Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lalai Kedelai
12 Januari 2022 12:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Produsen tahu dan tempe kembali menjerit. Harga kedelai impor di awal tahun 2022 ini menaik tinggi. Berdasarkan data dari Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga kedelai impor per 11 Januari 2022 mencapai Rp 12.400.
ADVERTISEMENT
Di permulaan tahun 2021 lalu pun harga bahan baku kedelai impor melonjak naik. Dari kisaran awal Rp 7.000 per kilogram menjadi antara Rp 9.200 hingga Rp 9.500 per kilogram. Empat hari pertama di tahun 2021 silam, konsumen sukar menemui tahu dan tempe di pasar.
Penyebab utama mandeknya pembuatan tahu dan tempe adalah ketergantungan produsen yang tinggi pada kedelai impor. Sejak tahun 1999 impor kedelai Indonesia kian meningkat. Sekitar 80 persen kebutuhan kedelai berasal dari luar negeri.
Namun, ketergantungan itu wajar kiranya. Pasokan dan jaminan ketersediaan kedelai lokal sangatlah terbatas. Sisi lain, pasokan kedelai impor dapat tersedia secara reguler. Produsen tahu dan tempe, yang membutuhkan bahan baku kedelai tiap hari, tak bisa mengandalkan kedelai lokal karena ketidakpastian pasokan secara rutin.
ADVERTISEMENT
Selain itu, harga kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Harga kedelai impor lebih rendah ketimbang kedelai lokal. Pada 2021 lalu, rata-rata harga kedelai lokal di tingkat produsen tahu dan tempe adalah Rp 9.200 per kilogram. Sementara itu harga rata-rata kedelai impor bisa berkisar antara Rp 6.800 sampai Rp 7.000. Akibatnya, impor menjadi pilihan pragmatis.
Harga kedelai impor bisa lebih murah ketimbang kedelai lokal karena sebagian besar merupakan jenis kedelai GMO atau Genetically Modified Organism, yang berasal dari rekayasa genetik. Budi daya kedelai GMO membutuhkan waktu relatif singkat, produktivitas lebih tinggi, dan biaya lebih kecil, ketimbang menanam kedelai organik (kedelai lokal).
Walaupun begitu, hal-hal di atas sesungguhnya hanya persoalan permukaan, karena kita barangkali telah lalai pada kedelai lokal. Rasa nyaman dan aman dari impor kedelai barangkali sudah melenakan kita. Kepastian pasokan kedelai impor membuat kita alpa pada kedelai lokal. Belum lagi potensi munculnya para pemburu rente dari aktivitas impor ini.
ADVERTISEMENT
Tentu saja pemerintah sulit menaikkan jumlah produksi kedelai lokal dalam waktu sangat singkat. Tapi, setidaknya ada dua aspek yang perlu disorot dalam konteks ini, yakni dukungan pemerintah kepada petani kedelai dan mengembalikan rezim proteksi atas produksi pangan, khususnya kedelai, dalam negeri.
Satu, mengenai dukungan pemerintah kepada petani kedelai.
Kedelai lokal yang ditanam petani di lahan sawah menghasilkan sekitar 1,3 sampai 1,5 ton per hektar. Tapi, apabila sawah tersebut ditanami padi akan dapat memanen 6 ton gabah kering giling per hektar, sehingga tidak banyak petani yang mau menanam kedelai mengingat hasilnya yang lebih sedikit daripada padi.
Tingginya alih fungsi lahan mengakibatkan menciutnya lahan pertanian di Indonesia. Oleh sebab itu, lahan yang dipersiapkan untuk tanaman kedelai makin berkurang, bahkan hilang sama sekali. Konsekuensinya adalah penggunaan lahan sawah secara bergantian antara tanam padi dan kedelai. Namun, pendapatan dari menanam kedelai lebih kecil daripada menanam padi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pemerintah, sebelum tahun 2017, telah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kedelai lokal sebesar Rp7.800 per kilogram. Penetapan HPP tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa biaya untuk memproduksi kedelai membutuhkan uang sebesar Rp7.000 per kilogram.
