news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Analisis Umpan Balik #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu dalam Perspektif Habermas

Muhammad Faishol Al Hamimy
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah
5 Maret 2025 9:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Faishol Al Hamimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Social Media (Sumber: istockphoto)
zoom-in-whitePerbesar
Social Media (Sumber: istockphoto)
ADVERTISEMENT
Fenomena Tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu dalam Kritik Sosial
Februari lalu media sosial dibanjiri dengan 2 tagar terpolpuler yakni tagar #IndonesiaGelap yang muncul sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat, terutama dalam aspek efisiensi anggaran yang berdampak pada pemotongan dana sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Kata gelap dalam tagar ini melambangkan situasi yang dianggap penuh ketidakpastian akibat kebijakan yang dinilai tidak transparan dan tidak berpihak pada rakyat. Gerakan ini dipelopori oleh mahasiswa dan telah menyebar ke berbagai kota besar di Indonesia sejak 17 Februari 2025. Selain itu, gelap juga mencerminkan kritik terhadap pengelolaan anggaran negara yang kurang terbuka, sehingga masyarakat merasa berada dalam ketidakjelasan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tagar #KaburAjaDulu digunakan di media sosial untuk menyindir situasi yang dianggap lebih baik dihindari daripada dihadapi. Dalam konteks politik, tagar ini sering digunakan sebagai kritik terhadap pejabat yang dianggap menghindari tanggung jawab atau tidak memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Secara lebih luas, tagar ini juga bisa berarti ajakan untuk meninggalkan situasi yang tidak menguntungkan, baik dalam pekerjaan, hubungan, maupun kondisi sosial tertentu.
Cita-Cita Vs Respon Publik
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kebijakan yang diterapkan, seperti efisiensi anggaran dan berbagai program pembangunan, bertujuan untuk kebaikan masyarakat, respons publik justru menunjukkan sebaliknya. Munculnya tagar #IndonesiaGelap di berbagai platform media sosial mencerminkan adanya kesenjangan antara niat baik pemerintah dan persepsi masyarakat terhadap kebijakan yang dijalankan. Jika kebijakan tersebut benar-benar membawa manfaat, mengapa gelombang kritik tetap meluas?
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebabnya mungkin terletak pada kurangnya komunikasi yang transparan dan efektif antara pemerintah dan masyarakat. Ketika dampak kebijakan tidak dijelaskan secara menyeluruh, publik cenderung mencari informasi dari sumber alternatif yang belum tentu akurat. Selain itu, cara implementasi kebijakan juga berperan penting. Jika kebijakan diterapkan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan kesiapan masyarakat atau tanpa ruang dialog yang cukup, resistensi publik menjadi hal yang sulit dihindari.
Di sinilah pentingnya komunikasi politik sebagaimana dijelaskan oleh Jürgen Habermas. Pemerintah tidak hanya perlu merancang kebijakan yang baik, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut dikomunikasikan dengan jelas, dapat dipahami, dan diterima oleh masyarakat. Tanpa komunikasi yang terbuka dan inklusif, kebijakan apa pun berisiko menimbulkan kesalahpahaman dan ketidakpercayaan publik, yang pada akhirnya berujung pada protes sosial, seperti yang terlihat dalam tagar #IndonesiaGelap.
ADVERTISEMENT
Namun, artikel ini tidak akan berfokus pada evaluasi kebijakan pemerintah itu sendiri. Sebaliknya, pembahasan akan berfokus pada bagaimana komunikasi politik digunakan untuk merespons berbagai tagar kritik yang muncul di ruang publik.
Respon Tokoh Publik terhadap #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu
Sejumlah tokoh memberikan tanggapan beragam terhadap demonstrasi bertajuk Indonesia Gelap. Ketua DPP Partai Golkar, Nurul Arifin, menilai demonstrasi ini sebagai peringatan dalam demokrasi dan menyebut aksi tersebut sebagai alert agar pemerintahan tidak kebablasan. Mahfud Md. membantah klaim bahwa semua kebijakan pemerintahan Prabowo gelap, dengan menegaskan bahwa banyak kebijakan yang justru membawa perubahan positif, terutama dalam hal efisiensi anggaran dan program makan bergizi gratis. Ketua DEN, Luhut Binsar Pandjaitan, merespons dengan tajam, menyatakan bahwa "Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia," seraya menekankan bahwa permasalahan ekonomi juga terjadi di negara lain. Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf, mempertanyakan klaim kegelapan dengan bertanya, "Indonesia gelap dari mana?" dan meminta publik memberi kesempatan bagi pemerintahan baru untuk membuktikan kinerjanya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, mahasiswa seperti Koordinator Pusat BEM Sumatera Barat, Rifaldi, menilai kebijakan Prabowo menimbulkan dampak negatif, dengan menyebut "bisa dilihat kekacauan yang ditimbulkan Prabowo-Gibran selama 100 hari kerja." Koordinator BEM SI, Satria Naufal, mengartikan "Indonesia Gelap" sebagai ungkapan ketakutan warga terhadap masa depan bangsa.
