Konten dari Pengguna

Radikalisme dan Terorisme: Benang Merah yang Memisahkan

Ferel Alcaliva
Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo
25 September 2024 12:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ferel Alcaliva tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Radikalisme seringkali dianggap sebagai akar dari terorisme. Namun, apakah semua orang yang memiliki pandangan radikal akan menjadi teroris? Hubungan antara radikalisme dan terorisme jauh lebih kompleks daripada sekadar hubungan sebab-akibat. Artikel ini akan mengurai benang merah yang menghubungkan kedua konsep ini, serta faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang yang semula hanya memiliki pandangan radikal untuk melakukan tindakan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Perdebatan mengenai mana yang lebih berbahaya antara radikalisme dan terorisme seringkali muncul dalam diskusi tentang keamanan dan stabilitas suatu negara. Keduanya merupakan ancaman serius, namun memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda.
Radikalisme dapat didefinisikan sebagai suatu paham atau ideologi yang ekstrem, intoleran, dan cenderung menolak nilai-nilai moderasi. Radikalisme sering kali muncul dari interpretasi agama yang sempit, ketidakpuasan sosial, atau pengaruh ideologi yang ekstrem. Radikalisme sendiri belum tentu langsung berujung pada tindakan kekerasan, namun merupakan landasan pemikiran yang dapat memicu tindakan terorisme.
Terorisme adalah penggunaan kekerasan secara sengaja untuk mencapai tujuan politik, ideologi, atau agama dengan cara mengintimidasi masyarakat atau pemerintah. Tindakan terorisme sering kali dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal yang merasa termarjinalkan atau memiliki dendam terhadap suatu kelompok atau negara.
ADVERTISEMENT
Meskipun radikalisme dan terorisme saling terkait, namun keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Radikalisme merupakan kondisi pikiran atau ideologi, sedangkan terorisme adalah tindakan nyata yang didasari oleh ideologi tersebut. Tidak semua orang yang radikal akan melakukan tindakan terorisme, namun hampir semua tindakan terorisme didasari oleh ideologi radikal.
Beberapa faktor yang dapat mendorong seseorang menjadi radikal antara lain:
Faktor Sosial: Ketidakadilan sosial, diskriminasi, kemiskinan, dan pengangguran dapat menciptakan rasa ketidakpuasan dan kebencian yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
Faktor Psikologis: Trauma, perasaan terisolasi, atau pencarian identitas dapat membuat seseorang rentan terhadap pengaruh ideologi ekstrem.
Faktor Ideologis: Interpretasi agama yang sempit, ideologi politik ekstrem, atau pengaruh propaganda dapat membentuk pandangan dunia yang radikal.
ADVERTISEMENT
Faktor Teknologi: Media sosial dan internet telah mempermudah penyebaran ideologi radikal dan merekrut anggota baru.
https://media.istockphoto.com/id/500033866/id/vektor/hentikan-tanda-grafiti-ekstremisme.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=4u32AG7qXF2_qRDFk8QkVL3wS_p1tqJbWzimHGeUEgE=
Proses perubahan radikalisasi menjadi terorisme digambarkan menjadi beberapa tahap yang dikenal dengan 4 Fase Radikalisasi, yang diawali dengan Pra-radikal, identifikasi diri, indoktrinasi, dan
jihadisasi
Pra-radikalisasi merupakan pra-kondisi bagi persemaian radikalisme, dalam tahap ini muncul hal-hal yang memberi dorongan bagi seseorang untuk menjadi radikal. Hal-hal yang menjadi pendorong tersebut bukan saja berkaitan dengan agama, tetapi menyangkut banyak hal, seperti kondisi ekonomi, sosial, dll. Pada tahap ini seseorang mulai merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu, menciptakan perubahan, baik untuk perkembangan pemahamannya maupun untuk kondisi hidupnya.
