Konten dari Pengguna

Piil Pesenggiri: Lima Prinsip Falsafah Hidup Masyarakat Adat Lampung

M Irfan Dwi Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
20 Juli 2022 18:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Irfan Dwi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Ikon Siger di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (Sumber: Dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Ikon Siger di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (Sumber: Dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia, Indonesia memiliki beragam adat istiadat dari masing-masing suku yang menghuni wilayah Indonesia. Salah satu unsur dalam adat istiadat adalah falsafah hidup yang umumnya berisi norma, etika, dan nilai. Hampir semua suku di Indonesia memiliki falsafahnya masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali masyarakat adat Lampung yang memiliki falsafah Piil Pesenggiri.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya, Piil Pesenggiri adalah norma dan nilai yang bagi masyarakat adat Lampung berperan sebagai way of life atau prinsip hidup dalam bermasyarakat. Secara etimologi, kata Piil Pesenggiri berasal dari dua kata, yaitu Piil dan Pesenggiri. Piil berasal dari bahasa Arab “fi’il” yang artinya perbuatan atau perangai (Amaliyah dkk., 2018). Sementara itu, kata Pesenggiri memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Ada yang mengartikannya sebagai sifat-sifat yang baik dan bijak, pertemuan sejajar pada garis lurus, bahkan ada yang menyebutnya sebagai nama seorang pahlawan.
Secara filosofis, Piil Pesenggiri merupakan falsafah yang berkaitan dengan kehormatan dan harga diri. Piil Pesenggiri mengajarkan seorang individu untuk senantiasa memiliki sikap pantang menyerah dalam mempertahankan harga diri dan martabatnya serta keluarganya. Falsafah ini melekat bersama empat prinsip lain, yaitu Juluk Adek, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, dan Sakai Sambayan.
ADVERTISEMENT
Juluk Adek adalah prinsip tentang keberhasilan seseorang yang diperoleh dengan menjaga gelar adat yang melekat pada orang tersebut. Juluk berarti nama panggilan dan Adek berarti gelar. Masyarakat adat Lampung sangat menghargai gelar adat seseorang sehingga penting bagi mereka untuk menjaga gelar tersebut sebaik-baiknya dengan tidak melakukan perbuatan tercela. Hal ini disebabkan karena gelar adat sangat mempengaruhi kedudukan seseorang beserta pembagian kerja di dalam masyarakat (Martiara, 2012).
Nemui Nyimah adalah prinsip penghargaan terhadap tamu atau pendatang. Nemui bermakna keterbukaan masyarakat adat Lampung dalam menerima tamu yang berkunjung ke wilayah mereka atau sebaliknya. Sementara itu, Nyimah mengandung arti pemberian bingkisan kepada tamu sebagai tanda kekerabatan (Martiara, 2012).. Pada prinsipnya, Nemui Nyimah adalah keramahan yang ditunjukkan oleh masyarakat adat Lampung terhadap tamu atau pendatang yang berkunjung ke wilayah mereka. Masyarakat adat Lampung secara terbuka menerima orang yang berkunjung dan secara senang hati memberikan sesuatu sebagai tanda pengingat atau kekerabatan.
ADVERTISEMENT
Nengah Nyappur merupakan prinsip pergaulan sebagai kelanjutan dari Nemui Nyimah. Nengah berarti bergaul ke tengah-tengah masyarakat, sementara Nyappur bermakna berbaur dengan masyarakat lain (Martiara, 2012). Prinsip ini menunjukkan sifat masyarakat adat Lampung yang suka bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat lain. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjalin kerukunan dan kekeluargaan di tengah masyarakat.
Prinsip terakhir adalah Sakai Sambayan yang merupakan prinsip kerja sama dan tolong-menolong. Sesakai bermakna tolong-menolong dan Sesambaian bermakna bergotong-royong (Martiara, 2012). Masyarakat adat Lampung sangat menyadari bahwa nilai-nilai kolektif atau kebersamaan merupakan sesuatu yang penting sehingga mereka saling tolong-menolong dan bergotong-royong dalam melakukan suatu pekerjaan. Nilai kebersamaan ini biasanya tecermin dalam pelaksanaan upacara adat atau ketika musim panen tiba.
ADVERTISEMENT
Keempat prinsip di atas tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keempatnya merupakan rangkaian yang tidak terputus. Masyarakat adat Lampung sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip tersebut untuk melindungi martabat atau kehormatan mereka. Terlebih, masyarakat adat Lampung hidup berdampingan dengan masyarakat pendatang dari suku lain yang tinggal di Provinsi Lampung.
