Tantangan Para Penyelam Hadapi Risiko Decompression Sickness

Fatimah Alanza Salsabila
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
21 Januari 2021 17:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatimah Alanza Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gambar: Para penyelam melakukan proses pencarian human remains, material pesawat, dan Cockpit Voice Recorder (CVR) Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu, (9/1/2021). (sumber: instagram @sar_nasional)
Pasca insiden kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di Perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1/2021), para penyelam dikerahkan dalam upaya pencarian dan pengangkatan korban, puing-puing pesawat, maupun black box dari dalam laut. Dalam pekerjaan penyelamannya, mereka menghadapi berbagai risiko, salah satunya adalah penyakit dekompresi atau Decompression Sickness (DCS).
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Havard Health Publishing (2019), Decompression Sickness (DCS) atau yang disebut barotrauma merupakan cedera yang diakibatkan oleh penurunan tekanan yang cepat. Menurut Center of Disease Control and Prevention (2012) munculnya penyakit ini dikarenakan tidak cukupnya pelepasan tekanan dari tubuh setelah terpapar lingkungan bertekanan tinggi. DCS dapat terjadi di udara maupun air. Tetapi paling sering dialami oleh para penyelam laut dalam.
Semakin dalam dari permukaan laut, tekanan akan semakin tinggi. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration U.S untuk setiap 33 kaki (10,06 meter) turun menyelam ke laut, tekanan meningkat 1 atmosfer.
Pada lingkungan bertekanan tinggi (hiperbarik) rongga-rongga tubuh terbuka, sehingga gas akan mudah masuk ke dalam tubuh. Dilansir dari chem.libretext.org (2020) saat tekanan meningkat, kelarutan suatu gas dalam aliran darah juga akan meningkat. Oleh karena itu, akibat tekanan tinggi di dalam laut, gas-gas seperti nitrogen sebagai komponen penyebab penyakit dekompresi, akan mudah larut ke dalam aliran darah dan terakumulasi dalam tubuh penyelam.
ADVERTISEMENT
Nitrogen ini dapat keluar dari tubuh penyelam pada tekanan yang rendah yaitu ketika penyelam naik ke permukaan laut. Tetapi, apabila penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, transisi yang cepat dari area bertekanan tinggi ke bertekanan rendah menyebabkan nitrogen dalam darah membentuk gelembung-gelembung yang dapat menyumbat pembuluh darah dan jaringan organ. Gelembung nitrogen inilah yang menyebabkan penyakit dekompresi (Havard Health Publishing, 2019).
Menurut CDC (2012) gelembung nitrogen yang menghalangi aliran darah dapat menimbulkan rasa nyeri dan terkadang berakibat fatal. Mereka yang mengalami DCS akan merasakan gejala seperti nyeri sendi, kulit menjadi merah muda, gangguan saraf tulang belakang dan otak (misalnya stroke, kesemutan, mati rasa, disfungsi kandung kemih), serta sesak napas.
ADVERTISEMENT
Untuk meminimalkan risiko penyakit dekompresi, ketika hendak keluar dari air, para penyelam disarankan untuk tidak naik ke permukaan terlalu cepat melainkan secara bertahap dan perlahan misalnya berhenti beberapa menit pada kedalaman tertentu sebelum mencapai ke permukaan. Biasanya setelah menyelam, mereka juga akan masuk ke dalam ruang dekompresi (decompression chamber) untuk menghilangkan kadar nitrogen di dalam tubuh.
Gambar: Prajurit Yontaifib-1 TNI AL duduk di ruang dekompresi untuk menghilangkan kadar nitrogen dalam tubuh setelah melakukan penyelaman pada upaya pencarian Sriwijaya Air SJ 182, Minggu, (17 /1/2021). (sumber: instagram @bbcindonesia)
Selain itu, sebelum menyelam, pastikan kondisi fisik para penyelam dalam kondisi baik. Menurut Havard Health Publishing (2019), kelelahan, kurang tidur, konsumsi alkohol dan tembakau sebelum menyelam, berusia lebih dari 30 tahun, lemak tubuh yang tinggi, memiliki cacat jantung, dan penyakit paru-paru, dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dekompresi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sri Rahayu dkk (2019) juga menunjukkan bahwa kedalaman penyelaman, durasi menyelam, dan riwayat penyakit dekompresi sebelumnya turut mempengaruhi risiko terjadinya decompression sickness.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Center for Disease Control and Prevention. (2012). Decompression Sickness and Tunnel Workers. [online] Available at: <https://www.cdc.gov/niosh/topics/decompression/default.html> [Accessed 20 January 2021]
Chemistry LibreTexts. (2020). The Bends. [online] Available at: <https://chem.libretexts.org/Bookshelves/Physical_and_Theoretical_Chemistry_Textbook_Maps/Supplemental_Modules_(Physical_and_Theoretical_Chemistry)/Equilibria/Heterogeneous_Equilibria/The_Bends#:~:text=If%20a%20diver%20goes%20deeper,2%20the%20diver's%20bloodstream%20increases> [Accessed 20 January 2021]
Harvard Health Publishing. (2019). Decompression Sickness. [online] Available at: < https://www.health.harvard.edu/a_to_z/decompression-sickness-a-to-z> [Accessed 20 January 2021]
National Oceanic and Atmospheric Administration U.S. (n,d). How Does Pressure Change with Ocean Depth? [online] Available at: <https://oceanservice.noaa.gov/facts/pressure.html> [Accessed 20 January 2021]
Widyastuti, S, dkk. (2019). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Hidup Penyelam Tradisional Penderita Penyakit Dekompresi. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 4 (1). 45-54.