebut juga sering kali menjadi lokasi penembakan, pengeboman, atau pembunuhan, yang dulu pernah menewaskan wakil rektor universitas tersebut.
Periode kelam tersebut berakhir setelah penandatanganan Perjanjian Jumat Agung (Good Friday Agreement) di tahun 1998 antara kedua komunitas (Protestan-Katolik) dan antara Pemerintah Inggris dan Republik Irlandia yang membentuk parlemen dan pemerintahan otonomi Irlandia Utara yang didasarkan atas pembagian kekuasaan antara komunitas Protestan dan Katolik.
ADVERTISEMENT
Hal yang unik dari perjanjian itu adalah kesepakatan bahwa semua orang yang lahir di Irlandia Utara berhak mengaku sebagai orang Inggris (British), Irlandia (Irish), atau keduanya. Sehingga saat ini, banyak orang Irlandia Utara yang memegang dua paspor sekaligus.
Perjanjian tersebut juga menyepakati bahwa apabila suatu hari nanti mayoritas penduduk Irlandia Utara menginginkan agar Irlandia Utara bergabung dengan Republik Irlandia, maka mereka diizinkan untuk melakukannya melalui sebuah referendum.
Sampai saat ini, perbedaan identitas kedua komunitas masih sangat nyata dan bahkan bisa kita ketahui dari hal-hal sederhana. "just look at the colour of their uniform to know their religion (lihat saja warna seragam sekolah mereka untuk mengetahui agama mereka)," seru teman kuliah saya di Belfast, Sophie (Protestan).
ADVERTISEMENT
Ia menyebutkan bahwa seragam biru tua berarti sekolah Protestan dan seragam hijau berarti sekolah Katolik. Sampai saat ini pun, mayoritas sekolah di Irlandia Utara masih berbasis agama.
Selain itu, hanya orang Protestan yang menyebut negara bagian Inggris itu dengan sebutan Irlandia Utara (Northern Ireland), karena orang-orang Katolik menyebut tempat mereka tinggal sebagai bagian utara Irlandia (North of Ireland) yang menyiratkan bahwa Irlandia Utara masih bagian dari Republik Irlandia.
Bahkan dalam hal olahraga pun hanya orang Protestan di Belfast yang mendukung Timnas Sepak Bola Irlandia Utara. Sementara orang-orang Katolik di Belfast lebih senang mendukung Timnas Sepak Bola Republik Irlandia, dan menolak mendukung Timnas Irlandia Utara.
"It's easy, just look at their names(mudah kok lihat saja nama mereka)," kata teman Belfast saya yang lain, Aine (Katolik). Ia menyebutkan bahwa dari nama-nama saja bisa kita ketahui mana yang Katolik dan Protestan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Nama-nama Gaelic (bahasa asli Irlandia), seperti Seamus, Padraig, Aine, Fiona, Liam, atau nama-nama keluarga Irlandia, seperti O'Neill, O'Brien, McGuinness, McCallion adalah Katolik. Sebaliknya, nama-nama keluarga asal Inggris atau Skotlandia, seperti McDonald, Nesbitt, Murtagh, Ferguson, Rodgers, merupakan nama Protestan.
"Once you live here for quite sometimes, you can tell by how they place their eyes on you (kalau kamu tinggal di sini agak lama, kamu akan tahu dari cara mereka melihatmu)," kata teman Belfast saya lainnya, Lauren, yang bahkan menyebut kalau sudah lama tinggal di Belfast, saya akan bisa mengenali dengan mudah mana gadis Protestan dan mana gadis Katolik dari warna dan sorot mata, warna dan bentuk rambut, sampai dari raut mukanya. Sayangnya, saya hanya tinggal setahun di kota itu.
ADVERTISEMENT
Perbedaan bendera, nama, dan penyebutan tempat itu membuat Seamus Heaney, Pujangga Irlandia Utara peraih hadiah Nobel di bidang Kesusasteraan, menyebut Irlandia Utara sebagai “Land of Passwords and Winks" (negeri kata sandi dan kedipan mata), di mana tanpa menanyakan agama kita bisa tahu dari nama seseorang, sehingga terkadang seseorang memalsukan namanya apabila memasuki kawasan komunitas lainnya.
