Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
CPNS dan The Power of 'Orang Dalam'
7 Januari 2022 13:39 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu hasil tes akhir CPNS telah diumumkan. Ada yang bahagia, sedih, dan sangat sedih. Sangat sedih, karena ada orang-orang yang merasa “dicurangi” ketika tahap tes Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) CPNS. Itulah yang dirasakan salah satu akun @alhrkn. Melalui twitter, ia luapkan kekesalannya. Bagaimana tidak, dua kali ia ikut tes CPNS dosen, dua kali pula ia merasa “dicurangi”. Berikut salah satu bunyi tweetnya:
ADVERTISEMENT
Masalah ini, sudah pernah diangkat oleh mas Ahmad Khadafi dalam tulisan berjudul “Pengakuan Orang Dalam pada Seleksi CPNS 2021 atas Dugaan Manipulasi Nilai” yang tayang pada 27 Desember 2021 lalu di Mojok.co. Mas Khadafi mencoba melihat masalah tersebut dari perspektif “orang dalam” dan alasan kenapa kampus memilih “orang dalam” tersebut.
Di satu titik, saya sepakat dengan pandangan mas Khadafi, di mana “orang dalam” dipilih karena lebih dikenal oleh kampus. Saya juga sepakat, terdapat indikasi kecurangan pada kejadian yang menimpa @alhrkn dengan nilainya dijatuhkan habis-habisan, dan nilai lawannya yang di naikkan gila-gilaan. Mas Khadafi juga berharap agar kasus yang menimpa @alhrkn dilanjutkan ke jalur resmi, melalui masa sanggah atau melaporkan ke instansi berwenang.
ADVERTISEMENT
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menjelaskan kenapa @alhrkn tidak akan melakukan sanggahan. Kalaupun @alhrkn melakukan sanggahan sebagai bentuk protes, saya yakin laporannya tidak akan diterima. Melalui tulisan ini, saya juga ingin membuka mata kita, kalau indikasi kuat the power of “orang dalam” itu benar adanya, karena kejadian berulang dan sudah banyak korbannya.
Dalam persoalan yang menimpa @alhrkn, saya ingin mengajak kita semua untuk berkaca pada kasus-kasus sebelumnya. Dalam tes CPNS di lingkungan kampus, masalah yang menimpa @alhekn bukanlah kasus baru.
Permasalahan ini sudah menjadi sesuatu yang mendarah daging ketika tes CPNS khususnya dosen, baik itu di kampus Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Agama maupun kampus lainnya.
ADVERTISEMENT
Kita ambil contoh lain yang disampaikan oleh akun youtube @haidarali. Melalui channelnya, ia memaparkan potensi kecurangan yang ia rasakan sendiri. Ini terlihat dari hasil wawancaranya yang dijatuhkan.
Hasil wawancaranya hanya mendapatkan skor 36,120. Adapun pesaingnya mendapatkan nilai nyaris sempurna yaitu 98,029. Padahal kalau melihat nilai psikotes pesaingnya, sangat rendah yaitu 38,667. Sedangkan ia memperoleh 83,00. Psikotes menggunakan sistem CAT yang tentu lebih objektif. Wajar kemudian mas Haidar Ali merasa dicurangi pada tes CPNS tahun 2019.
Apa yang dilakukan mas Haidar Ali? Ia melakukan sanggah seperti yang disarakan oleh mas Khadafi pada @alhrkn. Hasilnya? ya tentu ditolak. Ia bahkan sudah melaporkan kasus ini ke Ombudsman, hasilnya juga ditolak dengan alasan bukan wewenang Ombudsman.
ADVERTISEMENT
Apa yang dirasakan mas Haidar Ali sebenarnya juga banyak dirasakan oleh peserta lainnya. Ini dapat dilihat dari beberapa hasil tes CPNS dosen, baik yang lama, maupun yang sekarang. Maka, kita akan menemukan potensi “kecurangan” tersebut.
Kawan-kawan yang merasa “dicurangi” pada tes CPNS 2021 juga melakukan sanggahan, bahkan sudah ada yang sampai protes ke BKN, kementerian terkait hingga Ombudsman. Hasilnya? juga tak jelas, bahkan belum ada langkah tegas dari BKN maupun kementerian terkait. Dan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, kasus nilai "siluman" ini tidak pernah diusut tuntas.
