Konten dari Pengguna

Toxic Relationship: Alasan Orang Tetap Bertahan?

Farra Tri Adistyarani
"empathy begins with understanding others" - Mahasiswa Psikologi UB
5 Desember 2024 19:50 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farra Tri Adistyarani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kemarin aku dibentak sama cowokku, tapi emang salahku sih”
“Eh jangan upload sg ya, aku ga ngabarin pasanganku soalnya”
ADVERTISEMENT
“Itu uda termasuk toxic tauu, kenapa ga diakhirin aja sii?”
“Aku masih sayang...”
ilustrasi pasangan yang meragukan hubungan. sumber: freepik.com
Kalian pasti pernah ga sih nemuin teman kalian yang terjebak toxic relationship? Atau malah kalian sendiri nih yang terjebak?
Banyak orang susah untuk keluar dari toxic relationship. Kira-kira apa alasan seseorang susah untuk keluar dari hubungan yang sudah tidak seindah dulu lagi? Nah, kita akan telusuri lebih dalam lagi nih alasan dan bagaimana peranan otak dalam mengatur respon emosional!
Sebelum membahas lebih jauh, kenali dulu yuk apa itu toxic relationship.

APA ITU TOXIC RELATIONSHIP?

Toxic relationship merupakan hubungan tidak sehat yang ditandai dengan salah satu atau kedua belah pihak merasakan kerugian dan ketidakbahagiaan dan selalu menjadi sasaran kemarahan oleh pihak lain. Meskipun konsekuensinya sangat merugikan, tetapi banyak orang yang terjebak loh! Kira-kira kenapa ya banyak orang yang susah keluar dari toxic relationship? Jawabannya tidak hanya dari faktor psikologis saja, tetapi dapat juga dijelaskan lewat perspektif biopsikologi. Bagaimana biopsikologi—khususnya peran otak—memengaruhi respon seseorang terhadap hubungan yang tidak sehat ini.
ADVERTISEMENT

BAGAIMANA OTAK MEMBUATMU SUSAH UNTUK KELUAR DARI TOXIC RELATIONSHIP?

Toxic Relationship sering kali menjebak seseorang dalam siklus emosi dan perilaku yang sulit dihindari. Meskipun kamu sadar bahwa hubungan itu berbahaya, tetapi otak mungkin akan denial terhadap perasaan tersebut. Ada beberapa peran otak dalam memainkan hal ini, diantaranya
ilustrasi otak stres. sumber:freepik.com

Sistem Limbik

Pasangan yang manipulatif cenderung memberikan kasih sayang yang tidak konsisten setelah periode konflik. Biasanya pelaku akan minta maaf dengan menyangkal kekerasan yang dilakukannya dengan alasan khilaf. Kemudian, pelaku seolah-olah membahagiakan korban agar korban melupakan konflik yang dialami. Hal ini, membuat korban merasakan kebimbangan dalam hubungannya.
Nah, ini memengaruhi sistem limbik pada otak. Sistem limbik merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam mengatur emosi, memori, dan respon terhadap stres. Sistem limbik memainkan peran besar dalam menciptakan keterikatan yang sulit diputus.
ADVERTISEMENT

a. Amigdala

Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik yang bertugas mendeteksi anacaman dan memicu respons fight or flight. Ketika pasangan bersikap manipulatif atau kasar, amigdala memicu respon stres, seperti cemas, takut, dan marah. Nah, ini dapat membuat seseorang sulit untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan untuk keluar dari hubungan. Cara kerja fight or flight bermula dari rangsangan dari luar yang diterima dan diterjemahkan oleh amigdala sebagai suatu bahaya atau ancaman.

b. Hipocampus

Hipocampus berfungsi untuk menyimpan kenangan baik atau buruk. Otak manusia memiliki kecenderungan untuk mengingat momen positif lebih jelas dibandingkan momen yang negatif.

Prefrontal Cortex

Prefrontal Cortex adalah bagian otak yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang rasional serta kontrol diri. Ketika terjebak dalam toxic relationship, seringkali bagian ini “dibajak” oleh sistem limbik. Prefrontal cortex seringkali mengalami konflik dengan sistem limbik. Prefrontal cortex yang telah berpikir rasional, seperti “hubungan ini sudah toxic, aku ga boleh terjebak, aku harus pergi” dan emosi yang telah diproses oleh sistem limbik, seperti “tapi aku masih sayang padanya”, membuat seseorang dilema dalam mengambil keputusan. Untuk mengurangi konflik ini, otak mencoba membenarkan hubungan tersebut, seperti berpikir “mungkin dia akan berubah” atau “dia dulu sangat baik kok”, yang akhirnya membuat seseorang sulit untuk keluar dalam hubungannya yang toxic.
ADVERTISEMENT

Hormon

a. Dopamin

Pasangan yang manipulatif sering kali memberikan kasih sayang, perhatian, atau momen menyenangkan setelah terjadi konflik. Nah, ini menyebabkan terjadinya pelepasan dopamin. Dopamin menciptakan rasa senang dan antusias. Dopamin ini membuat seseorang merasa “dihargai”, meskipun jarang terjadi.

