Konten dari Pengguna

Dilema Lulusan Perguruan Tinggi, Punya Gelar tapi Sulit Cari Kerja

Muhammad Faishol Al Hamimy
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah
22 Februari 2025 13:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Faishol Al Hamimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Nesar adalah anak ke-13 dari 15 bersaudara dan satu-satunya yang berhasil menempuh pendidikan tinggi hingga lulus dan menyandang gelar sarjana. Ia bahkan menjadi salah satu dari hanya tiga orang sarjana di kampungnya pada tahun 2011. Gelar tersebut membawa harapan besar bagi keluarganya sehingga ia memutuskan untuk merantau ke ibu kota demi mencari peruntungan.
ADVERTISEMENT
Namun, realitas tidak seindah yang dibayangkan. Alih-alih mendapatkan pekerjaan sesuai pendidikannya, Nesar justru menjadi ojek online. Harapan yang semula ada perlahan memudar, bahkan ia sering menjadi bahan ejekan di kampung halamannya. Kisah ini disampaikan langsung di depan Wamen Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer dalam sebuah talk show.
Cerita sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi sarjana ini nyatanya bukan hanya dialami oleh Nesar. Kerasahan yang kerap kali terdengar misalnya, persyaratan kerja yang tidak masuk akal, seperti batas usia maksimal calon pekerja, batas minimal pengalaman kerja yang jelas sulit dipenuhi oleh fresh graduate, syarat postur tubuh, tampang wajah, bahkan warna kulit turut menjadi ajang seleksi yang semakin memperparah situasi.
Buntutnya, persaingan semakin ketat lantaran jumlah lulusan baru terus berdatangan, tapi tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Tak jarang jadinya perusahaan semakin selektif dan menambahkan syarat tambahan seperti sertifikat dan keterampilan khusus yang memerlukan biaya tambahan bagi pelamar kerja.
ADVERTISEMENT
Fenomena pengangguran sarjana ini pun menimbulkan ironi. Pendidikan tinggi yang selama ini dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan justru sering menjadi jebakan. Banyak lulusan yang telah menginvestasikan waktu dan biaya besar untuk kuliah, tetapi akhirnya tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.
Dalam teorinya tentang credentialism oleh Randall Collins, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, gelar akademik lebih berfungsi sebagai alat penyaringan sosial daripada sebagai indikator keterampilan atau kompetensi yang sebenarnya. Dalam sistem ini, pendidikan tinggi menjadi syarat formal untuk mendapatkan pekerjaan tertentu, meskipun keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut bisa diperoleh tanpa melalui pendidikan formal yang panjang. Akibatnya, terjadi inflasi gelar, di mana semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperlukan untuk pekerjaan yang dulu sebenarnya bisa dikerjakan oleh lulusan SMA atau SMK.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menyebabkan lulusan perguruan tinggi kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya, sementara di saat yang sama perusahaan terus menaikkan standar kualifikasi tanpa mempertimbangkan relevansi keterampilan yang dibutuhkan.
Dalam jangka panjang, credentialism dapat memperkuat ketimpangan sosial, menciptakan pengangguran terdidik, dan memicu pertanyaan tentang efektivitas pendidikan formal dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi individu.
Jika kondisi ini dibiarkan, kritik Pierre Bourdieu terhadap pendidikan sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial akan semakin terbukti. Menurut Bourdieu, sistem pendidikan lebih menguntungkan mereka yang memiliki modal ekonomi, kultural, dan sosial, seperti akses ke sekolah berkualitas, penguasaan bahasa akademik, dan jaringan relasi yang luas. Sekolah yang seharusnya menjadi sarana mobilitas sosial justru memperkuat stratifikasi sosial yang sudah ada. Ilusi meritokrasi membuat ketimpangan ini tampak wajar, padahal kenyataannya, pendidikan hanya semakin memperkokoh dominasi kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Padahal sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, seharusnya mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi individu yang beriman, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan kompeten. Namun, apakah sistem pendidikan kita sudah mendekati tujuan tersebut? Ataukah pendidikan tinggi hanya menjadi ladang komersialisasi yang lebih mengutamakan aspek bisnis daripada kualitas lulusannya?
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Tiwuk Suwantini/shutterstock
Masalah dalam dunia pendidikan tinggi pun kemudian semakin kompleks. Dalam tulisannya yang berjudul "Ancaman Distopia Pendidikan Tinggi Indonesia," Imron Rosyidi menyoroti kesejahteraan tenaga pendidik yang juga ikut menambah kompleksitasnya. Sebab, penundaan implementasi tunjangan kinerja bagi dosen berpotensi menciptakan distopia dalam pendidikan tinggi Indonesia. Begitupun, jika kebijakan ini dibatalkan, dosen akan terus menghadapi beban kerja berat tanpa apresiasi finansial, yang dapat menurunkan motivasi, meningkatkan eksodus tenaga pendidik, dan memperburuk ketimpangan antarperguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga berdampak pada kualitas pendidikan serta daya saing lulusan Indonesia di tingkat global. Untuk menghindari krisis kepercayaan dalam sistem akademik, pemerintah seharusnya memberikan kepastian dalam pelaksanaan kebijakan ini demi menciptakan sistem pendidikan yang adil dan berkelanjutan.
Namun, permasalahan dalam pendidikan tinggi tidak berhenti di situ. Ketimpangan fasilitas antarperguruan tinggi, birokrasi yang berbelit, serta minimnya dukungan terhadap riset dan inovasi semakin memperburuk kondisi akademik. Jika masalah ini tidak segera ditangani secara menyeluruh, bukan hanya tenaga pendidik yang kehilangan motivasi, tetapi juga kualitas lulusan yang semakin tertinggal di tingkat global.
Reformasi pendidikan tinggi tidak cukup hanya dengan membangun gedung-gedung megah, tetapi juga harus mencakup pembenahan sistem secara keseluruhan. Deden Prayitno dari Perbasnas Institute mengutip pernyataan mantan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Brodjonegoro, yang mengidentifikasi tiga permasalahan utama dalam pendidikan tinggi di Indonesia: Ketimpangan akses, rendahnya kualitas pendidikan, dan kurangnya keterkaitan dengan dunia industri.
ADVERTISEMENT
Kurangnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan dunia usaha pun menyebabkan lulusan kurang siap menghadapi tuntutan kerja yang dinamis sehingga tingkat pengangguran sarjana semakin meningkat. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus menjalin kemitraan erat dengan dunia industri, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan pasar, serta memperkuat program magang dan pelatihan keterampilan praktis. Pemerintah juga harus memberikan insentif bagi perusahaan yang mendukung program pendidikan melalui magang dan pendanaan riset.
Jika masalah ini tidak segera diatasi, krisis kepercayaan terhadap pendidikan tinggi akan semakin meluas. Jika lulusan perguruan tinggi tetap mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.
Maka, bukan tidak mungkin anggapan seperti "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya tetap menganggur?" akan semakin menguat. Begitupun jangan kaget apabila generasi muda mungkin akan lebih memilih jalur lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi, meskipun dampaknya seperti tidak mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi di negara ini.
ADVERTISEMENT
Jika persepsi negatif terhadap pendidikan tinggi terus berkembang, dikhawatirkan kualitas sumber daya manusia Indonesia akan menurun dan menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan.