Interdependensi Hukum dan Politik dalam Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja

Farhan Qudratulloh Ginanjar
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang dan Ketua Umum PW Hima Persis Jawa Tengah. Seorang Pembelajar sepajang hayat yang tertarik terhadap isu hukum, politik, ekonomi, peradaban dan pendidikan.
Konten dari Pengguna
29 Desember 2021 17:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Qudratulloh Ginanjar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Pada hari kamis tanggal 25 November tahun 2021 Pukul 13.17, Mahkamah Konstitusi mengadakan sidang pembacaan putusan terhadap Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam amar putusanya, MK memutuskan bahwa Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (Inkonstitusional Bersyarat) serta memerintahkan kepada pembentuk undang-undang tersebut untuk melakukan perbaikan selama dua tahun. Apabila dalam tenggang waktu dua tahun tidak dapat menyelesaikan perbaikan maka undang-undang tersebut dicabut.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang pembacaan putusan yang menyatakan inkosntitusionalitas UU Cipta Kerja, MK Menilai dari aspek formil Undang-Undang dengan metode Omnibus yang digunakan pada regulasi tersebut tidak jelas, apakah metode tersebut digunakan untuk membentuk undang-undang baru atau melakukan revisi terhadap undang-undang lama. Selain itu, MK berpendapat bahwa dalam proses pembentukannya Undang-Undang Cipta Kerja tidak memenuhi asas keterbukan atau pastisipasi publik, padahal partisipasi publik dalam Pembentukan perundang-undangan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Ditambah dalam proses pembentukannya, draf dari Undang-Undang Cipta Kerja tidak mudah diakses oleh masyarakat.
Putusan MK tersebut menimbulkan dua pandangan yaitu pro dan kontra, pandangan kontra terhadap adanya putusan MK terhadap UU Cipta Kerja memiliki beberapa argumen yaitu, pertama dalam putusan tersebut MK dinilai inkonsisten, disatu sisi MK menyatakan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja masih berlaku dalam tenggang waktu dua tahun tetapi dilain aspek MK melarang pembentukkan peraturan pelaksana UU Cipta kerja. Kedua, amar tersebut mengandung ambiguitas yang menyatakan menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, ambiguitas tersebut lahir dari pertanyaan, bagaimana menentukan suatu kebijakan bersifat strategis atau berdampak luas?. Ketiga, Inkonsistensi putusan tersebut dinilai menghalangi hak konstitusional masyarakat yang akan melakukan judicial review terhadap substansi Undang-Undang Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Bagi yang pro menilai bahwa putusan tersebut merupakan momentum bagi pembentuk Undang-Undang untuk introspeksi diri terhadap proses legislasi yang sering bermasalah di tengah publik. Selain itu, putusan tersebut telah mengakomodir hak-hak penyandang disabilitas karena UU Cipta Kerja dinilai merugikan sehingga putusan tersebut mampu mengembalikan hak-hak disabilitas. Terakhir, anggapan inkonsistensi terhadap putusan MK tidaklah tepat, sebab putusan MK tersebut telah mengambil sikap kompromis dan multi interpretasi. Menyeimbangkan kedua hal tersebut menjadi penting, karena MK menilai bahwa secara prosedur memang cacat secara formil, namun secara materiil tujuan daripada undang-undang tersebut baik dan harus dipenuhi.
Putusan yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 menujukkan adanya pembangunan hukum responsif yang merupakan bagian dari interdependensi (hubungan saling mepengaruhi) antara hukum dan politik, hal tersebut terlihat dengan adanya peranan besar lembaga peradilan yang mampu mengambil peranan besar untuk menentukan inkonstitusionalitas undang-undang tersebut, ditambah peranan tersebut didukung dengan partisipasi secara luas oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat terhadap putusan tersebut terjadi dengan adanya dorongan besar-besaran baik dari kalangan akademisi, buruh, ataupun mahasiswa yang menujukkan penolakannya terhadap undang-undang tersebut, sehingga mendesak MK untuk membatalkannya. Putusan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja merupakan bagian konfigurasi demokratis, karena peranan Lembaga MK dan masyarakat yang melakukan check and balances terhadap kekuasaan politik.
ADVERTISEMENT
Karakter hukum responsif dan konfigurasi demokratis putusan MK menunjukkan interdependensi hukum dan politik. Produk Hukum yang dibuat oleh kekuatan politik yaitu DPR dan Pemerintah serta respon penolakan besar-besaran oleh mayarakat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK yang merupakan Lembaga peradilan yang memiliki kewenangan berdasarkan konstitusi untuk mengadili apakah suatu undang-undang konstitusional ataukah inkonstitusional.

Farhan Qudratulloh Ginanjar, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.