Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lena Genggaman Kekuasaan
6 Februari 2023 13:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Andi merupakan salah seorang pekerja di salah satu instansi. Ketika pertama kali bekerja di sana, ia paham ada sesuatu yang tidak baik. Ia melihat bagaimana pimpinannya bekerja tidak sesuai dengan aturan hukum, serta bertindak semena-mena terhadap bawahannya.
ADVERTISEMENT
Bawahan diberikan pekerjaan yang bukan bidangnya. Bahkan, tak jarang melebihi porsi. Akibatnya, tingkat stres pun tinggi di lingkungan tempat kerjanya.
Andi menolak. Ia tidak menerima budaya kerja yang bertentangan dengan aturan hukum tersebut. Itu tampak dalam ucapan maupun tindakannya. Ia vokal mengkritik gaya pimpinan.
Beberapa tahun kemudian, laki-laki muda tersebut naik menjadi salah satu unsur pejabat . Di sisi lain, beberapa kawan yang sepemikiran dengannya dulu, masih menjadi bawahan dan terperangkap dengan situasi kerja lama.
Rekan kerjanya berharap Andi akan berbeda dengan pimpinan sebelumnya. Namun, perkiraan tak sesuai kenyataan. Dalam waktu singkat, sikap Andi berubah. Ia mulai bersikap seperti pimpinan yang dulu sering ia kritik.
Andi mulai memberikan perintah tak sesuai aturan pada bawahannya, dan tak suka dikritik. Pribadi Andi berubah setelah memperoleh kekuasaan. Ia merasa dapat melakukan apa saja dengan kekuasaan yang ia punya.
ADVERTISEMENT
Andi berada dalam genggaman kekuasaan. Ia lupa, bahwa ia dulu juga berada dalam posisi yang "tertindas" juga, sebelum akhirnya kekuasaan datang kepadanya.
Kisah Andi tersebut hanyalah fiktif belaka. Tetapi perubahan kelakuannya? Saya mempersilakan pembaca untuk melihatnya dalam realita dunia pekerjaan. Baik yang kerja di instansi pemerintahan maupun swasta.
Mungkin, akan ada di antara kita yang tertegun membaca kisah tersebut. Sambil mengernyitkan dahi, dan mengingat kisah sama yang pernah dirasakan, lihat atau lakukan sendiri. Bisa jadi kawan-kawan pembaca adalah teman dari orang yang "mirip" Andi. Atau bahkan sebagai "Andi" itu sendiri.
Kisah Andi dapat kita lihat di kehidupan nyata. Perubahan sikap akibat berada dalam genggaman kekuasaan. Contohnya seperti kasus Ferdy Sambo, yang dulu dikenal sebagai anak baik dan rutin beribadah. Sampai kemudian, ia menjadi aktor utama dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua.
ADVERTISEMENT
Posisi Sambo saat itu sebagai salah satu petinggi kepolisian dengan jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri. Ia berani merekayasa pembunuhan Brigadir Joshua dan melibatkan banyak orang dalam kebohongannya. Kekuasaan membuat ia menjadi tak waras.
Cerita yang sama juga terlihat dari Imam Nahrawi yang dulunya mantan aktivis mahasiswa. Kemudian ia terlibat korupsi pada 2018 ketika menjabat Menteri Pemuda Olahraga (Menpora).
Sama halnya juga dengan Sukma Kutana (Direktur Utama PD Aneka Usaha) dan Lukman Syahrir (Direktur Operasional PD Aneka Usaha) yang dulunya adalah aktivis antikorupsi, namun tersandung kasus korupsi dana kas PD Aneka Usaha Kolaka, Sulawesi Tenggara pada 2013.
Menarik melihat ciutan Mahfud MD pada 2017 lalu di atas. Belum lagi kasus mantan petinggi lembaga kemanusiaan terkenal di Indonesia yang didakwa memainkan jabatannya dalam penyelewengan dana donasi.
