Konten dari Pengguna

Self Reward: Motivasi atau Beban? Menyelami Hustle Culture di Generasi Z

M Farouk Ubaidillah
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya Malang
1 Desember 2024 13:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Farouk Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi self-reward dengan bepergian ke luar kota. Sumber : Dokumen pribadi penulis (17 November 2024)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi self-reward dengan bepergian ke luar kota. Sumber : Dokumen pribadi penulis (17 November 2024)
ADVERTISEMENT
Di tengah perkembangan globalisasi, Generasi Z muncul dengan pemikiran unik, terkait bagaimana mereka memahami diri sendiri dengan tagline yang sering digaungkan, yaitu self-love. Salah satu fenomena yang muncul dalam Generasi Z adalah budaya self-reward—sebagai tindakan untuk memotivasi diri agar tetap semangat di tengah gempuran rutinitas yang melelahkan. Ini adalah bentuk kecintaan mereka terhadap diri sendiri dengan memberikan hal yang mereka sukai, seperti membeli makanan, barang elektronik, pakaian, ataupun liburan ke tempat wisata. Survei dari Michael Page tahun 2022, menunjukkan jika 68% pekerja Indonesia memilih mengorbankan gaji, promosi, hingga bonus untuk kesehatan mental yang lebih baik (Lim, 2022). Salah satunya adalah self-reward, yang membantu menjaga kesehatan mental. Hal ini turut diafirmasi oleh dr. Rizal Fadli yang menjelaskan jika self-reward mampu memberikan perasaan bahagia, meningkatkan harga diri, memberikan energi positif, dan menghilangkan rasa stres (Fadli, 2023).
ADVERTISEMENT
Namun, apakah self-reward ini benar-benar menjadi dorongan motivasi jangka panjang, atau justru beban yang berpotensi membentuk siklus konsumtif yang tidak berkelanjutan. Dalam budaya kerja yang terpengaruh oleh hustle culture—yang menuntut produktivitas tinggi dan kerja terus-menerus—self-reward dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan rasa pencapaian dan kebahagiaan, tetapi disisi lain, ia dapat memperkuat pola pikir bahwa kesuksesan hanya diukur dari seberapa keras kita bekerja, yang akhirnya bisa berujung pada kelelahan dan ketidakpuasan. Alih-alih memperkuat motivasi, self-reward yang berlebihan justru dapat menciptakan ketergantungan pada kepuasan instan dan meningkatkan risiko kelelahan dalam jangka panjang.
Tindakan self-reward pada Generasi Z yang menuntut untuk bekerja secara maksimal dan menjadikan kesibukan sebagai hal positif dapat dipahami sebagai bagian dari interaksi sosial, utamanya pada dominasi media sosial. Standar kesuksesan dan kebahagiaan di media sosial divisualisasikan dengan apik dalam bentuk budaya konsumtif sebagai simbol pencapaian. Hal ini menunjukkan jika tekanan sosial secara terus-menerus, seperti produktivitas tinggi dan norma bekerja tanpa henti turut mempengaruhi kesehatan mental individu. Walau, praktik self-reward bertujuan untuk memberikan kebahagian melalui jeda atau membeli barang yang disukai, seringkali menjadi mekanisme kompensasi yang tidak memadai dalam mengatasi stres dan kelelahan. Munculnya interaksionisme simbolik dalam lingkungan sosial Generasi Z— baik melalui rekan kerja, keluarga, ataupun media sosial— menciptakan pola pikir jika kebahagian sifatnya instan dan terikat secara material, yang pada akhirnya memperburuk kondisi finansial mereka serta mengurangi makna intrinsik dari proses pencapaian itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Penting untuk dipahami jika faktor sosial memiliki pengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Saat ini, hustle culture yang mendominasi lingkungan kerja masyarakat modern menciptakan tekanan sosial, yang mana individu merasa harus tetap tampil prima. Adanya ketimpangan struktural, seperti ketimpangan ekonomi turut memperburuk keadaan karena menuntut individu untuk bekerja lebih keras tanpa kenal henti untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di era yang serba mahal. Tekanan sosial pada individu, akan menciptakan norma kerja yang merugikan kesejahteraan masyarakat secara kolektif, dengan media sosial memainkan peran dalam memperkuat ekspektasi dan standar kesuksesan yang tidak realistis. Media sosial seringkali memperlihatkan pencapaian yang dipoles, mendorong perbandingan sosial yang intens di kalangan Generasi Z. Akibatnya, individu akan terpapar terus-menerus pada citra kesuksesan, sehingga merasa tidak cukup berhasil, yang pada gilirannya mendorong mereka ke dalam siklus self-reward dan kerja keras tanpa akhir.