Marsinah, Wajah Dari Kekuatan Buruh Indonesia

Fanda Puspitasari
Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI
Konten dari Pengguna
1 Mei 2022 16:24 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fanda Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi topeng Marsinah Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
zoom-in-whitePerbesar
Aksi topeng Marsinah Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Fanda Puspitasari
(Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI dan Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Politik UI)
ADVERTISEMENT
1 Mei, seluruh dunia memperingatinya sebagai Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day. Pada 20 April 1948, Pemerintah menetapkan UU No 12 tahun 1948 tentang UU Kerja, yang salah satu isinya menetapkan bahwa setiap 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
Bagi kalangan buruh, May Day merupakan moment agung untuk menuangkan aspirasi mereka dalam berbagai aksi. Aksi dengan kobaran semangat perjuangan untuk “memerdekakan” diri. Oleh karenanya, setiap tahunnya para buruh tidak pernah absen untuk menyuarakan keadilan sosial bagi kaum pekerja.
Sejarah peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh telah terjabarkan secara komprehensif dalam sebuah buku yang ditulis oleh Alexander Trachtenberg dengan judul “History of May Day” yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1932. Secara garis besar, peringatan Hari Buruh se-Dunia erat kaitannya dengan sejarah awal mula perjuangan kaum buruh untuk mengurangi jam kerja yang didapatkannya.
ADVERTISEMENT
Sejak diterapkannya sistem industrialisasi, masalah pengurangan jam kerja ini menjadi salah satu isu pokok yang selalu dimasukkan dalam agenda perjuangan politik kaum buruh dan kelas pekerja pada saat itu.
Serikat Kerja Mekanik dari Philadelphia (Mechanic’s Union of Philadelphia) sebagai serikat pekerja/buruh pertama di dunia, pada tahun 1827 mengawali aksi pemogokan dengan tuntutan pengurangan jam kerja. Mereka menuntut pembatasan jam kerja menjadi hanya 10 jam kerja per hari di berbagai pusat perindustrian.
Pada perkembangan selanjutnya, pergerakan ini merambah pada beberapa sektor industri, yang kemudian memunculkan tuntutan untuk mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari. Demam pengorganisasian buruh pada serikat pekerja mulai merebak pada kisaran tahun 1850.
Puncaknya, pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sejumlah Serikat Pekerja di Amerika Serikat melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan besar-besaran untuk menuntut pemberlakuan 8 jam kerja per hari serta kenaikan upah yang layak. Aksi pemogokan kerja buruh yang paling agresif terjadi di alun-alun Haymarket kota Chicago.
ADVERTISEMENT
Terjadi penyerangan yang sangat masif dilakukan oleh aparat keamanan kepada para demonstran buruh pada saat itu. Penyerangan tersebut menimbulkan cukup banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Berangkat dari perjalanan panjang sejarah perjuangan buruh dan adanya momentum aksi pemogokan di Amerika Serikat dan insden Haymarket, Konferensi Internasional Sosialis pada tahun 1889 kemudian menetapkan tanggal 1 Mei, yang merupakan awal mula aksi demonstrasi buruh pada 1886 di Amerika Serikat, sebagai peringatan Hari Buruh Internasional/May Day.
Peringatan hari besar kaum buruh tersebut senantiasa bergulir hingga sampai saat ini. 1 Mei adalah hari milik pekerja, momen krusial dalam perjalanan panjang perjuangan kaum buruh sejak 194 tahun silam.
Sejarah perjuangan kaum buruh di Indonesia telah mencatat salah satu nama yang begitu besar, besar jasa dan perjuangannya. Dia yang kita kenal dengan Marsinah, seorang buruh dan aktivis perempuan dalam organisasi buruh SPSI yang selalu memperjuangkan kemanusiaan dengan tuntutan-tuntutan keadilannya.
ADVERTISEMENT
Marsinah merupakan perempuan pemberani yang menjadi simbol perjuangan dan perlawanan bagi para kelas pekerja di bangsa ini. Keterlibatan Marsinah dalam aksi buruh muncul seiring dengan kesadarannya akan hak-hak buruh.
Untuk itu dia selalu aktif mengorganisir dan ikut dalam aksi-aksi unjuk rasa kaum buruh. Tidak hanya itu, Marsinah adalah pelopor aksi buruh di lingkungan perusahaan tempat ia bekerja. Namun perjuangan gigihnya tersebut yang akhirnya menjadi sebab atas kematiannya yang begitu tragis.
Marsinah ditemukan tak bernyawa dalam kondisi mengenaskan dengan tanda-tanda penyiksaan berat pada 8 mei 1993 di sebuah hutan di daerah Nganjuk, Jawa Timur, setelah sebelumnya dinyatakan menghilang pada 5 Mei 1993.
Pasalnya sebelum kematiannya, Marsinah adalah orang yang mengorganisir dan memimpin kaum buruh untuk mogok massal ditempat ia bekerja yaitu PT Catur Surya, Porong, Sidoarjo. Aksi mogok massal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada perusahaan atas tindakan sewenang-wenangnya terhadap kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Aksi protes yang dilakukan oleh Marsinah dan massa buruh adalah aksi menuntut kenaikan upah berdasarkan surat edaran Gubernur Jawa Timur No 50/th. 1992, yang menghimbau agar pengusaha menaikkan upah karyawan sebesar 20% gaji pokok, serta tuntutan perbaikan perlakuan kepada kaum buruh. Selain menuntut kesejahteraan bagi kaum buruh, Marsinah juga menyuarakan upah lembur dan cuti hamil bagi para buruh perempuan.