Pada perkembangannya, masyarakat adat Lampung mulai mengalami pergeseran paradigma berpikir terhadap falsafah Piil Pesenggiri. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, populasi masyarakat adat Lampung yang semakin terpinggirkan karena kedatangan masyarakat pendatang dari luar Lampung. Dalam sejarahnya, Provinsi Lampung sejak masa kolonial Hindia Belanda telah digunakan sebagai tujuan transmigrasi untuk memindahkan wilayah padat penduduk di Pulau Jawa dan Bali (Warganegara dan Waley, 2021).
ADVERTISEMENT
Program transmigrasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda kemudian dilanjutkan oleh pemerintah era Orde Baru. Dalam kurun waktu 1966 hingga 1999 setidaknya ada enam kali gelombang transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali ke Provinsi Lampung (Warganegara dan Valey, 2021). Program transmigrasi tersebut semakin mendesak populasi masyarakat adat Lampung ke wilayah-wilayah pinggiran. Wilayah-wilayah di pusat seperti Metro dan Bandar Lampung banyak didominasi oleh suku lain yang menjadi pendatang.
Kedatangan masyarakat suku lain tersebut membawa konsekuensi bagi masyarakat adat Lampung. Pembauran kebudayaan yang ada antara masyarakat adat Lampung dan masyarakat pendatang semakin membuat nilai-nilai dan falsafah yang ada menjadi memudar, termasuk juga falsafah Piil Pesenggiri yang semakin terpinggirkan. Terlebih, masyarakat adat Lampung sudah tidak menjadi populasi dominan yang menghuni Provinsi Lampung.
ADVERTISEMENT
Penyebab lainnya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi dan modernisasi. Tidak dapat dinafikan bahwa pesatnya arus globalisasi dan modernisasi telah mengubah paradigma berpikir masyarakat, terutama generasi muda. Tidak jarang hal ini sampai menyebabkan tergerusnya kebudayaan-kebudayaan lokal yang sudah sejak lama berkembang di tengah masyarakat (Anggraini dan Fitriasari, 2021). Masuknya nilai-nilai eksternal telah menggeser falsafah hidup lokal, tidak terkecuali falsafah Piil Pesenggiri yang hidup di masyarakat adat Lampung.
Penelitian terhadap masyarakat adat Lampung di Keluruhan Jagabaya 1 menunjukkan adanya pergeseran yang nyata terhadap falsafah Piil Pesenggiri. Secara pengetahuan, sebagian besar masyarakat adat Lampung masih memahami prinsip-prinsip yang terkandung di dalam falsafah Piil Pesenggiri. Namun, mereka mulai meninggalkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari karena menganggap falsafah Piil Pesenggiri sudah tidak relevan dalam kehidupan bermasyarakat (Fani dkk., 2018).
ADVERTISEMENT
Sangat penting bagi pihak-pihak terkait—terutama masyarakat adat Lampung—untuk tetap mempertahankan falsafah Piil Pesenggiri dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu dilakukan guna mempertahankan kekayaan budaya sekaligus menjaga the living law yang sudah berlaku sejak ratusan tahun lalu di tengah-tengah masyarakat adat Lampung. Terlebih, falsafah Piil Pesenggiri mengandung nilai-nilai kebaikan yang sepatutnya memang dilakukan oleh masyarakat adat Lampung dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam mempertahankan falsafah Piil Pesenggiri, tentunya masyarakat pendatang di Provinsi Lampung perlu juga untuk menghormati dan memahami arti penting falsafah ini bagi masyarakat adat Lampung. Tujuan dari falsafah ini adalah untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan seimbang antara masyarakat adat Lampung dengan masyarakat pendatang yang ada di Provinsi Lampung. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terkait untuk menjalin sinergi dalam mempertahankan falsafah Piil Pesenggiri demi menciptakan kehidupan yang harmonis di tanah Lampung.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Amaliyah, Dina, Sariyatun Sariyatun, dan Arif Musaddad. “Values of Piil Pesenggiri: Morality, Religiosity, Solidarity, and Tolerance.” International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 5, no. 5 (2018).
Anggraini, Riska Dewi dan Susan Fitriasari. “The Transformation of the Value of Piil Pesenggiri Local Wisdom in Building Harmony Between Natives and Immigrants.” Advances in Social Science, Education and Humanities Research 636 (2021).
Fani, Nur Afni Destia, Hermi Yanzi, dan Berchah Pitoewas. “Pemahaman Masyarakat Adat Lampung Terhadap Pergeseran Prinsip Budaya Piil Pesenggiri.” Jurnal Kultur Demokrasi 5, no. 12 (2018).
Martiara, Rina. Nilai dan Norma Budaya Lampung dalam Sudut Pandang Strukturalisme. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2012.
Warganegara, Arizka dan Paul Waley. “The political legacies of transmigration and the dynamics of ethnic politics: a case study from Lampung, Indonesia.” Asian Ethnicity (2021).
ADVERTISEMENT