Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Antara Kehidupan Autentik dan Ilusi Sosial
1 Februari 2025 18:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Faishol Al Hamimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada suatu sore menjelang malam, terdapat dua orang berboncengan menuju parkiran warung kopi . Setibanya di sana, mereka memesan coklat hangat dan es matcha. Setelah pesanan datang, salah satu dari mereka menanyakan charger HP, namun temannya tidak tahu-menahu soal itu.
ADVERTISEMENT
Dari pukul 18.30 hingga 20.00, mereka duduk bersebelahan, berjarak kurang dari satu meter. Namun, tak ada percakapan yang terdengar. Mereka larut dalam gadget masing-masing, hanya sesekali terdengar suara short video Mobile Legends dan notifikasi WhatsApp. Inilah realitas hari ini—bukan lagi sekadar fenomena.
Muncul pertanyaan, mengapa mereka memutuskan untuk "ngopi" bersama jika yang menemani hanyalah gadget? Tak ada lagi obrolan sebagai sesama insan. Interaksi modern tampak hanya sebatas untung-rugi. Selama hampir dua jam, mereka hanya berbicara dua kali—menanyakan charger dan meminta diantar ke ATM. Apakah pola ini sengaja dibentuk dalam masyarakat?
Namun, ini bukanlah inti permasalahannya. Yang lebih penting adalah bagaimana perubahan ini menciptakan kesadaran dan rasionalitas yang bersifat transaksional, kalkulatif, dan eksploitatif. Max Weber dalam teori tindakan sosial -nya menjelaskan adanya rasionalitas instrumental, di mana manusia berorientasi pada efisiensi dan tujuan. Individu memilih cara paling efektif untuk mencapai hasil tertentu tanpa banyak mempertimbangkan moral, hanya menilai dengan untung rugi. Weber mengkritik dominasi rasionalitas ini karena dapat menyebabkan "disenchantment," yaitu kehidupan yang kehilangan makna spiritual, karena segala sesuatu diukur hanya berdasarkan efisiensi. Manusia menjadi terjebak pada tujuan individu semata.
ADVERTISEMENT
Apakah manusia hanya sebatas itu? Sebagai makhluk yang unik, manusia terdiri dari jasad, akal, dan roh. Namun, kedalaman jiwa, simpati, empati, dan nilai-nilai seolah telah hilang dalam interaksi sesama manusia. Dalam skala besar, banyak orang memandang sesama hanya berdasarkan materi, atribut, dan kemasan. Dalam paradigma modern ini, manusia tidak lebih dari seonggok benda. Akibatnya, sering kita dengar berita tentang pembunuhan hanya karena masalah uang seratus ribu, bahkan bunuh diri karena stres tidak mampu memenuhi standar sosial tertentu.
Dalam paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern, alam dipandang sebagai entitas yang dapat dihitung. Pola ini mengubah cara berpikir orang, menjadikannya kalkulator realitas yang siap menghitung untung rugi, bahkan untuk manusia lainnya. Proses ini perlahan mengikis roh manusia, membuat hubungan antar manusia menjadi lebih eksploitatif. Akhirnya, manusia hanya menjadi elemen alam yang bisa diperas, diperbudak, dan dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Padahal, menurut Heidegger, kesadaran manusia hanya bisa utuh jika ia mampu menangkap berbagai realitas yang ada di hadapannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh kecil, ketika dosen memberikan kontrak perkuliahan yang membatasi absensi mahasiswa hingga empat kali, sebagian mahasiswa berpikir bahwa jika sudah absen dua kali, masih ada sisa dua kali lagi yang bisa dimanfaatkan. Mereka merasa akan merugi jika tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, padahal itu bukan esensi dari aturan tersebut. Bahkan dzikir pun seringkali terjebak dalam pola transaksi untung rugi: membaca dzikir dengan jumlah tertentu untuk mendapatkan pahala atau manfaat tertentu.
ADVERTISEMENT
Menjadi manusia "Das Sein" adalah solusi. Boleh saja manusia terlempar ke dalam lautan fakta, namun ia harus tetap memiliki pendirian yang kokoh, eksis seperti pelampung yang mampu bertahan dan berenang di lautan tersebut. Dalam Islam, ini disebut dengan himmah. Kebalikannya adalah "Das Man," yaitu manusia yang hanyut terbawa arus dan tidak mampu melawan, sehingga tenggelam, seperti batu yang dilemparkan ke dalam air. "Das Man" adalah manusia yang tampak ada, tetapi pada hakikatnya tidak ada. Manusia perlu berani keluar dari "Das Man" dan mencari keberadaannya sendiri, menjadi diri sejati dengan segala konsekuensinya.
Menurut Heidegger, manusia yang ideal adalah mereka yang hidup secara autentik, berhubungan dengan "Das Sein" (Keberadaan), bukan sekadar mengikuti norma sosial atau ekspektasi masyarakat, yang digambarkan dengan "Das Man" (Si Mereka). Heidegger menekankan bahwa untuk hidup autentik, manusia harus menyadari eksistensinya dan mencari makna hidupnya sendiri, bukan hanya mengikuti aturan yang ditetapkan oleh orang lain. Banyak orang terjebak dalam kehidupan yang tidak autentik, hanya mengikuti pola yang ditentukan oleh masyarakat (seperti media sosial) tanpa benar-benar memahami atau menghayati keberadaan mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, berikut dua bait syair hikmah yang cukup populer:
أَخُو الْعِلْمِ حَيُّ خَالِدٌ بَعْدَ مَوْتِهِ # وَأَوْصَـالُهُ تَحْتَ التُّرَابِ رَمِيْـــــمُ
Pemilik ilmu itu masih hidup setelah matinya, walaupun tulang-tulangnya telah hancur di bawah bumi.
وَذُوالْجَهْلِ مَيْتٌ وَهُوَ يَمْشِى عَلَى الثَّرَى # يُــظَنُّ مِنَ اْلاَحْيَـــاءِ وَهُوَ عَدِيْــم
Sedangkan orang yang bodoh mati, meskipun masih berjalan di atas bumi, ia menganggap dirinya hidup padahal sebenarnya telah tiada.