Tindakan Aborsi pada Korban Perkosaan: Suatu Dilema Hukum

M Irfan Dwi Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
28 Maret 2022 20:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Irfan Dwi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: unsplash.com/Jon Tyson
zoom-in-whitePerbesar
Foto: unsplash.com/Jon Tyson
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aborsi merupakan salah satu isu yang sangat kontroversial di tengah masyarakat, khususnya di ranah hukum. Saking kontroversialnya, masyarakat di seluruh dunia terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu pro-choice yang mendukung tindakan aborsi dan kubu pro-life yang menolaknya. Belakangan, kasus pemaksaan aborsi oleh Bripda Randy terhadap pacarnya Novia Widyasari banyak menyedot perhatian publik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Novia Widyasari yang merupakan mahasiswa salah satu kampus negeri di Malang adalah korban perkosaan sekaligus korban pemaksaan aborsi pacarnya, Bripda Randy. Depresi menjadi korban perkosaan dan pemaksaan aborsi, Novia Widyasari akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan menenggak racun potasium sianida di samping makam ayahnya (Abdi, 2021).
Kasus meninggalnya Novia Widyasari tentu sangat menggemparkan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan lantaran mengetahui bahwa pacarnya hamil setelah diperkosa olehnya, Bripda Randy dan keluarganya memaksa Novia untuk melakukan aborsi dengan dicekoki berbagai obat-obatan.
Kasus tersebut kemudian memantik sebuah pertanyaan terkait legalitas aborsi di Indonesia. Bagaimana sebenarnya pengaturan tindakan aborsi di Indonesia? Apakah seorang korban perkosaan seperti dalam kasus tersebut dapat melakukan tindakan aborsi jika itu atas keinginannya sendiri?
ADVERTISEMENT
Sebelum melihat dalam konteks Indonesia, mari kita lihat bagaimana negara-negara di dunia mengatur persoalan ini. Dalam konteks internasional, tindakan aborsi memiliki pengaturan yang berbeda-beda di setiap negara. Di Amerika Serikat, pengaturan aborsi masih menjadi perdebatan sengit antara kaum pro-choice dengan kaum pro-life yang salah satu kasus fenomenalnya adalah Roe v. Wade pada tahun 1973 (Williams, 2016: 205-208).
Hukum di beberapa negara bagian seperti Colorado, District of Columbia, dan Oregon melegalkan praktik aborsi tanpa harus dilakukan oleh tenaga profesional berlisensi sekalipun. Sementara negara bagian seperti Alabama, Georgia, dan Ohio melarang praktik aborsi dengan pengecualian kondisi tertentu seperti kedaruratan medis (McBride dan Keys, 2018: 238-240).
Di negara-negara Amerika Latin yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, pengaturan terkait aborsi sangatlah ketat dan tindakan aborsi hanya boleh dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu. Bahkan, beberapa negara seperti El Salvador, Honduras, dan Nikaragua melarang penuh praktik aborsi (Ramirez dan Morgan, 2017: 427).
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak terlepas dari argumentasi religius dari hukum Gereja yang tidak memperbolehkan tindakan aborsi untuk dilakukan (Lemaitre, 2014: 239-246). Doktrin Katolik memposisikan tindakan aborsi sama dengan kontrasepsi yang merupakan buah hasil mentalitas manusia yang tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatan seksualnya. Namun, baru-baru ini Paus Francis sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik memiliki pandangan yang lebih moderat terhadap tindakan aborsi (Watson, 2018: 205).
Sementara itu, berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya aborsi merupakan suatu tindak pidana yang pengaturannya ada di dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP (Maridjan, 2019: 115-116). Di dalam KUHP, tindakan aborsi adalah tindakan yang mutlak dianggap sebagai tindak pidana tanpa pengecualian. Namun, pada dasarnya ketentuan yang termuat di dalam KUHP adalah lex generalis yang kemudian diatur secara lebih spesifik dalam peraturan lainnya.
ADVERTISEMENT
Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan dapat dipidana apabila larangan tersebut dilanggar. Akan tetapi, ada beberapa pengecualian yang diberlakukan untuk keadaan tertentu. Hal ini diatur sebagaimana dalam Pasal 75 ayat (2) yang mengecualikan dua kondisi, yaitu kehamilan tersebut mengancam nyawa ibu atau bayi (kedaruratan medis) dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma secara psikologis bagi korban.
Perihal pengecualian terkait kedaruratan medis dan korban perkosaan, pengaturan lebih lanjutnya termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Terkhusus kehamilan yang diakibatkan perkosaan, aborsi dapat dilakukan selama belum mencapai usia kandungan 40 hari sejak hari pertama haid terakhir (Ratulangi, Lumunon, dan Antow, 2021: 186)
ADVERTISEMENT
Selain undang-undang, ada pula hukum otonom yang harus diperhatikan ketika membahas aborsi, yaitu Sumpah Hipokrates dan Kode Etik Kedokteran (Kodeki). Ketika seseorang akan menjadi dokter, dia wajib untuk mengucapkan Sumpah Hipokrates yang berisi bahwa dokter wajib untuk menghormati hidup dari semua manusia mulai dari saat pembuahan hingga akhir hayat (Achmad, 2015: 5-15).