b. Oksitosin

Oksitosin dikenal sebagai “hormon cinta”. Hormon oksitosin dilepaskan selama momen keintiman dengan pasangan berlangsung, seperti pegangan tangan, pelukan, atau perhatian. Oksitosin meningkatkan perasaan keterikatan emosional yang membuat seseorang merasa bahwa pasangannya tetap “penting” atau “berharga” meskipun perilaku pasangannya buruk.

c. Kortisol

Pasangan yang toxic meningkatkan hormon kortison (hormon stres). Kortisol yang tinggi dapat melemahkan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yang rasional dan meningkatkan rasa cemas atau ketakutan.
ADVERTISEMENT

DAMPAK PSIKOLOGIS KORBAN

ilustrasi orang pusing. sumber: freepik.com
Toxic relationship pastinya meninggalkan bekas luka mendalam pada kesehatan mental seseorang. Korban mengalami dampak psikologis yang cukup serius dan berkepanjangan. Beberapa dampak yang dialami korban, diantaranya

1. Stres dan Kecemasan

Korban toxic relationship sering mengalami stres yang jika terjadi terus menerus akan menjadi depresi. Stres ini ditandai dengan rasa cemas yang terus menerus, mudah merasa takut atau gelisah, bahkan ketegangan fisik, seperti kelelahan yang berkepanjangan. Hal ini, menyebabkan perubahan perilaku pada korban dan dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.

2. Penurunan Self-Esteem

Pasangan yang toxic seringkali memanipulasi, mengkritik, menyalahkan, bahkan mengontrol korban. Korban seringkali dibuat merasa tidak berharga dan terus menerus menyalahkan dirinya. Hal ini dapat menyebabkan korban meragukan atas kemampuan dirinya dan membuat dirinya merasa “kecil” atau tidak berharga. Bahkan, jika pasangan selalu mengontrol korban, menyebabkan korban kehilangan jati diri dan selalu membutuhkan validasi dari pasangan untuk semua keputusan yang diambil.
ADVERTISEMENT

3. Gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)

Pengalaman dalam toxic relationship meninggalkan trauma yang sangat mendalam bagi korban. Korban yang memiliki trauma mendalam dapat memicu korban mengalami PTSD. Korban dapat mengalami gangguan tidur atau mimpi buruk, menghindari situasi yang mengingatkan pada pasangan yang toxic, serta selalu dihantui dengan momen buruk dalam hubungan.
Beberapa korban toxic relationship seringkali tidak menyadari bahwa mereka berada dalam hubungan yang merugikan, bahkan jika mereka menyadarinya, keluar dari hubungan tersebut tetap menjadi tantangan yang besar. Keluar dari toxic relationship memerlukan tips & trick yang efektif untuk mengatasi dampak yang biasanya timbul setelah hubungan telah usai. Berikut adalah beberapa tips & trick yang dapat membantu untuk keluar dari toxic relationship
ADVERTISEMENT

APA YANG DAPAT DILAKUKAN?

ADVERTISEMENT
Proses healing membutuhkan waktu, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Setiap langkah kecil yang dilakukan merupakan suatu perubahan besar dalam hidup. Dengan mengikuti tips ini, dapat memberikan suatu dampak positif pada kehidupan kamu dengan menuju kebebasan dari hubungan yang beracun dan membangun hubungan yang lebih sehat dan bahagia.

KESIMPULAN

Toxic relationship merupakan suatu jebakan emosional yang dapat merusak mental dan fisik seseorang. Mekanisme otak, seperti konflik antara sistem limbik dengan prefrontal complex, hormon dopamin yang diberikan ketika hubungan sedang baik-baik saja, serta hormon oksitosin yang dilepaskan yang dapat meningkatkan perasaan keterikatan secara emosional, memainkan peranan besar dalam membuat korban merasa sulit untuk keluar dari hubungan yang sudah tidak berguna. Namun, dengan kesadaran, support system, serta rencana yang tepat untuk keluar dari toxic relationship merupakan sebuah langkah yang tepat untuk membebaskan diri dari hubungan yang merugikan untuk menuju hubungan yang lebih sehat dan bermakna.
ADVERTISEMENT

REFERENSI

https://www.kompas.com/sains/read/2023/01/09/130100323/apa-itu-fight-or-flight-reaksi-tubuh-saat-merasa-terancam?page=all
https://www.healthline.com/health/stress/amygdala-hijack
https://www.suara.com/lifestyle/2022/10/18/144006/7-cara-keluar-dari-hubungan-toxic-coba-lakukan-tahapan-ini-agar-tak-kebablasan
https://www.klikdokter.com/psikologi/relationship/deretan-cara-keluar-dari-toxic-relationship-menurut-psikolog
file:///C:/Users/X13%20Yoga/Downloads/ahuda,+918-926%20(1).pdf