Konten dari Pengguna

Bu, Kalimatmu Mujarab!

Fathma Cita Zunurahma
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 November 2021 15:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathma Cita Zunurahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Satu waktu, saya berkesempatan melakukan sebuah perjalanan atas nama pengabdian. Bersama 70 orang lain, kami mengadu nasib menjaga nama, serta turut "membangun" mimpi yang konon "tertinggal". Miris, sekaligus bahagia. Hanya itu satu-satunya kalimat yang mampu saya ucap pasca tiba setelah perjalanan panjang kurang lebih selama 12 jam perjalanan. Memang, jaraknya tidak lebih dari 200 km. Bahkan sepertinya, belahan semesta lain yang lebih jauh belum tentu sama gelapnya. Satu pelajaran yang dapat kita ambil, saya dapat menganalogikan seperti satu tambah satu sama dengan dua ialah hitungan logika manusia, namun satu hari ditambah satu hari, tidak lantas membuat rindu dapat terhitung "masa"nya. Barangkali ia lebih sedikit, atau porsinya jauh di atas rerata.
dokumentasi penulis
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi penulis
Bising angin, besi karat. Saya tidak mengapa tertidur di atas ranjang duduk seperti itu. Berliku, kadang penghuni sebelah menyalakan lagu galau dengan nada tambahan kias Jawa, atau suara yang saya pikir lebih mirip suara kera— karena pengubahan terlalu memaksa, mungkin. Sesekali mimpi saya terguncang, batu atau lubang bak mosaik di bawah sana berdiskusi, membentuk formasi di waktu kapan saja saya akan pulas, mereka beraksi.
ADVERTISEMENT
Pernah satu kali. Menjadi seorang yang setiap manusia di sana mengelu-elukan, dibanggakan, seolah saya ini seorang tokoh pahlawan seperti dalam adegan kartun Malaysia. Pepatah mengatakan "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Dalam budaya mereka, memang penilaian terhadap fisik masih kuat. Sebenarnya sama saja. Di kota pun, rambut lurus hitam tergerai dan bagian bawah sedikit keriting, mata besar, kulit putih, urat menyembul menjadi simbol cantik yang didewakan. Pun sama, barangkali kampanye feminisme belum sampai. Begitulah, mobil saja tidak mampu menjangkau, apalagi manusia penghuni cakar cakrawala.
Tidak, saya hanya terdiam. Hari itu angin tersepoi ke arah yang berbeda. Baling-baling bambu, mainan tradisional di sana tidak berputar semestinya. Bukan arah jarum jam. Pun saya bicara, mencoba mengutarakan apa-apa saja yang sebenarnya tidak sesuai. Tidak apa, ini demi kebaikan mereka. Bukan tidak mungkin salah satu atau mungkin beberapa dari kelompok tersebut memiliki kesempatan ke ibukota, mencari peruntungan dalam bidang apa saja.
ADVERTISEMENT
Ibu saya pernah bilang. Katanya, "Yang paling dilihat bukanlah dari apa-apa saja yang telah kamu dapat, melainkan apa yang telah kamu berikan dari hasil yang telah kau dapat." Maka, Bu, saya izin meminang kalimatmu di sini. Bahwa saya yakin pada apa yang saya sampaikan, sekalipun bertolak belakang. Memang, dalam pengimplementasiannya diperlukan keahlian mengurai bahasa. Dengan siapa bicara, dengan siapa berkata-kata.
dokumentasi penulis
Diterima. Ya, diterima. Tidak ada lagi cemoohan bentuk fisik tubuh, pekerjaan orang tua, fisik orang gila. Bu, mujarab!