Urgensi Medis: Hak Bagi Mereka Yang Membutuhkan Ganja di Indonesia

Farel Nicolas
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 9:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farel Nicolas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : shutterstock
ADVERTISEMENT
Ganja atau dalam konteks ilmiah disebut Cannabis merupakan salah satu jenis tanaman yang digolongkan ke dalam klasifikasi Narkotika Golongan 1. Hingga saat ini, status ganja menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dinyatakan diperbolehkan dalam limitasi yang amat sempit yaitu hanya untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Lantas jika kajian terhadap ganja hanya sebatas untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan, maka dimana letak esensi dari kebermanfaatan ilmu tersebut ?
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui pada pasal 28 H ayat (1) "Negara menjamin bahwa setiap orang atau warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan negara wajib menyediakannya". Namun apa kabar dengan mereka diluaran sana yang masih berusaha menyuarakan aspirasinya terkait legalisasi ganja untuk kepentingan medis sanak saudaranya.
"Sudah sekian kali kita berteriak di depan yang berkuasa di pemerintahan sana, kami merintih dan memohon demi keadilan yang mereka gadang-gadangkan sudah setara, negara yang seharusnya menjadi tempat yang paling dekat dengan rakyat nya justru malah berpaling seolah tidak mendengar apa-apa" mungkin begitulah yang dirasakan oleh mereka aktivis pejuang ganja.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan kebelakang Indonesia kembali ramai oleh wacana pemerintah yang ingin melakukan legalisasi terhadap ganja untuk keperluan obat-obatan medis. Isu ini kembali mencuat karena sirup anti-kejang yang biasa diresepkan untuk anak cerebral palsy (lumpuh otak) masuk daftar periksa BPOM terkait indikasi ledakan kasus gagal ginjal akut, obat yang biasa mereka konsumsi untuk meringankan gejala kejang karena efek dari cerebral palsy (lumpuh otak) justru malah menjadi momok baru bagi mereka. isu ini semakin membesar setelah wakil presiden Republik Indonesia, Ma'ruf Amin, minta Majelis Ulama Indonesia untuk mengkaji kembali ganja untuk keperluan medis di Indonesia.
Anggapan mengenai "buruknya" pengaruh ganja telah berhasil menggiring opini kita, asumsi publik yang telah tertanam "preconceived ideas" atau "pra-konsep" tentang suatu entitas itu; apalagi "prasangka" itu sudah melanglang negatif atau "misunderstood". Maka dari itu membahas ganja dalam suasana yang sudah bertebaran negatif diluaran sana akan menjadi sangat sulit, oleh karena itu sangat diperlukan untuk menemui sebuah titik terang mengenai pemahaman terhadap ganja secara nyata.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari laman thrillist.com, Selasa (13/12/2022), Di tingkat dunia ganja telah dilegalkan untuk kebutuhan medis tercatat sudah ada 30 negara yang melegalkan ganja untuk keperluan medis, peraturan ini juga telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menyetujui permintaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melegalkan tanaman ganja untuk pengobatan pada Desember 2022, lalu apa kabar dengan Indonesia?.
Di Indonesia sudah banyak mencuat kasus yang menjadi tolak ukur betapa mirisnya keapatisan pemerintah terhadap mereka yang membutuhkan ganja untuk keperluan pengobatan, Dwi Pertiwi contohnya ia harus kehilangan buah hatinya yang mengidap penyakit cerebral palsy hanya karena terhalang masalah legalisasi terapi ganja medis yang tidak bisa dilanjutkan di Indonesia, lalu kemudian perjuangan Fidelis Ari Sudarwoto yang terpaksa harus menanam ganja secara ilegal di dalam rumahnya sendiri untuk keperluan pengobatan sang istri yang mengidap penyakit Syringomyelia. Syringomyelia adalah penyakit langka tumbuhnya kista yang menyerang sumsum tulang belakang, pada akhir perjuangannya Fidelis dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, tak lama kemudian kondisi sang istri yang kian memburuk pada akhirnya ia harus meninggal dunia akibat sudah tidak lagi mendapatkan asupan ganja untuk keperluan pengobatannya.
ADVERTISEMENT
Sudah dapat dipastikan kebenarannya bahwa Fidelis melakukan pelanggaran hukum. Dalam undang-undang yang berlaku, ganja adalah psikotropika golongan 1. Fakta itu tidak dapat dibantah, namun di sisi lain, hukum juga harus memahami atas dasar apa tindakan itu dilakukan.
Melihat banyaknya kasus dan fakta mengenai kebermanfaatan ganja bagi kebutuhan obat-obatan di Indonesia, dirasa sudah saatnya pemerintah melakukan pengkajian kembali terhadap manfaat yang dapat diberdayakan dari ganja sebagai komoditas tanaman kesehatan. Bahkan langkah pemerintah memasukan ganja kedalam daftar narkotika golongan 1 adalah tindakan yang terkesan berlebihan karena dapat merugikan mereka yang benar-benar sangat bergantung untuk keperluan pengobatan. Karena seharusnya ganja dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan, kepentingan kemanusiaan, dan kepentingan ilmu pengetahuan tidak terkecuali dan tidak boleh ada batasan.
ADVERTISEMENT