Untuk melihat kasus potensi kecurangan yang sama, silakan buka hasil akhir tes CPNS dosen, baik Kemendikbud maupun Kemenag. Kita akan menemukan nilai-nilai yang di “mark up”. Itu juga yang saya temukan ketika melihat beberapa hasil akhir pada tes CPNS 2019 dan 2021. Beberapa nilai yang tak masuk akal akan terlihat pada nilai SKB. Tentunya juga banyak peserta yang lulus berkat kemampuan mereka.
ADVERTISEMENT
Terbaru, pengakuan dari Mohd. Adrizal salah satu peserta CPNS dosen Kemendikbud. Melalui podcast akun youtube Wasril Tanjung, ia menjelaskan bagaimana skor wawancaranya dijatuhkan sehingga tidak lolos Passing Grade (PG), walaupun skor total SKD dan SKBnya tetap di peringkat tertinggi. Di sisi lain, lawannya yang merupakan “orang dalam” lulus PG dengan nilai wawancara yang tinggi juga.
Sebagai informasi, untuk tes CPNS Kemendikbud pada tes SKB tidak hanya dinilai dari wawancara dan microteaching, tetapi juga ada komponen penilaian lain, seperti etika dan tri dharma perguruan tinggi, literasi bahasa inggris, penalaran dan pemecahan masalah, dimensi psikologi yang dilakukan menggunakan sistem computer (CBT/Computer Bassic Test), wawancara dan praktik kerja. Masing-masing komponen penilaian ada Passing Grade (PG).
ADVERTISEMENT
Ini berbeda dengan SKB Dosen Kemenag yang hanya memiliki tiga komponen penilaian yaitu psikotes yang dilakukan dengan komputer, wawancara dan microteaching yang dinilai langsung oleh kampus.
Begitulah realitas beberapa kasus dalam rekrutmen CPNS dosen. Mungkin tak masalah yang lolos adalah “orang dalam” yang berkualitas dengan jarak nilai yang tak terlalu jauh dari pesaingnya.
Akan tetapi, sangat keterlaluan kalau “orang dalam” tersebut diluluskan karena alasan anak pejabat kampus atau relasi lainnya, bukan didasarkan pada kualitas, serta jarak nilainya pun diangkat terlalu jauh dari pesaingnya.
Poin yang ingin saya tekankan pada tulisan ini adalah fenomena the power of “orang dalam” itu masih ada, karena kasus serupa sudah banyak terjadi. BKN telah berusaha keras menutup lubang tersebut dengan sistem CAT yang cukup meminimalisir the power of “orang dalam”, walaupun masih ada yang berusaha menjebonya seperti kasus CPNS 2020 lalu. Akan tetapi lubang potensi kecurangan masih terbuka lebar pada sistem SKB, khususnya SKB dosen pada poin wawancara dan microteaching.
ADVERTISEMENT
Bagi SKB yang penuh menggunakan CAT mungkin bisa diminimalisir. Lain halnya bagi lowongan dosen, di mana tes SKB tidak hanya CAT psikotes tetapi juga ada tes wawancara dan microteaching.
Penilaian SKB wawancara dan microteaching yang dilakukan sendiri oleh kampus, menyimpan potensi kecurangan yang besar. Wajar kemudian orang-orang lebih memilih tes di instansi yang SKB dilakukan dengan sistem CAT, hanya karena ketakutan melawan “orang dalam”.
The power of “orang dalam” bagaikan lingkaran setan. Peserta dosen yang lulus karena the power of “orang dalam” dengan nilai yang di “mark up”, akan memiliki beban sendiri dan utang budi seumur hidup. Saya yakin dosen tersebut tak berani kritis terhadap kampusnya, karena menimbang bagaimana ia bisa lulus atas bantuan kampus.
ADVERTISEMENT
Makin banyak model dosen yang lulus seperti ini, maka semakin hilang nalar kritis di dalam kampus. Akhirnya, kampus merasa paling benar dengan segala tindakannya. Lingkaran “ketundukan” sudah terbentuk.
Saya berharap BKN dan kementerian terkait melihat masalah ini dengan serius. Dosen yang lahir dari sistem rekrutmen yang tak jujur, tentu jauh dari keberkahan.
Tentu aneh, dosen yang seharusnya mendidik mahasiswa untuk jujur, tetapi ia sendiri lahir dari sistem yang tak jujur. Maka harap maklum, sistem pendidikan kita rusak. Semoga BKN menemukan solusi yang terbaik, dan saya berharap “orang dalam” segera taubat. []