Apakah kawan-kawan terkejut dengan kasus-kasus tersebut? Mestinya tak perlu terkejut. Perubahan orang-orang yang sebelum dan ketika memegang kekuasaan adalah hal yang lumrah terjadi. Perubahan sikap ketika berkuasa atau diberikan kekuasaan ini sudah pernah diteliti oleh para ahli.
ADVERTISEMENT
Dacher Keltner, profesor psikologi dari University of Caifornia, Barkeley sekaligus penulis buku "The Power Paradox: How We Gain dan Lose Influence”. Ia dikenal pakar tentang psikologi kekuasaan, karena sudah menggeluti hal tersebut sejak tahun 1990-an.
Keltner menyimpulkan, orang akan berubah atau mengalami gangguan kepribadian ketika memperoleh kekuasaan , yang disebut dengan acquired sociopathy. Hal ini dapat mengubah orang baik menjadi jahat, serta membuat orang yang berkuasa cenderung berperilaku tidak stabil seperti tidak etis, kasar dan egois.
Temuan ini semakin kuat dengan hasil penelitian Sukhvinder Obhi, serang ahli saraf dari Wilfrid Laurier University, Ohaio, Kanada, bersama Jeremy Hogeveen dan Michael Inzlicht. Mereka menggunakan Transcranial Magnetic Simulation dengan 45 peserta yang ikut berpartisipasi. Ia melihat dari stimulus otak para pesertanya.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitiannya menunjukkan, bagaimana kekuasaan dapat mengubah otak seseorang. Orang yang berkuasa memiliki empati yang kurang terhadap orang lain dan mengubah perilaku mereka ketika diberikan kekuasaan atau berkuasa. Penelitian tersebut dituangkan dalam tulisannya berjudul "Power Changes How the Brain Reponds to Others" yang terbit pada 2013.
Jauh sebelum itu, terdapat seorang ahli bernama Philip G. Zimbardo yang melakukan eksperimen dengan nama "Stanford Prison Experiment" pada 1971. Zimbardo melakukan eksperimen dengan meminjam ruangan bawah tanah departemen Psikologi Universitas Stanford sebagai simulasi penjara.
Ia mengambil relawan 24 laki-laki, dengan 12 di antaranya menjadi "penjaga" dan 12 lainnya menjadi "tahanan". Semua relawan sehat secara psikologis dan baru memainkan peran tersebut.
Hasil eksperimen yang diperoleh cukup mengejutkan. Hanya satu hari, para relawan sudah memainkan dengan baik peranan mereka masing-masing. Relawan yang diberikan peran "penjaga" berlaku semakin kejam terhadap tahanan karena mereka diberikan "kekuasaan" untuk melakukan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Adapun para "tahanan" stres atas tindakan yang mereka terima dari "penjaga". Akhirnya eksperimen yang tadinya akan dilakukan selama 14 hari, terpaksa dihentikan pada hari ke enam. Dapat dilihat, bagaimana seseorang yang diberikan kekuasaan dapat berubah dan bahkan dapat kehilangan akal sehat.
Penelitian Dacher Keltner, Sukhvinder Obhi, dan Philip G. Zimbardo memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat mengubah kepribadian seseorang menjadi kurangnya empati.
Dari penelitian ilmiah dan kejadian nyata , dapat dikatakan bahwa adalah hal yang lumrah kekuasaan dapat mengubah seseorang. Perubahan tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Seperti kata Lord Acton (1833-1902): Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.
Dengan kekuasaan juga kita dapat melihat karakter seseorang, seperti yang dikatakan Abraham Lincoln (1809-1865): Hampir semua orang bisa menanggung kemalangan, Tetapi jika kamu ingin menguji watak manusia, cobalah kau beri dia kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Seseorang yang berada dalam genggaman kekuasaan dan dimakan oleh hal itu, bagaikan orang mabuk yang terkadang tak sadar dengan apa yang ia lakukan.