Karena produktivitas kedelai jauh lebih rendah ketimbang padi, di mana untuk satu hektar sawah yang ditanami padi dapat menghasilkan 6 sampai 6,5 ton gabah kering giling dengan harga rata-rata Rp3.500, petani akan mendapatkan hasil sekitar Rp21 juta. Sedangkan, bila ditanami kedelai, yang per hektarnya hanya menghasilkan 1,2 ton dengan HPP sebesar Rp7.800, petani hanya memperoleh hasil sekitar Rp9,3 juta. Ini adalah jumlah yang jauh lebih kecil. Konsekuensinya, petani enggan menanam kedelai.
Petani tentu berharap kepada pemerintah agar harga jual kedelai lokal paling tidak sama dengan harga beras atau 1,5 kali harga beras. Artinya, pemerintah perlu menaikkan HPP atau meningkatkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Harapan petani untuk harga kedelai ini cukup wajar karena harga kedelai impor non-GMO mencapai sekitar Rp11.000 atau lebih, sehingga bila harga kedelai di tingkat petani dihargai sama dengan harga beras sekitar Rp9.000 atau lebih, petani akan cenderung antusias menanam kedelai.
ADVERTISEMENT
Dua, mengembalikan rezim proteksi atas produksi pangan, khususnya kedelai, dalam negeri.
Pada Oktober 2013, pemerintah mulai memberlakukan bea masuk nol persen pada kedelai. Hal ini dipicu anjloknya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat, sehingga harga kedelai impor saat itu melonjak tajam. Hal ini berdampak pada pengrajin tahu dan tempe dalam negeri.
Ketika itu, penghapusan bea masuk tersebut diikuti penghapusan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Pertanian, waktu itu, menyatakan bahwa kebijakan bea masuk ini hanya akan berlangsung sementara (kebijakan jangka pendek). Tapi, hingga tahun 2021, kebijakan bea masuk nol persen kedelai impor ini masih tetap berlaku.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, kebijakan bea masuk nol persen juga sangat kontradiktif dengan rencana pemerintah memberdayakan petani kedelai dan program swasembada pangan. Dari pihak petani kedelai lokal sendiri menganggap bahwa pemberlakuan bea masuk nol persen ini justru membuat para petani lokal kurang bersemangat menanam kedelai.
Pembebasan bea masuk kedelai impor hanya memberikan keuntungan kepada importir dan sebaliknya justru merugikan petani lokal kedelai di dalam negeri. Selain itu, kebijakan ini juga dinilai sangat kontradiktif terhadap salah satu program yang dicanangkan oleh Pemerintah yakni terwujudnya swasembada pangan.
Karena negeri ini berada dalam asa pencapaian swasembada dan kedaulatan pangan, cara yang harus ditempuh oleh pemerintah adalah memberikan dukungan dan perlindungan penuh kepada petani.
Ada dua rekomendasi. Satu, merancang kebijakan yang melindungi petani dan produk kedelai lokal, salah satunya membenahi HPP atau HET di tingkat petani dan memberikan subsidi HET di tingkat konsumen. Dua, mengkaji ulang pemberlakukan kebijakan pembebasan bea masuk kedelai impor. Artinya, kemungkinan bea masuk impor kedelai sebesar nol persen perlu diubah menjadi, misalnya, antara 5 hingga 10 persen.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi di atas tentu saja membutuhkan kajian lebih mendalam. Tantangan-tantangan lain yang menerpa bangsa ini perlu pula dicarikan solusi. Tapi, yang penting sesungguhnya adalah pembelaan pemerintah pada petani.
Alhasil, harapan utama kita sebagai bangsa adalah bahwa secara perlahan dan pasti kedelai lokal mampu bersaing dengan kedelai impor, bahkan jadi tuan rumah di negerinya sendiri. Semoga.