Konten dari Pengguna

Menelisik Sikap Filantropi Dedi Mulyadi

25 Maret 2017 21:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farid Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bupati Dedi menemui Siti Rukoyah (Foto: Dok. Pemkab Purwakarta)
zoom-in-whitePerbesar
Bupati Dedi menemui Siti Rukoyah (Foto: Dok. Pemkab Purwakarta)
Secara terminologi, Filantropi bukanlah kata yang memiliki akar dalam bahasa Indonesia. Kita bisa menemukan kata tersebut dalam perbendaharaan kata bahasa Yunani, Filantropi berasal dari kata “Philein” yang berarti Cinta dan “Anthropos” berarti Manusia.
ADVERTISEMENT
Melalui makna semantik kedua kata ini dapat kita temukan definisi sempit tentang apa itu Filantropi, ia berarti tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Sebagai wilayah yang khazanah pemikirannya dihiasi oleh berbagai aliran filsafat. Saya kira wajar saja, jika Yunani memiliki terminologi tentang hal sedemikian itu. Intinya, menggerus eksistensi diri, untuk menyelamatkan eksistensi sesama. Dalam terminologi sufisme, terdapat istilah “fana”, melebur diri dengan alam untuk menuju Tuhan.
Dalam terminologi Sunda, terdapat sebuah “tetekon” atau peraturan dalam perilaku kehidupan. Kalimat yang agak panjang itu populer hingga kini di tengah peradaban pedesaan masyarakat Sunda, ia berbunyi “Nulung kanu butuh, Nalang kanu susah, Nganteur kanu sieun, Nyaangan kanu poekeun” (Menolong siapapun yang membutuhkan, Pasang badan untuk siapapun yang mengalami kesulitan, Mengantar kepada mereka yang sedang mengalami ketakutan dan Memberi terang kepada mereka yang berada dalam kegelapan).
ADVERTISEMENT
Terlepas karena saya seorang asli Sunda, dengan tanpa maksud mengedepankan sikap primordialisme, saya berani mengatakan bahwa ternyata Peradaban Sunda itu sejajar dengan Peradaban Yunani juga Peradaban Sufisme Islam melalui terma-terma yang tadi saya sampaikan.
Tidak banyak pemimpin di Tanah Sunda yang secara konsisten melakukan pengamalan penuh atas nilai-nilai filantropi. Saya melihat Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi adalah diantaranya. Di daerahnya sendiri, ia konsisten menjalankan nilai tersebut sejak menjabat sebagai Wakil Bupati pada Tahun 2003. Range area untuk laku filantropinya bertambah saat dia berhasil menjabat sebagai Bupati Purwakarta dua periode dan kini menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat.
Laku filantropi yang terbaru, dia amalkan terhadap Ibu Rukoyah, atau akrab disapa Ibu Amih, perempuan renta berusia 83 Tahun asal Garut Jawa Barat. Sebagaimana ramai diberitakan oleh media, Sang Ibu dituntut secara perdata oleh anaknya sendiri sebesar Rp1,8 Miliar.
ADVERTISEMENT
Padahal, peristiwa hutang piutang itu terjadi antara anak Ibu Amih tersebut dengan anaknya yang lain. Ibu Amih hanya sekedar menjaminkan sertifikat tanah sebagai bentuk komitmen pertolongan orang tua kepada anaknya yang sedang terlilit hutang. Jumlahnya hanya Rp20 Juta saja.
Namun, mungkin saja karena kerakusan sang anak, prosesi hutang piutang yang terjadi pada Tahun 2001 itu ia konversi ke dalam harga emas hari ini, sehingga jumlahnya menjadi kurang lebih Rp600 Juta. Tak puas dengan itu, ia tuntut pula kerugian imateril sebesar Rp1,2 Miliar. Maka lengkaplah jumlah tuntutannya menjadi Rp1,8 Miliar.
Dedi Mulyadi yang mendengar kejadian tersebut melalui pemberitaan media, tergugah sisi filantropis yang ada dalam dirinya. Apalagi ini berurusan dengan seorang Ibu. Ibu kandung Dedi sendiri sudah lama meninggal. Karena terkenang pada Ibunya, disamping karena sifat dasar dirinya sebagai orang Sunda yang gampang sekali “meleleh” melihat peristiwa sedemikian itu, ia lunasi pokok hutang Ibu Amih sebesar Rp20 Juta dan mengirim tim bantuan hukum untuknya agar bisa lolos dari tuntutan Rp1,8 Miliar di pengadilan.
ADVERTISEMENT