Bendera dan Lukisan-lukisan dinding: Cerita di balik tembok pemisah
Bagi semua orang asing yang datang ke Belfast, Ibu Kota Irlandia Utara, hal yang mungkin membuat mereka bingung adalah bendera yang berkibar di rumah-rumah penduduk, dan tiang listrik yang berbeda-beda tergantung bagaimana penduduk di lingkungan sekitar mengidentifikasi diri mereka masing-masing.
Di Belfast Timur dan Utara yang penduduknya mayoritas Protestan dan mengidentifkasi diri sebagai orang Inggris (British), kita akan dengan mudah melihat bendera Union Jack, bendera resmi Inggris (biru, putih, merah). Sementara di Belfast barat, yang mayoritas Katolik dan penduduknya mengidentifkasi diri sebagai orang Irlandia (Irish), bendera Tricolour Republik Irlandia (hijau, putih, oranye) berkibar di mana-mana.
Namun, bukan hanya bendera Inggris dan Irlandia saja yang berkibar di Belfast. Di wilayah Katolik juga kita akan dengan mudah menemukan bendera Palestina! Mengapa? Karena komunitas Katolik menganggap diri mereka senasib dengan orang Arab Palestina yang tanahnya dijajah oleh Israel.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan mereka, Irlandia Utara adalah tanah bangsa Irlandia yang masih diduduki oleh pendatang Inggris. Sebaliknya, di wilayah komunitas Protestan kita akan dengan mudah menemukan bendera Israel, yang merupakan lawan Palestina.
Sejarah konflik sektarian di Irlandia Utara, perbedaan kedua identitas serta perdamaian yang akhirnya datang, semuanya dapat kita saksikan di Falls Road dan Shankill Road yang dipisahkan oleh tembok pemisah sepanjang 4 kilometer yang sering disebut “Peace Wall”. Di kedua sisi tembok ini kita akan melihat ekspresi identitas dari kedua komunitas.
Falls Road merupakan kawasan Katolik. Di sini banyak terdapat lukisan-lukisan dinding yang memperlihatkan nasionalisme Irlandia, perlawanan terhadap Inggris yang dianggap masih menjajah Irlandia (dengan bercokol di Irlandia Utara), dan harapan-harapan mengenai reunifikasi Irlandia Utara dengan Republik Irlandia.
ADVERTISEMENT
Bendera-bendera Republik Irlandia dan simbol-simbol Irish Republican Army (IRA), yang dulu merupakan kelompok paramiliter Katolik, juga dapat dengan mudah kita temui di sini.
Sebaliknya di Shankill Road, tema-tema seperti integritas wilayah Inggris Raya dan loyalitas kepada Ratu dan Kerajaan Inggris mendominasi lukisan-lukisan dinding di wilayah tersebut. Tentunya dengan bendera Inggris yang berkibaran di mana-mana.
Tembok pemisah antara dua jalan dan dua komunitas tersebut dibangun untuk menghindari berlanjutnya konflik antara dua komunitas. Beberapa saat setelah perjanjian damai di tahun 1998, lemparan-lemparan batu dan bom molotov masih terjadi, sehingga tembok pembatas tersebut ditinggikan lagi.
Epilog: Belfast saat ini
Masa-masa penuh kekerasan telah lama berlalu, namun perbedaan di antara kedua komunitas masih terlihat nyata. Tidak ada tanda-tanda bahwa lukisan-lukisan dinding, dan tembok pembatas di antara kedua komunitas akan diruntuhkan, maupun tanda-tanda sekolah-sekolah berbasis agama akan diintegrasikan menjadi sekolah non-sektarian.
ADVERTISEMENT
Namun, Belfast yang sekarang telah berubah menjadi ibu kota turisme, alih-alih terorisme. Lukisan-lukisan dinding di Falls Road dan Shankill Road bahkan menjadi salah satu tujuan utama dari turis-turis mancanegara yang datang ke Belfast untuk melihat langsung sisa-sisa zaman penuh pertumpahan darah itu.
Dan di Peace Wall yang membatasi kedua jalan, tertulis ratusan atau bahkan ribuan pesan damai dari berbagai penjuru dunia, mengharapkan agar dua hati yang terpisah dapat bersatu dan perdamaian di Irlandia Utara dapat berlangsung selamanya.