Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengapa Tindakan Represif Aparat Selalu Berkonotasi Negatif?
3 Januari 2021 7:39 WIB
Tulisan dari Farhan Daffa Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara soal tindakan represif, kita harus mengetahui terlebih dahulu makna dari kata tindakan refresif itu sendiri. Tindakan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan atau tingkah laku. Sedangkan, arti dari kata represif menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah menahan, menekan, mengekang, atau menindas. Jadi, tindakan represif bisa diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara menahan, menekan, mengekang, atau menindas orang lain.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, dalam kewenangannya polisi diperbolehkan menggunakan senjata api ketika digunakan untuk melindungi nyawa manusia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 yang mengatur tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri, serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Lebih spesifik kewenangan ini merujuk pada pasal 47 Perkap 8/2009. Dalam Perkap ini juga diatur syarat-syarat lebih lanjut bahwa senjata api hanya boleh digunakan dalam: membela diri dan orang lain terhadap ancaman luka berat/kematian, mencegah terjadinya kejahatan berat, menghadapi keadaan luar biasa, menangani situasi yang membahayakan jiwa.
Selain itu juga, kewenangan polisi dalam melakukan tindakan represifitas termuat dalam Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian ialah untuk mencegah, menghambat, dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Adapula tentang Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri 9/2008”) sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara (dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib ( Pasal 2 Perkapolri 9/2008). Pada saat pengamanan demo, polisi dapat menggunakan kekuatannya dengan tujuan menjaga ketertiban penyampaian pendapat di muka umum.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai kewenangan polisi tersebut, dapat diartikan bahwa polisi sebenernya memang diperbolehkan mengunakan cara – cara represif dalam penegakan hukum. Cara – cara itu dipakai dengan maksud mentertibkan dan memberikan rasa aman terhadap masyarakat. Dan, cara atau tindakan represif juga bisa dijadikan hukuman bagi orang yang akan melakukan atau sudah melakukan kegiatan kejahatan. Namun, harus tetap sesuai dengan aturan – aturan kemanusiaan bagi pelaku kejahatan tersebut. Dengan kata lain, sebenernya tindakan represif aparat bukanlah sesuatu yang selalu berkonotasi negatif. Lalu, mengapa terjadi demikian?.
Itu terjadi karena terdapat beberapa elemen dan lapisan masyarakat yang merasa menjadi korban dari tindakan represif aparat. Mereka merasa bahwa terjadi abuse of power atau penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum kepada mereka, keluarga, dan orang – orang terdekatnya. Seperti yang sudah tertuang dalam Peraturan kapolri bahwa polisi dapat menggunakan kekuatannya untuk mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan berat, lalu munculah sebuah pertanyaan bagaimana polisi dapat menyimpulkan seseorang akan melakukan kejahatan berat sehingga menggunakan kekuatannya.
ADVERTISEMENT
Ketua YLBHI Asfinawati mengungkapkan pihaknya menerima banyak laporan dari LBH di berbagai daerah ihwal tindakan represif polisi saat aksi, dengan cara yang beragam. Mulai dari polisi memukul Advokat/penasehat hukum mahasiswa yang ditangkap di Semarang (Jawa Tengah) dan Manado (Sulawesi Utara. Hingga polisi memukul, menangkap, lalu membebaskan kembali peserta aksi dengan keterangan salah tangkap. Tidak hanya itu, terdapat juga laporan yang menyebutkan bahwa polisi menyerang paramedis dengan gas air mata, polisi memukuli massa aksi ketika ditangkap, polisi menelanjangi massa aksi ketika ditangkap.
Dari kondisi tersebut, mungkin terdapat kondisi yang tidak bisa dijelaskan antara para aparat kepolisian dengan para demonstaran. Masalah antara aparat kepolisan yang bertujuan menjaga kekondusifan dari penyampaian pendapat di muka umum dengan para demonstran yang ingin menyampaikan pendapatnya itu terjadi akibat adanya oknum yang mengingikan hal itu terjadi. Bisa dilihat dari tujuan antara para demonstran dengan aparat yang tidak menginginkan terjadinya konflik atau gesekan diantara dua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah masyarakat awam menilai bahwasannya para demostran selalu bertindak anarkis dan aparat kepolisian selalu melakukan tindakan refresif. Dan munculah anggapan – anggapan negatif dari masyarakat kepada aparat kepolisian. Kemudian itu akan menjadi suatu kerangaka berfikir yang tertanam apabila ditemukan aparat kepolisian melakukan tindakan represif untuk mencagah terjadinya kejahatan. Lalu, masyarakat akan tetap mengecam bahwa tindakan itu merupakan suatu yang berkonotasi negatif.
Solusi kongkret dari permasalahan ini adalah mencari dan menindak orang - orang yang menjadi provokator yang menginginkan terjadinya gesekan atau konflik diantara aparat dengan masyarakat. Dan, perlunya bimbingan atau edukasi yang intens bagi masyarakat atau para demonstran supaya tidak terprovokasi dengan hal - hal yang nantinya akan membuat suatu perselisihan atau konflik.
ADVERTISEMENT