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan untuk selalu melakukan self-reward mendorong Generasi Z untuk bekerja lebih keras dan tanpa henti demi memenuhi kebutuhan konsumtif mereka, dengan anggapan bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai melalui kerja keras yang terus-menerus. Meski, aturan yang tercantum dalam UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menjelaskan bahwa pegawai di Indonesia memiliki batasan waktu kerja, yaitu 7 jam per hari dengan 1 hari libur per minggu, atau 8 jam per hari dengan 2 hari libur per minggu (Hidayah, 2024). Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara waktu kerja dan waktu istirahat, sehingga pekerja dapat tetap produktif tanpa mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka. Nyatanya, 25.14% masyarakat Indonesia masih bekerja lebih dari 49 jam per minggunya, bahkan menurut data dari BPS pada tahun 2023 menunjukkan jika 15.45% masyarakat Indonesia memiliki pekerjaan sampingan karena gaji minim di tengah inflasi harga kebutuhan hidup (Karyoko, 2024). Pada konteks hustle culture, banyak pekerja, termasuk Generasi Z, bekerja melebihi waktu dan memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan seringkali didorong oleh keinginan untuk melakukan self-reward, yang pada akhirnya bisa berdampak negatif pada kesehatan dan produktivitas mereka ketika bekerja.
ADVERTISEMENT
Meskipun bermanfaat untuk memberikan apresiasi pada diri sendiri atas pencapaian, self-reward memiliki dampak negatif signifikan jika dilakukan secara berlebihan, terutama dalam konteks hustle culture. Dampak buruk utama dari self-reward yang berlebihan meliputi ketergantungan pada hadiah eksternal sebagai sumber motivasi. Ketika individu hanya merasa puas karena adanya hadiah, motivasi intrinsik atau kepuasan dari proses pencapaian itu sendiri cenderung menurun, sehingga kemampuan mereka untuk menikmati pencapaian jangka panjang pun berkurang. Alih-alih berfokus pada tujuan utama, perhatian mereka bisa teralihkan pada hadiah instan yang bersifat konsumtif.
Dampak lainnya mencakup kesehatan mental yang terganggu. Ketika hadiah-hadiah self-reward mulai kehilangan efek kepuasan yang maksimal, individu sering merasa tidak puas atau kecewa, yang kemudian dapat memicu stres, kecemasan, hingga depresi. Kebiasaan self-reward yang berlebihan juga dapat mendorong individu ke pola belanja impulsif sebagai bentuk penghargaan diri, yang tidak hanya mengganggu keuangan pribadi tetapi juga sering kali diiringi penyesalan. Jika terus berlanjut, ini dapat berujung pada masalah keuangan serius, termasuk utang dan ketidakstabilan finansial jangka panjang (Andipati, 2023).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hustle culture, self-reward biasanya digunakan untuk merayakan pencapaian-pencapaian kecil di tengah tuntutan produktivitas tinggi. Bukan untuk mengurangi kondisi stres dan kelelahan, hal ini justru memperparah karena individu terdorong untuk terus bekerja keras demi kebutuhan dan pencapaian. Akibatnya, kualitas hidup menurun karena waktu istirahat atau perhatian pada diri sendiri seringkali terabaikan. Hustle culture turut meningkatkan perbandingan sosial, yang mana individu akan merasa tertekan untuk terus bekerja keras demi membuktikan nilai diri mereka, yang pada gilirannya memperburuk kesehatan mental mereka. Selain itu, kurangnya waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman akibat fokus berlebih pada pekerjaan dapat memperburuk kesehatan mental dan meningkatkan risiko gangguan emosional (Wuryanto, 2024).
Guna menghindari dampak negatif tersebut, Generasi Z perlu menemukan keseimbangan antara menghargai diri sendiri, menjaga kesehatan mental, serta keuangan. Berikut ini adalah beberapa saran :
ADVERTISEMENT
Terapkan self-reward yang sehat : Lebih mempertimbangkan aktivitas alternatif, seperti olahraga, meditasi, atau hobi kreatif lainnya sebagai bentuk penghargaan diri.
