Konten dari Pengguna

Tatkala Harimau Mati Meninggalkan Konten

Fajar Ruddin
Mengajar di Fakultas Psikologi UMS
22 Agustus 2023 20:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Ruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak harimau yang dipelihara Alshad Ahmad mati. Foto: Instagram/@alshadahmad
zoom-in-whitePerbesar
Anak harimau yang dipelihara Alshad Ahmad mati. Foto: Instagram/@alshadahmad
ADVERTISEMENT
Jagat maya sempat gaduh beberapa pekan lalu. Matinya seekor anak harimau yang dipelihara seorang youtuber menjadi sumber kegaduhan tersebut. Yang bikin geram netizen, kematian ini bukan yang pertama. Menurut pengakuan sang youtuber, total tujuh anak harimau telah mati di (sebutlah) "penangkarannya".
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apa yang perlu dirisaukan dari kejadian ini? Toh kita sudah terbiasa dengan kegaduhan. Tiap hari kita dijejalkan beragam peristiwa yang kemudian kita lupakan dalam hitungan hari demi beralih ke kegaduhan lainnya. Hal yang lebih mendesak untuk dirisaukan sebetulnya bukan pada kejadian matinya anak harimau itu, tetapi fenomena semakin bergesernya kepakaran.
Seperti dalam kasus youtuber di atas, kelekatannya dengan harimau membuatnya secara otomatis menjadi ahli dalam bidang tersebut, setidaknya itu yang diyakini para pendukungnya. Narasi kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan sang youtuber kepada peliharaannya di video seolah menjadi garansi bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Sehingga ujaran-ujaran yang menggugat kepakaran sang youtuber dalam mengurus peliharaannya akan mentah, khususnya di hadapan jutaan pengikutnya.
ADVERTISEMENT
Sialnya fenomena ini tidak ditemukan hanya di satu bidang saja, tetapi juga menggejala di banyak bidang lain. Kesehatan mental bisa kita jadikan satu permisalan. Beberapa tahun ke belakang, kesehatan mental semakin menjadi magnet perbincangan netizen, khususnya di kalangan generasi muda.
Akun-akun dengan niche kesehatan mental bertebaran di berbagai platform media sosial. Sebagian akun memang dimotori oleh pakar di bidang tersebut, tapi yang lebih dominan rasanya akun micro-celebrity yang bermodal copas dari Google.
Di satu sisi, keberadaan akun-akun ini membuat promosi kesehatan mental pada anak muda semakin mudah. Kita bisa lihat sekarang anak-anak muda semakin sadar urgensi kesehatan mental. Minat mereka terhadap isu ini pun terus meningkat. Bahkan data dari pendaftar UTBK 2023 menunjukkan bahwa 7 dari 20 program studi yang paling diminati dari seluruh PTN di Indonesia adalah psikologi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, di sisi lain akun-akun tersebut juga tidak jarang memberikan informasi yang keliru, terutama dari mereka yang tidak memiliki latar belakang keilmuan di situ. Alhasil, ada banyak misleading yang kini diwajarkan, seperti perilaku boros yang disebut sebagai self-reward atau pemuasan hasrat berwisata sebagai healing. Seolah-olah manusia zaman sekarang begitu rapuhnya, sehingga sedikit-sedikit harus diberi reward atau healing.
Ilustrasi influencer perempuan. Foto: Shutterstock
Fenomena bergesernya kepakaran sebetulnya sudah dirisaukan sejak beberapa tahun ke belakang. Tom Nichols berhasil menghimpun keresahan tersebut dalam bukunya The Death of Expertise (2017). Bedanya, matinya kepakaran di Amerika -yang menjadi perhatian Nichols- lebih kepada bentuk penolakan masyarakat terhadap pengetahuan yang sudah mapan.
Artinya, masyarakat sebetulnya telah teredukasi dan tau bagaimana pendapat pakar tentang suatu hal, tapi mereka memilih pendapat lain. Adapun di Indonesia kepakaran bukannya mati, melainkan termanipulasi pihak lain. Beberapa asumsi bisa kita ajukan untuk menjelaskan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita mulai asumsi tersebut dengan kecenderungan pakar yang terlalu khusyuk dengan dunianya sendiri. Walaupun tidak semua, tetapi bisa dibilang para pakar umumnya datang dari kalangan akademisi. Kehidupan mereka tidak jauh dari urusan riset. Satu riset bisa dilakukan selama berbulan-bulan atau bahkan dalam hitungan tahun.
Luaran riset kemudian ditulis dalam artikel jurnal. Sebagian jurnal harus diakses dengan berlangganan (berbayar), sebagian lain bisa diakses secara gratis. Walau gratis, tapi kita sama-sama tau, siapa pembaca utama bacaan njelimet tersebut kalau bukan akademisi lainnya?
Sekarang bandingkan dengan influencer. Tiap hari selalu ada konten baru dari mereka dan itu bisa diakses secara gratis dari gawai masing-masing. Dengan bahasa yang kekinian dan gimmick yang menghibur, konten mereka mudah diterima audiens. Antara kreator dengan audiens pun tidak ada batasan karena bisa saling berinteraksi di kolom komentar. Pertanyaan bisa langsung diajukan, kritik bisa langsung dilayangkan.
ADVERTISEMENT
Di samping riset, kegiatan lain yang biasanya dilakukan para pakar adalah forum ilmiah seperti seminar, konferensi, dan yang semisal. Kegiatannya biasanya dilaksanakan di ruang seminar, bisa di hotel atau kampus. Walaupun sebagian acara tersebut gratis dan terbuka untuk umum, tapi lagi-lagi kita tau siapa yang dominan hadir di forum tersebut. Kerja-kerja tersebut pada akhirnya menciptakan kesan eksklusif dan mengalienasikan pakar dari masyarakat.
Kekhusyukan para pakar dengan dunianya semakin dipertegas dengan kenyataan bahwa belum banyak pakar yang melek dengan media sosial. Jangankan melek, akun saja masih banyak yang belum punya. Atau mungkin sudah punya, tapi tidak aktif. Kalaupun aktif, konten yang dibagikan biasanya membosankan, seputar poster webinar atau rekaman zoom. Coba saja perhatikan akun resmi fakultas atau pusat studi yang menjadi tempat berhimpunnya para pakar. Berapa jumlah penonton di tiap kontennya?
ADVERTISEMENT
Absensi pakar di media sosial sebetulnya dapat dimaklumi. Mereka, terutama yang berusia 40an ke atas, mungkin bukan generasi yang terbiasa bercengkerama di media sosial. Berbeda dengan influencer yang umumnya berasal dari gen Z atau Y. Mereka adalah digital native yang setiap hari menyelam di media sosial. Bagi influencer, satu video TikTok mungkin bisa dibuat hanya dalam hitungan menit. Sedangkan bagi pakar, dikerjakan seharian pun belum tentu selesai.
Mungkin ke depannya para pakar perlu juga dibekali pelatihan bermedia sosial, termasuk membuat konten menarik. Jangan melulu pelatihan tembus jurnal Scopus. Semoga dengan begitu masyarakat betul-betul teredukasi dengan konten yang kredibel sehingga di masa mendatang kita bisa melihat harimau tetap menjadi harimau, yang gagah sebagai satwa, bukan gemulai di depan kamera.
ADVERTISEMENT