Konten dari Pengguna

Sidang Komisi Narkoba PBB tidak Melegalkan Ganja

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
6 Desember 2020 11:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi daun ganja. Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi daun ganja. Freepik.com
ADVERTISEMENT
Sidang Konvensi Tunggal (Single Convention) tahun 1961 menghasilkan keputusan terkait penggolongan zat atau obat berbahaya dengan membaginya menjadi empat tabel berdasarkan tingkat bahaya (harmfulnees). Konvensi tersebut menjadi babak pengendalian dalam menghadapi persoalan ganja di dunia. Konvensi kemudian menjadi alat bagi negara-negara anggota untuk mengatur persoalan ganja di dalam perundangan-undangannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Penggolongan narkoba sesuai Sidang Konvensi Tunggal 1961
Secara ringkas, penggolongan narkoba sesuai Sidang Konvensi Tunggal tahun 1961 adalah sebagai berikut:
Golongan pertama adalah zat dengan sifat adiktif, mengakibatkan risiko penyalahgunaan yang serius. Kemudian pada kolom tingkat pengendalian dijelaskan bahwa sangat ketat. Artinya obat-obatan dalam tabel I tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan di bawah konvensi ini. Obat-obatan yang masuk dalam kategori ini adalah ganja dan turunannya, kokain, heroin, metadone, morfin, opium.
Golongan kedua adalah zat yang biasanya digunakan untuk tujuan medis dan diberi risiko penyalahgunaan paling rendah. Tingkat pengendalian golongan kedua ini kurang ketat. Yang termasuk dalam kategori kedua ini adalah codeine, dihydrocodeine, dan propiram.
Golongan ketiga adalah bahan atau sediaan zat yang tercantum dalam tabel II (codeine, dihydrocodeine, dan propiram) dan bahan atau sediaan kokain. Tingkat pengendalian untuk kategori ketiga ini adalah lunak. Artinya, menurut WHO, sediaan ini dianggap tidak menimbulkan risiko penyalahgunaan.
ADVERTISEMENT
Yang terakhir adalah golongan keempat, zat paling berbahaya, zat sudah terdaftar dalam tabel I, yang sebagian berbahaya dan memiliki nilai medis atau terapeutik yang sangat terbatas. Tingkat pengendalian untuk kategori keempat ini sangat ketat. Pengendalian mengarah kepada pelarangan total terhadap produksi, manufaktur, ekspor dan impor, perdagangan, kepemilikan atau penggunaan obat-obatan tersebut. Penggunaan hanya boleh digunakan jika diperlukan untuk penelitian medis dan ilmiah. Ganja, resin ganja, dan heroin termasuk dalam kategori ini.
Dalam prakteknya, tidak semua negara di dunia patuh atau tunduk dengan hasil konvensi tersebut. Legalisasi “terbatas” di Belanda, sebagian negara bagian di Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa konvensi tersebut tidak sepenuhnya efektif.
Indonesia adalah salah satu negara yang sepenuhnya “patuh” dengan hasil konevensi tersebut dengan memasukkan ganja dan heroin dalam kategori narkoba golongan I. Secara total, penggunaan ganja dilarang dan hanya dalam jumlah yang sangat terbatas untuk penelitian medis dan ilmiah.
ADVERTISEMENT
Perubahan penggolongan narkoba
Konvensi 1961 secara khusus didirikan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan mengakhiri penyalahgunaan narkoba melalui dua metode intervensi. Dua metode tersebut adalah pertama membatasi penggunaan, kepemilikan, penjualan, dan distribusi narkoba untuk tujuan sains atau kedokteran. Kemudian, cara yang kedua adalah melakukan kolaborasi untuk mencegat, menghentikan, dan menurunkan moral para pengedar narkoba.
Sistem PBB tersebut untuk mengklasifikasikan obat-obatan yang diatur atau dikendalikan dengan mencantumkan 250 zat dalam empat tabel atau kategori. Penggolongan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan risiko kesehatan, bahaya, kecanduan, dan nilai medis.
Tabel IV adalah tabel yang tingkat bahayanya paling tinggi dan ganja termasuk dalam kategori tersebut. Selama beberapa dekade, ganja dimasukkan ke dalam golongan zat paling berbahaya yang memiliki nilai medis atau terapeutik yang sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
Kemudian, atas rekomendasi WHO, setelah perdebatan yang panjang, belum lama ini dilakukan pemungutan suara oleh Komisi PBB untuk Narkoba (The UN Commission on Narcotic Drugs, CND), yang berbasis di Wina dan mencakup 53 negara anggota terkait perubahan penggolongan tersebut.
