Konten dari Pengguna

Fast Beauty: Antara Patriarki, Kapitalisme, dan Krisis Keberlanjutan

Fatimatuz zahro
Lulusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro
23 September 2024 16:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatimatuz zahro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fast Beauty: Wajah Lain dari Kapitalisme
Sumber:Design by Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber:Design by Canva
Sama halnya dengan fast fashion, fast beauty adalah hasil dari sistem kapitalisme yang terus mendorong produksi massal demi memenuhi dan menciptakan permintaan pasar. Dengan taktik pemasaran yang cerdas, merek-merek kecantikan memanfaatkan siklus tren yang cepat dan tekanan sosial untuk mendorong konsumen agar selalu merasa "membutuhkan" produk-produk baru. Padahal, banyak dari produk ini hanya variasi dari produk sebelumnya, dengan kandungan yang sering kali tidak diperlukan oleh mayoritas konsumen.
ADVERTISEMENT
Sistem kapitalisme menciptakan ilusi bahwa lebih banyak produk akan membawa kebahagiaan, kepercayaan diri, atau status sosial yang lebih tinggi. Dalam industri kecantikan, ini diwujudkan melalui berbagai produk dengan klaim spektakuler seperti “menghilangkan keriput”, “memutihkan kulit”, atau “mencerahkan wajah”. Namun, apakah benar kita memerlukan semua ini? Atau, apakah semua ini adalah hasil manipulasi pasar agar kita terus-menerus membeli?
Pengaruh Patriarki Terhadap Standar Kecantikan
Tidak bisa dipungkiri bahwa standar kecantikan yang ada saat ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki. Dari kulit mulus tanpa cela hingga rambut yang tebal dan panjang, perempuan sering kali dibombardir dengan pesan bahwa penampilan fisik mereka menentukan nilai dan identitas mereka. Merek kecantikan, melalui iklan-iklan yang menyasar insekuritas perempuan, memperkuat standar kecantikan ini. Mereka mempromosikan produk yang dianggap dapat “memperbaiki” kekurangan fisik, membuat perempuan merasa bahwa mereka harus selalu mempercantik diri demi memenuhi ekspektasi sosial yang sebenarnya sangat patriarkal.
ADVERTISEMENT
Industri kecantikan yang didorong oleh patriarki juga menciptakan kebutuhan palsu melalui pemasaran. Banyak produk yang dipromosikan dengan klaim “diperlukan” untuk kesehatan kulit atau penampilan yang lebih baik, padahal sebagian besar hanya memainkan kekhawatiran akan penuaan atau kekurangan fisik. Misalnya, bahan-bahan seperti retinol, hyaluronic acid, dan niacinamide dipasarkan seolah-olah setiap orang harus memilikinya dalam rutinitas kecantikan mereka, padahal kebutuhan setiap kulit berbeda-beda dan tidak semua orang memerlukan produk-produk ini dalam jumlah besar.
Marketing dan Ilusi Kebutuhan
Taktik pemasaran dalam industri fast beauty semakin canggih. Dengan memanfaatkan influencer, media sosial, hingga selebriti, merek-merek kecantikan membuat konsumen percaya bahwa mereka membutuhkan produk-produk tertentu untuk mencapai standar kecantikan ideal. Banyak konsumen, terutama perempuan, merasa tertekan untuk membeli produk-produk terbaru demi mengikuti tren yang terus berubah. Kampanye yang menekankan kata-kata seperti "glowing", "anti-aging", dan "flawless" menciptakan ilusi bahwa kecantikan adalah sesuatu yang harus selalu dikejar dan diupayakan dengan produk-produk mahal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, strategi pemasaran berbasis rasa takut (fear-based marketing) semakin umum digunakan. Contohnya, produk anti-penuaan dipasarkan dengan menekankan dampak negatif dari tidak merawat kulit sejak dini, seperti keriput atau noda hitam. Padahal, penuaan adalah proses alami yang tidak dapat dihindari, dan produk-produk ini tidak selalu memberikan hasil yang sesuai dengan klaim mereka.
Fast Beauty dan Krisis Lingkungan
Fenomena fast beauty tidak hanya menciptakan krisis identitas bagi perempuan, tetapi juga menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan. Setiap tahun, industri kecantikan menghasilkan lebih dari 120 miliar unit kemasan, yang sebagian besar tidak dapat didaur ulang dan akhirnya berakhir di tempat pembuangan sampah atau lautan. Selain itu, produksi besar-besaran untuk memenuhi permintaan konsumen memerlukan sumber daya alam yang sangat banyak, dari bahan baku hingga energi untuk manufaktur.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjang, siklus konsumsi ini tidak hanya menciptakan limbah yang sulit dikelola, tetapi juga memperburuk masalah perubahan iklim. Banyak produk kecantikan mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan laut ketika dibuang sembarangan. Sementara beberapa perusahaan mulai beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan, langkah-langkah ini belum cukup untuk mengatasi skala besar dari masalah yang dihadapi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Untuk menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh fast beauty, penting bagi konsumen untuk lebih kritis terhadap produk yang mereka beli. Apakah kita benar-benar membutuhkan semua produk yang kita beli? Atau, apakah kita hanya terjebak dalam lingkaran kapitalisme dan pemasaran yang membuat kita merasa tidak cukup baik tanpa produk-produk tersebut? Mengadopsi pendekatan minimalis dalam rutinitas kecantikan, memilih merek yang lebih berkelanjutan, serta mendukung perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan adalah beberapa langkah yang dapat kita ambil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting untuk menyadari bahwa kecantikan tidak dapat ditentukan oleh standar yang diciptakan oleh industri. Setiap orang memiliki kecantikan yang unik, dan tidak ada produk yang dapat mendefinisikan nilai diri seseorang.
Fenomena fast beauty mengajarkan kita betapa eratnya kaitan antara patriarki, kapitalisme, dan keberlanjutan dalam industri kecantikan. Sementara kita terus dibombardir dengan produk-produk baru yang menjanjikan perbaikan penampilan, kita harus mulai mempertanyakan apakah semua ini benar-benar diperlukan, atau hanya bagian dari manipulasi pasar yang mengeksploitasi ketakutan dan ketidakpercayaan diri kita. Pada akhirnya, kecantikan sejati datang dari penerimaan diri, bukan dari tumpukan produk yang tak berkesudahan.