Manajemen keuangan dengan baik : Melakukan penerapan dana khusus untuk self-reward agar tidak mengganggu stabilitas finansial.
Fokus pada proses : Alihkan perhatian dari hasil akhir menuju menikmati proses pencapaian itu sendiri.
Batasi perbandingan sosial : Kurangi penggunaan media sosial yang dapat memicu perbandingan sosial dan rasa tidak puas terhadap pencapaian pribadi.
Meskipun, self-reward dapat memberikan dampak positif, melakukan tindakan berlebihan dalam mengapresiasi diri dapat menyebabkan berbagai masalah lainnya, baik secara mental, sosial, maupun finansial. Hal ini dapat menghambat seseorang untuk menikmati hidup mereka secara intrinsik karena terlalu bergantung pada pencapaian eksternal. Untuk itu, penting bagi setiap individu, khususnya Generasi Z yang kerap terpapar budaya ini, guna menemukan keseimbangan antara menghargai diri sendiri dan menjaga kesehatan mental, keuangan, serta fokus pada tujuan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Albari, R. R. (2024). Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Generasi Z di Era Globalisasi. Seminar Nasional Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 3(1), 329-344.
Andipati. (2023, December 16). Dampak Buruk Self Reward Halaman 1. Kompasiana.com. Retrieved November 6, 2024, from https://www.kompasiana.com/andipati20019987/657d1d96de948f34d86bad52/dampak-buruk-self-reward
Armavillia, K. E. (2023, August 1). Rata-rata Jam Kerja Masyarakat Indonesia 2023, 35-48 Jam per Minggu. GoodStats Data. Retrieved November 6, 2024, from https://data.goodstats.id/statistic/rata-rata-jam-kerja-masyarakat-indonesia-2023-35-48-jam-per-minggu-AU8u8
Fadli, R. (2023, November 21). Ini Pentingnya Melakukan Self Reward untuk Kestabilan Mental. Artikel. Retrieved November 5, 2024, from https://www.halodoc.com/artikel/ini-pentingnya-melakukan-self-reward-untuk-kestabilan-mental?srsltid=AfmBOoqHGOuomXuHRuJHXfqWWJ2qsEVdu85s07eXYfLLjcF94ht1GgQh
Hidayah, N. (2024, April 18). Aturan Jam Kerja Karyawan Sesuai UU Cipta Kerja Terbaru. Mekari. Retrieved November 5, 2024, from https://mekari.com/blog/aturan-jam-kerja-karyawan/
Karyoko, D. (2024, October 17). 15,45% Pekerja Indonesia Punya Side Hustle: Tren Pekerjaan Sampingan Meningkat Pasca-Pandemi. GoodStats Data. Retrieved November 6, 2024, from https://data.goodstats.id/statistic/1545-pekerja-indonesia-punya-side-hustle-tren-pekerjaan-sampingan-meningkat-pasca-pandemi-4t1xI
ADVERTISEMENT
Lim, G. (2022, June 22). 68% of Indonesia's employees willing to forgo higher salaries or job promotions for work-life balance: Michael Page. Michael Page. Retrieved November 5, 2024, from https://www.michaelpage.co.id/about-us/media-releases/68-indonesias-employees-willing-forgo-higher-salaries-work-life-balance
Nurjihan, P. K. (2024, Juni 16). Munculnya Budaya Self-Reward: Bagaimana Gen Z Memuaskan Diri Sendiri. Ilmu Sosbud. Retrieved November 5, 2024, from https://www.kompasiana.com/putrikalycia0841/666e7bec34777c55ec122c33/munculnya-budaya-self-reward-bagaimana-gen-z-memuaskan-diri-sendiri
Putri, M. (2024, March 15). Krisis Kesehatan Mental Pada Generasi Z: Peranan Pola Asuh dan Media Sosial. KPIN. Retrieved November 5, 2024, from https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1492-krisis-kesehatan-mental-pada-generasi-z-peranan-pola-asuh-dan-media-sosial
Wuryanto, Y. N. (2024, May 20). Apa Itu Hustle Culture? Definisi, Penyebab, Dampak, & Cara Menghindari | Narasi TV. Narasi Tv. Retrieved November 6, 2024, from https://narasi.tv/read/narasi-daily/mengenal-hustle-culture-ciri-dan-cara-menyikapinya#google_vignette