Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wajah Kelam Hukum: Ketika Keadilan Dikendalikan oleh Kuasa
15 November 2024 16:09 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Farell Dwie Laksana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di balik wajah hukum yang keras dan mengintimidasi, tersembunyi realitas yang tidak seindah teorinya. Hukum yang lahir untuk menjaga keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat kini telah berubah wajah, berubah fungsi, dan seakan kehilangan jiwanya. Ketika kita melihat hukum, kita membayangkan sebuah sistem yang penuh kepastian, keadilan, dan kebenaran. Namun, nyatanya, di dalam struktur yang tampak rapi dan tak tergoyahkan itu, ada permainan besar yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan terselubung. Dalam banyak kasus, etika yang seharusnya menjadi fondasi dari seluruh tindakan hukum justru ditinggalkan, dilupakan, dan dianggap sebagai penghalang bagi mereka yang punya kuasa untuk memanipulasi hukum sesuai kehendak mereka.
ADVERTISEMENT
Begitu sering kita mendengar kasus yang secara terang-terangan menunjukkan bahwa hukum bisa dibeli. Keadilan menjadi barang dagangan di meja negosiasi, hukum dipelintir sedemikian rupa untuk menyesuaikan kepentingan mereka yang kuat dan mampu. Di sini kita tidak lagi melihat hukum sebagai penjaga moral dan penegak keadilan, tetapi sebagai instrumen kosong yang tunduk pada kehendak manusia yang berkuasa. Ini adalah wajah hukum yang sejati di masa sekarang, wajah yang tidak lagi murni, yang telah dirusak oleh kepentingan, ambisi, dan ketidakpedulian terhadap etika.
Hukum yang kehilangan etika adalah hukum yang kejam, dan sering kali ia menjadi alat penghancur bagi mereka yang tidak punya kekuatan untuk melawannya. Dalam banyak kasus, orang-orang kecil yang tak punya akses ke kuasa dan uang sering kali menjadi korban dari sistem ini. Mereka dihakimi dengan keras, dihukum tanpa ampun, sementara mereka yang punya akses dan jaringan bebas melenggang dengan penuh percaya diri, seakan hukum adalah permainan yang bisa mereka kendalikan. Hukum telah berubah menjadi tembok tinggi yang memisahkan mereka yang lemah dan yang berkuasa, menjadikan masyarakat yang lemah semakin tidak berdaya dan mereka yang berkuasa semakin tidak tersentuh. Apakah ini tujuan hukum? Bukankah hukum harusnya memberi keadilan bagi semua orang tanpa pandang bulu?
ADVERTISEMENT
Pengabaian terhadap etika di dalam hukum bukan hanya merusak prinsip-prinsip keadilan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Ketika masyarakat mulai menyadari bahwa hukum tidak lagi berdiri di pihak mereka, maka kepercayaan mereka terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka mulai hilang. Ini adalah krisis yang jauh lebih dalam daripada sekadar pelanggaran hukum; ini adalah krisis kepercayaan terhadap fondasi keadilan di masyarakat. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada hukum, maka yang tersisa adalah ketidakpastian, ketakutan, dan hilangnya rasa aman. Tanpa rasa kepercayaan terhadap hukum, masyarakat akan mulai mencari cara sendiri untuk mendapatkan keadilan, sering kali dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan hukum itu sendiri. Ini adalah titik di mana hukum yang kehilangan etika tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga chaos.
ADVERTISEMENT
Namun, siapa yang bertanggung jawab atas keadaan ini? Apakah ini kesalahan sistem hukum itu sendiri, atau kesalahan manusia-manusia yang berada di dalamnya? Dalam banyak kasus, masalah ini bukan soal kelemahan hukum sebagai sistem, tetapi soal moralitas dari mereka yang memiliki kuasa untuk menjalankan hukum. Etika seharusnya menjadi jantung dari seluruh keputusan hukum, namun, dalam banyak situasi, etika malah dipinggirkan demi kepentingan yang lebih pragmatis. Para pelaku hukum yang memiliki posisi untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan sering kali menghadapi godaan besar: kekuasaan, uang, dan pengaruh. Dalam lingkungan yang penuh godaan seperti itu, hanya mereka yang memiliki integritas tinggi yang mampu tetap berdiri di atas prinsip dan nilai-nilai keadilan sejati.
Namun, sayangnya, tidak semua pelaku hukum memiliki kekuatan moral yang cukup untuk menolak godaan tersebut. Tidak sedikit yang akhirnya jatuh ke dalam perangkap kepentingan pribadi atau kelompok, mengorbankan etika demi keuntungan material yang sifatnya sementara. Ketika mereka yang memiliki posisi untuk menjalankan hukum tunduk pada kepentingan pribadi, maka yang terjadi adalah munculnya penyimpangan di dalam sistem itu sendiri. Mereka yang diharapkan menjadi pilar keadilan justru menjadi sumber dari ketidakadilan, menciptakan luka mendalam di dalam masyarakat yang terus sulit untuk disembuhkan.
ADVERTISEMENT
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini. Jika kita terus membiarkan etika diabaikan di dalam penegakan hukum, maka yang tersisa hanyalah hukum yang dingin dan tanpa hati, hukum yang hanya menjadi alat untuk menaklukkan mereka yang lemah dan melindungi mereka yang berkuasa. Ini bukanlah hukum yang diimpikan oleh para pendiri bangsa, bukan pula hukum yang diharapkan oleh rakyat. Hukum yang kehilangan etika adalah hukum yang kehilangan makna, hukum yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat yang seharusnya dilindunginya.
Untuk menyelamatkan wajah hukum, kita harus mulai dengan mengembalikan etika ke dalam setiap proses hukum. Kita perlu mendesak agar setiap pelaku hukum memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip moralitas, agar hukum tidak lagi hanya menjadi alat yang bisa dibeli, tetapi benar-benar menjadi penjaga keadilan. Hukum yang beretika adalah hukum yang bisa dipercaya, hukum yang melindungi yang lemah dan memberi keadilan kepada yang benar, bukan hukum yang melayani mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat memiliki peran besar dalam mengawal agar hukum tetap berada di jalur yang benar. Kita tidak bisa hanya berdiam diri melihat penyimpangan yang terjadi di depan mata kita. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi proses hukum dan menuntut transparansi dari mereka yang berwenang adalah langkah penting dalam menjaga etika di dalam hukum. Jika kita semua bersatu dan menuntut agar hukum dijalankan dengan etika yang tinggi, maka perlahan namun pasti, wajah hukum akan kembali bersih, kembali murni, dan kembali bisa dipercaya oleh masyarakat.
Pada akhirnya, hukum bukanlah sekadar aturan atau peraturan. Hukum adalah simbol dari keadilan, moralitas, dan kemanusiaan. Tanpa etika, hukum hanyalah kumpulan kata-kata yang kosong.