Sidang komisi tersebut mempertimbangkan serangkaian rekomendasi dari WHO tentang penggolongan ulang ganja dan turunannya. Salah satu rekomendasi WHO adalah menghapus ganja dari tabel IV Konvensi Tunggal 1961. Pada tabel IV ganja terdaftar di samping opioid berbahaya dan sangat adiktif seperti halnya heroin.
Hasil sidang tersebut memenangkan kelompok negara-negara yang meminta penghapusan ganja dan turunannya dari tabel IV Konvensi 1961. Indonesia sendiri tidak menjadi bagian dari Komisi PBB untuk Narkoba (CND) tersebut sehingga tidak terlibat secara langsung dalam voting tersebut.
ADVERTISEMENT
Walaupun ganja dihapus dari tabel IV, perlu difahami bahwa ganja masih termasuk dalam tabel I sebagaimana merujuk kepada Konevensi 1961. Artinya, sampai saat ini, secara internasional ganja termasuk zat dengan sifat adiktif dan dapat mengakibatkan risiko penyalahgunaan yang serius. Dengan demikian, ganja termasuk zat yang tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan sesuai dengan konvensi tersebut.
Salah persepsi legalisasi ganja
Terdapat kesalahan persepsi yang mewacanakan ganja aman bagi medis. Beberapa negara, misalnya Thailand dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, mengembangkan varietas ganja tertentu untuk medis. Varietas ganja tersebut berbeda dengan ganja yang saat ini beredar.
Varietas ganja tersebut dikembangkan atau direkayasa secara khusus untuk pemanfaatan medis. Varietas tersebut dikenal sebagai medicinal cannabis dan diawasi penggunaannya secara ketat hanya untuk penyakit-penyakit tertentu.
ADVERTISEMENT
Penyalahguna ganja di Indonesia, sebagaimana di dunia, adalah tertinggi yaitu 65,5% (BNN-LIPI, 2019). Ironisnya, penyalahguna ganja adalah kaum remaja. Ganja juga menjadi pintu masuk bagi penyalahguna untuk menggunakan narkoba sintetis lainnya.
Kemudian, terkait perubahan penggolongan oleh komisi narkoba PBB, masyarakat awam juga salah memahami bahwa ganja adalah sepenuhnya tanaman legal dan bermanfaat untuk kesehatan. Ganja seolah menjadi tanamah herbal seperti daun teh yang dapat disedu, dibakar, atau bahkan seperti bayam yang dapat dilalap.
Ganja atau cannabis adalah tanaman dengan kandungan beberapa zat psikoaktif atau senyawa kimia tertentu. Di antara kandungan zat yang ada di tanaman ganja adalah CBD dan THC. CBD atau cannabidiol adalah salah satu cannabinoid yang ada di tanaman ganja yang bersifat non-psikoaktif. Oleh para peneliti, CBD dianggap mempunyai manfaat medis dan terapeutik. Sementara THC atau tetrahydrocannabinol adalah zat psikoaktif yang dapat menimbulkan efek atau sensasi euforia dan juga menghasilkan efek negatif secara medis.
ADVERTISEMENT
Kandungan ganja Indonesia
Perlu difahami, hasil sidang komisi narkoba PBB masih menempatkan ganja dalam tabel I. Artinya ganja yang beredar tetap diatur secara ketat peredarannya meskipun ada beberapa ganja yang dikembangkan secara khusus untuk medis. Ganja yang dikembangkan secara medis adalah ganja dengan kandungan THC sangat rendah (di bawah 0.2 persen) dan memiliki kandungan CBD yang dominan.
Perkembangan ganja medis tersebut dimulai dengan adanya riset yang berhasil mengisolasi CBD yang ada dalam tanaman ganja. CBD adalah salah satu komponen cannabinoid yang bermanfaat untuk medis pada beberapa penyakit tertentu dan tidak memilki efek psikoaktif.
Sementara ganja di Indonesia, seperti halnya umumnya ganja yang beredar di dunia, memiliki kandungan THC yang dominan dengan rata-rata 12 hingga 20 persen. Kandungan THC yang dominan tersebut tidak masuk dalam kategori pemanfaatan medis. Fakta tersebut cukup menjadi alasan untuk menempatkan ganja sebagai narkoba golongan I sebagaimana yang diatur dalam UU No.35 tentang Narkotika tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Saat ini, ganja yang dikembangkan untuk keperluan medis hanya dikembangkan secara khusus dan terbatas di beberapa negara. Tanaman ganja dilakukan rekayasa tertentu untuk memenuhi syarat pemanfaatan ganja dalam bidang medis (memiliki kandungan THC di bawah 0,2 persen dan kandungan CBD yang dominan).
Jadi, dengan mengacu kandungan THC dan CBD, ganja Indonesia tidak atau belum masuk kategori untuk pemanfaatan kesehatan. Diperlukan payung hukum dan langkah khusus untuk menjadikan ganja Indonesia dimanfaatkan dalam bidang medis.