Respon pejabat publik terhadap fenomena tagar #KaburAjaDulu juga bervariasi. Wamen P2MI Christina Aryani menyatakan bahwa "sah-sah saja WNI mencari penghidupan yang lebih baik," tetapi menekankan pentingnya mengikuti prosedur hukum. Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris, melihat tren ini sebagai "momentum otokritik bagi pemerintah" dan menegaskan bahwa bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga negara. Menteri P2MI Abdul Kadir Karding menganggap fenomena ini sebagai "masukan dan aspirasi" yang harus mendorong pemerintah bekerja lebih baik, sembari mengajak masyarakat mengubah tagar ini menjadi "Ayo Kita Bekerja di Luar Negeri saja." Sebaliknya, Wamen Kemenaker Immanuel Ebenezer Gerungan merespons dengan nada sinis, "Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi." Menteri ATR Nusron Wahid menilai tren ini sebagai indikasi bahwa warganet "kurang cinta terhadap Tanah Air" dan mengajak masyarakat menyelesaikan masalah bersama pemerintah.
Jurgen Habermas (sumber: Gettyimages)
Tinjauan Jürgen Habermas terhadap Komunikasi Politik
ADVERTISEMENT
Jürgen Habermas adalah filsuf dan sosiolog Jerman yang dikenal dengan teori komunikasi, ruang publik, dan demokrasi deliberatif. Salah satu gagasannya yang paling penting adalah teori tindakan komunikatif, yang membedakan antara tindakan instrumental (berorientasi pada hasil) dan tindakan komunikatif (berfokus pada pemahaman bersama melalui argumentasi rasional). Habermas menekankan bahwa komunikasi yang sehat harus berlangsung dalam situasi komunikasi ideal, di mana semua pihak dapat berdiskusi secara setara tanpa dominasi atau kepentingan tersembunyi.
Dalam konteks politik modern, Habermas melihat bahwa ruang publik, yang idealnya menjadi tempat diskursus rasional, sering kali mengalami distorsi akibat komersialisasi media, dominasi kapitalisme, serta manipulasi opini publik oleh elite politik. Saat ini, media sosial telah menjadi ruang publik baru, memungkinkan akses luas dan interaksi langsung antara publik dan elite politik. Namun, algoritma media sosial lebih mengutamakan engagement dibanding kualitas argumen, menciptakan echo chamber, memperkuat polarisasi, serta mempermudah elite politik dalam melakukan propaganda dan pencitraan. Dalam kondisi ini, ruang publik digital sering kali menyimpang dari idealisasi Habermas.
ADVERTISEMENT
Analisis Komunikasi Pejabat Publik Berdasarkan Habermas
Dalam diskursus mengenai #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu, terdapat ketegangan antara tindakan komunikatif dan tindakan strategis. Beberapa tokoh menggunakan komunikasi sebagai sarana diskursus rasional, seperti Nurul Arifin, yang menganggap demonstrasi sebagai peringatan demokratis, serta Mahfud Md., yang mencoba menyeimbangkan kritik dengan apresiasi terhadap kebijakan pemerintah. Sementara itu, pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan dan Yahya Cholil Staquf lebih bersifat defensif, yang mencerminkan tindakan strategis ketimbang komunikasi deliberatif. Respon sinis Immanuel Ebenezer Gerungan terhadap #KaburAjaDulu juga mencerminkan pola komunikasi yang tidak mengarah pada pemahaman bersama, tetapi justru mempertajam polarisasi.
Menurut Habermas, komunikasi politik yang sehat harus berbasis diskursus rasional, di mana pemerintah dan masyarakat dapat berdialog secara terbuka tanpa terjebak dalam retorika defensif atau sinisme. Oleh karena itu, solusi yang dapat diterapkan adalah menciptakan ruang dialog yang lebih terbuka, meningkatkan transparansi kebijakan, serta menghindari komunikasi yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kritik dari masyarakat seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari demokrasi deliberatif yang bertujuan mencapai pemahaman bersama dan kebijakan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Kompetensi Komunikatif bagi Pejabat Publik
Kompetensi komunikatif menurut Habermas adalah kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam diskusi yang rasional dan mencapai pemahaman bersama melalui komunikasi yang bebas dari distorsi atau paksaan. Pejabat publik harus memahami bahwa setiap pernyataan mereka akan diterima dan ditafsirkan oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Oleh karena itu, mereka harus berhati-hati dalam memilih kata dan memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman, atau perpecahan.
Tanpa komunikasi yang jelas dan transparan, situasi yang sudah sensitif bisa semakin tidak terkendali, menimbulkan ketidakpercayaan, dan memperburuk ketegangan sosial. Dengan menerapkan prinsip komunikasi deliberatif yang rasional dan inklusif, pejabat publik dapat membangun pemahaman bersama yang lebih kuat, memperkuat legitimasi kebijakan, serta menciptakan ruang publik yang lebih sehat bagi demokrasi.
ADVERTISEMENT