Optimisme dalam Balutan Cinta Sejati

Farhanah Fitria Mustari
Managing Director Yayasan Teman Saling Berbagi II Membuat hidup #MenjadiLebihBermakna bersama Yayasan Teman Saling Berbagi II Berbagi pesan kebaikan tentang hidup yang #SalingBukanSilang.
Konten dari Pengguna
30 November 2022 20:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director of YTSB)
Sumber: Foto Pribadi Penulis
Pada suatu ketika, saya sedang mengisi sebuah pelatihan tentang persiapan karier bagi siswa/i Sekolah Kejuruan. Dalam satu ruangan, jumlah siswa lebih banyak dibandingkan siswi. Sehingga, bisa dibayangkan bagaimana komunikatif para siswa dan tak segan mendistraksi proses pembelajaran. Dalam hati saya berkata, pendekatan saya perlu berbeda dengan pelatihan sebelumnya. Otomatis, saya mulai mencoba untuk 'sejajar' dengan mereka dan menggunakan bahasa kekinian.
ADVERTISEMENT
Namun hal tak terduga terjadi di pertengahan kegiatan. Ketika saya menyisipkan beberapa pertanyaan reflektif seputar karier pasca lulus. Salah seorang pelajar berbicara dengan lantang:
"Saya tidak tahu harus jadi apa dan tidak yakin bisa sukses"
Respon yang diberikan membuat seluruh ruangan bersorak. Saya mencoba untuk berempati pada dia dengan bertanya alasan keraguan. Akan tetapi, belum sempat siswa tersebut menjawab. Salah seorang pelajar lain menginterupsi dan berkata:
"Dia gak akan mungkin sukses, 'kan dia anak broken home"
Ruangan yang bersorak, seketika hening dan pelajar tersebut menundukan kepala. Hati saya ikut hancur. Tanpa perlu saya bertanya lebih jauh, saya mulai memahami bahwa kehampaan hati menjadikan individu rentan pesimis. Tanpa perlu berlama-lama, saat break saya bertanya kepada Guru Bimbingan Konseling tentang kondisi yang terjadi pada para siswa. Beliau mengatakan bahwa banyak pelajar yang dilahirkan dari keluarga disfungsional dan menyimpan rasa amarah, dendam, maupun terluka. Dalam kata lain, hati mereka sedang rapuh.
ADVERTISEMENT
Saya mulai memahami banyak hal dari kejadian tersebut tentang bagaimana cinta yang benar akan mengantarkan individu pada beragam hal. Berikut rincian refleksi yang sejatinya bagian tak terpisahkan dari hidup kita.
1) Keluarga dan cinta adalah satu kesatuan
Semua orang menginginkan keluarga yang harmonis dan tanpa pertengkaran. Namun, hidup selalu berjalan tak terduga. Seketika, keluarga yang kita anggap baik-baik saja dapat berakhir cerai-berai. Perasaan gagal sebagai anggota keluarga sering menghantui setiap malam. Alhasil, kita menjadi acuh dengan cinta. Oleh karena itu, kemampuan untuk mencintai di dalam ranah keluarga perlu diupayakan setiap saat. Serta, menjadi tanggung jawab bersama. Sebab, keluarga bukan sekedar cukup. Lebih daripada itu, ada cinta yang bertumbuh seiring waktu.
ADVERTISEMENT
2) Cinta sejati ada dalam diri sendiri
Kita sering berpikir bahwa pemenuhan kebutuhan cinta selalu tentang dari orang lain. Padahal, diri kita memiliki cinta yang begitu besar dan seringnya tak terjamah. Ketika, kita menyadari cinta dalam diri sejatinya ini merupakan romantisme antara kita dengan Sang Maha Kuasa. Sudikah kita untuk membuka ruang seluas-luasnya dalam jiwa untuk cinta tak bersyarat ini?
3) Cinta juga lahir dari kerapuhan
Jika, saya melihat kejadian pelajar yang pesimistik dengan hidupnya. Saya merasa bahwa kita bisa pulih ketika paham sisi rapuh dalam diri. Salah satunya adalah dengan mengakuinya. Beratnya lisan untuk sekedar bilang, 'Aku hanya ingin dimaafkan' - 'Aku hanya ingin diakui' - 'Aku hanya butuh diapresiasi'. Bukankah dengan menyebutkan apa yang dirasakan secara jelas, hati kita menjadi lebih ringan?
ADVERTISEMENT