Hal serupa juga termuat di dalam Pasal 10 Kodeki yang menyebutkan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani (Simanjuntak dkk., 2022: 241). Kedua prinsip tersebut jelas menunjukkan bahwa dokter tidak boleh melakukan aborsi karena aborsi sendiri merupakan tindakan yang tidak menghormati hidup orang lain atau bahkan merenggutnya.
Selanjutnya, dalam Kodeki juga diatur mengenai pelarangan aborsi. Pelarangan ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Kodeki yang menyatakan bahwa setiap dokter dilarang untuk melibatkan diri ke dalam tindakan aborsi karena dianggap melanggar tugas dokter yang seharusnya menjaga nyawa seseorang dan bukan mencabut nyawa tersebut. Jika seorang dokter melakukan aborsi, tentunya dokter tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran etik sehingga bisa mendapatkan sanksi berupa pengucilan atau bahkan pencabutan dari jabatannya (Achmad, 2015: 5-15).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Sumpah Hipokrates dan Kodeki, dapat dilihat bahwa hukum otonom kedokteran sangat melarang dokter untuk melakukan aborsi. Namun, jika membahas mengenai korban perkosaan tentunya akan berbeda. Memang dalam KUHP dan Kodeki telah ada larangan mengenai aborsi, tetapi UU Kesehatan memperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas.
Jika dilihat berdasarkan asas hukum, jelas bahwa UU Kesehatan memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dibanding KUHP. Akan tetapi, bisa dikatakan bahwa Kodeki lebih mengikat kepada dokter dibanding UU karena merupakan lex specialis. Namun, sebenarnya di Indonesia belum ada ketetapan mengenai mana yang lebih kuat antara UU Kesehatan atau Kodeki.
Disebabkan adanya kebingungan ini, maka kita perlu untuk melihat pertimbangan lain yang termuat dalam WMA Declaration of Oslo on Therapeutic Abortion 1970 yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kedokteran Dunia. Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa moral dasar yang diyakini seorang dokter adalah penghormatan kepada hak hidup insani sejak pembuahan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, aborsi hanya dapat dilakukan dengan beberapa syarat, yaitu dengan indikasi medis, disetujui oleh dua orang atau lebih dokter, dilakukan dengan prosedur yang baik dan dokter yang berkompeten, dan jika hati nurani sang dokter tidak menghendaki, maka dia boleh mundur dari tindakan medis tersebut dan dilakukan oleh rekan sejawatnya (Den Exter, 2015: 716). Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tindakan aborsi korban perkosaan oleh dokter merupakan pilihan hati nurani sang dokter itu sendiri.
Memang terdapat pertentangan antara hukum positif dan hukum otonom mengenai aborsi. Hal ini sering kali menjadi dilema bagi seseorang yang berprofesi sebagai dokter ketika dihadapkan pada tindakan aborsi. Meskipun aborsi diperbolehkan dalam UU, tindakan aborsi pada dasarnya melanggar etika dan tugas seorang dokter, yaitu menyelamatkan nyawa seseorang dan bukan merenggutnya. Namun, berdasarkan Deklarasi Oslo 1970 dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan tindak aborsi bagi korban oleh dokter harus didasarkan pada pilihan hati nurani dari dokter tersebut.
ADVERTISEMENT
Referensi
Abdi, Alfian Putra. “Diduga Memaksa Aborsi NW Dua Kali, Polisi Menahan Bripda Randy.” https://tirto.id/diduga-memaksa-aborsi-nw-dua-kali-polisi-menahan-bripda-randy-glZU. Diakses 22 Maret 2022.
Acmad, Angelina V. “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Aborsi yang Dilakukan oleh Dokter Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.” Lex Crimen 4, no. 6 (2015): 5-15.
Den Exter, Andre P. ed. International Health Law & Ethics: Basic Documents (3rd Revised Edition). Belgia: Maklu Publishers, 2015.
Lemaitre, Julieta. “Catholic Constitutionalism on Sex, Women, and the Beginning of Life.” Dalam Abortion Law in Transnational Perspective, diedit oleh Rebecca J. Cook, Joanna N. Erdman, dan Bernard M. Dickens, 239-257. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2014.
Maridjan, Gracia Novena. “Aborsi dalam Penerapan Hukum Pidana di Indonesia.” Lex Crimen 8, no. 6 (2019): 114-121.
ADVERTISEMENT
McBride, Dorothy E. dan Jennifer L. Keys. Abortion in the United States. California: ABC-CLIO, 2018.
Ramírez, Gabriela Arguedas dan Lynn M. Morgan. “The Reproductive Rights Counteroffensive in Mexico and Central America.” Feminist Studies 43, no. 2 (2017): 423–437.
Ratulangi, Martina T. A. T, Theodorus H. W. Lumunon, dan Debby Telly Antow. “Tinjauan Yuridis Terhadap Aborsi Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.” Lex Crimen 10, no. 4 (2021): 185-194.
Simanjuntak, Irwan Santoso, dkk. “Tinjaun Yuridis Aborsi Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Legalisasi Aborsi Terhadap Korban Perkosaan.” Jurnal Impresi Indonesia 1, no. 1 (2022): 237-249.
Watson, Katie. Scarlet A: The Ethics, Law, & Politics of Ordinary Abortion. New York: Oxford University Press, 2018.
ADVERTISEMENT
Williams, Daniel K. Defenders of the Unborn: The Pro-Life Movement Before Roe v. Wade. New York: Oxford University Press, 2016.