Keinginan untuk berubah tersebut kemudian mengantarkan seseorang untuk memasuki tahap yang kedua, yakni identifikasi diri. Tahap ini berkaitan dengan proses memposisikan diri dalam agamanya, “siapa saya dalam agama?”, “Apa peran saya dalam agama”, “apakah saya korban, apakah saya pejuang?”, dll. Radikalisme muncul dari anggapan bahwa seseorang berada dalam posisi ‘korban’, ia merasa dizalimi karena agama yang ia anut, karenanya ia merasa memiliki tuntutan untuk melakukan perubahan dengan cara perjuangan.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi pada banyak orang radikal, salah seorang napi terorisme pernah berujar betapa ia merasa telah melakukan banyak kesalahan, ia memakan banyak uang haram, dosanya pasti sudah menggunung. Hal itu membuatnya gelisah, karenanya ia memutuskan untuk berhenti dari kelamnya hidup yang ia jalani. Ia mulai memilih guru agama yang ia percaya mampu mengantarnya menuju kebaikan.
Belajar agama sebaiknya dengan guru, meskipun agama merupakan sebuah fitrah, namun belajar agama memang bukan hal yang mudah. Begitun pentingnya fungsi dan posisi guru dalam hal ini, hingga proses memilih guru tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Kalau sampai salah pilih, guru yang seharusnya mengantar kita menjadi agamis justru akan menjerumuskan kita menjadi radikalis. Ini tidak boleh terjadi.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan merupakan lahan subur bagi radikalisme, sementara pengajaran agama yang salah (indoktrinasi) adalah penyemai radikalisme. Orang yang gelisah cenderung akan mudah menelan mentah-mentah segala hal yang dikatakan oleh si guru, salah-benar tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pada kondisi seperti inilah radikalisme menjalar dan akhrinya mengakar.
Akhirnya, tahap terakhir pun terjadi. Orang-orang yang gelisah itu diarahkan untuk mengira bahwa agama menghendaki kekerasan dan kehancuran, mereka kemudian digiring untuk turun ke jalan-jalan menenteng kesombongan dan kenaifan untuk menghancurkan persatuan, sambil mengira itu semua adalah perintah tuhan. Mereka rela berbuat jahat karena mengira itu semua adalah jihad. Segala yang mereka lakukan, meskipun salah, diartikan sebagai jihad. Inilah yang dimaksud dengan jihadisasi, segalanya diatasnamakan jihad.
https://media.istockphoto.com/id/1495021373/id/foto/dinding-bata-dengan-tanda-berhenti-terorisme.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=dcmaF2jI4BysPdAMIa7wC99I2J-9O3kwFzW2dh3all0=
Mencegah tumbuhnya radikalisme dan terorisme membutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Upaya pencegahan harus dimulai sejak dini, melibatkan berbagai sektor, dan disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan politik masing-masing negara. Beberapa langkah penting yang dapat diambil antara lain:
ADVERTISEMENT
Penguatan pendidikan menjadi kunci utama dalam mencegah radikalisme. Kurikulum pendidikan perlu diperkaya dengan nilai-nilai toleransi, moderasi, dan pluralisme. Selain itu, penting untuk meningkatkan literasi digital masyarakat agar mampu menyaring informasi yang benar dan menghindari pengaruh propaganda radikal. Pemberdayaan Masyarakat: Memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Program-program pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial yang menjadi salah satu akar masalah radikalisme.
Dialog dan Kerjasama: Dialog antar agama, kelompok masyarakat, dan pemerintah sangat penting untuk membangun pemahaman dan toleransi. Kerjasama internasional dalam memerangi terorisme juga menjadi kunci keberhasilan. Selain itu, peran media massa sangat krusial dalam menyebarkan informasi yang akurat dan membangun narasi kontra radikalisme. Penegakan Hukum: Penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku tindak pidana terorisme menjadi penting untuk memberikan efek jera. Namun, penegakan hukum harus diimbangi dengan upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi mantan narapidana terorisme.
ADVERTISEMENT
Radikalisme dan terorisme merupakan dua masalah kompleks yang saling terkait namun memiliki perbedaan yang signifikan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, hingga individu. Pencegahan radikalisme dan terorisme harus dimulai dari akar masalahnya, yaitu dengan mengatasi faktor-faktor sosial, politik, dan psikologis yang mendorong tumbuhnya ekstremisme.