Marsinah berjuang ditengah-tengah rezim otoriter yang bengis kepada siapapun yang dianggap mengusik kenyamanan pemerintah beserta antek-anteknya. Rezim dengan model kepemimpnan represif yang mengebiri dan merampas setiap hak warga negara. Warga negara yang berusaha memperjuangkan haknya, baik itu dari kalangan buruh, petani, nelayan, mahasiswa dan rakyat kecil lainnya, maka akan berhadapan dengan “monster” kejam yang bernama kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Hanya orang-orang yang memiliki keberanian berlapis yang mampu tegap berdiri pada garda terdepan untuk melakukan perlawanan. Marsinah, dia yang berada pada barisan terdepan dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum buruh. Tak dapat dipungkiri, bahwa Marsinah adalah pionir dalam melawan penindasan terhadap buruh pada saat itu. Marsinah menjadi pahlawan berani mati demi memperjuangkan hak manusia, hak buruh, yang disebut keadilan dan kemanusiaan.
Marsinah, sangat patut kiranya kita sejajarkan dengan pejuang hebat anti penindasan yang namanya tercatat dengan aksara emas sejarah perjuangan kemanusiaan di dunia. Di Perancis, kita kenal dengan Madame Roland, pemimpin perempuan yang paling berpengaruh pada Revolusi Prancis. Lalu Rose Lacombe, yang memimpin gerakan massa 8.000 perempuan pada tanggal 16 oktober 1787 yang menuntut diberi roti untuk mengisi perut mereka yang kelaparan.
ADVERTISEMENT
Kemudian dari aksi tersebut lahirlah naskah Hak-hak Manusia. Di Jerman, perempuan pejuang tersohor bernama Rosa Luxemburg, adalah orang pertama dan paling aktif dalam menyerang virus-virus reformisme yang tengah mengguncang Eropa, ia berjuang menggempur kapitalisme, ia adalah pahlawan ulung dalam pergerakan sosialisme.
Kemudian Clara Zetkin, sang ibu besar dalam pergerakan proletar sedunia, ibu dari revolusi proletar. Ia yang memulai mendirikan Kongres Perempuan Internasional, dan ia pula yang mempelopori adanya Hari Perempuan Internasional yang sampai saat ini kita peringati setiap tanggal 8 Maret.
Kemudian nama terakhir yang juga pejuang tangguh adalah Olympe de Gouges, pemimpin kaum perempuan bawah yang dengan gagah berani tidak takut akan maut. Olympe menuntut persamaan hak bagi perempuan, dan menuntut kemanusiaan secara luas. Dialah yang mula-mula mengorganisir aksi perlawanan perempuan.
ADVERTISEMENT
Olympe de Gouges, yang oleh Sukarno disebut sebagai singa betina Revolusi Prancis, berakhir dengan cara tragis, dipenggal lehernya lantaran perjuangan yang begitu gigih. Hal yang sama dialami oleh Marsinah, dihabisi dengan keji karena memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan.
Olympe de Gouges adalah organisator dan agitator perempuan yang pertama di dalam sejarah pergerakan revolusioner, dan Marsinah adalah organisator dan agitator perempuan dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia. Olympe de Gouges dan Marsinah telah mengorganisir, menyusun tenaga dari orang-orang lemah, kaum papa yang tertindas, menjadi satu kekuatan utuh dalam melawan kemungkaran.
Olympe de Gouges dan Marsinah selalu berada ditengah-tengah massa. Mereka bukanlah perempuan yang tinggi intelek, namun mereka adalah pejuang yang mampu mengobarkan semangat kepada kawan seperjuangannya. Olympe de Gouges dan Marsinah menjadi simbol dari bangkitnya kesadaran perjuangan perempuan dan perjuangan buruh untuk melawan penindasan, untuk memperjuangkan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Marsinah, namanya kekal didengungkan dan dijadikan simbol perlawanan kaum buruh Indonesia sekaligus perwujudan dari keberanian dan perjuangan anti penindasan. Marsinah adalah mercusuar bagi kaum buruh untuk menyuarakan kelayakan nasib dan keadilan sosial bagi buruh.
Pada masanya, Marsinah telah melakukan perjuangan yang luar biasa hebat, berjasa, dan besar, memperjuangkan hak buruh, memperjuangkan keadilan, memperjuangkan kemanusiaan. Marsinah adalah simbol buruh perempuan tangguh dengan kesadaran kuat menegakkan keadilan.
Kobaran api perjuangan Marsinah selalu menyala diantara kesadaran yang begitu luas akan pentingnya penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Jasanya yang begitu besar, warisan semangat juang yang kian menjalar, hingga kini dan sampai kapanpun akan terus menyertai perjuangan kaum buruh Indonesia dalam menegakkan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Marsinah pernah berada pada gelanggang perjuangan srikandi-srikandi revolusi yang tersemat dalam kisah abadi para pejuang perempuan hebat sepanjang masa. Namanya yang masyhur karena kiprahnya dalam memperjuangkan kelayakan nasib kaum buruh, layak ditempatkan pada padang kehormatan yang setinggi-tingginya.
Marsinah adalah wajah dari kekuatan buruh Indonesia.
Semangat Hari Buruh Internasional..!
Merdekalah yang sesungguh-sungguhnya.