Konten dari Pengguna

Ketidakpastian Tarif Ojek Online: Kesejahteraan Mitra dalam Sorotan

Fauzan Arya Daniswara
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya
5 Oktober 2024 11:38 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzan Arya Daniswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi ojol : (sumber : https://www.shutterstock.com/image-photo/yogyakarta-indonesia-may-29-2019-indonesian-1410372593)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi ojol : (sumber : https://www.shutterstock.com/image-photo/yogyakarta-indonesia-may-29-2019-indonesian-1410372593)
ADVERTISEMENT
Ojek online merupakan salah satu bentuk layanan transportasi yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Layanan ini menghubungkan pengemudi (driver) dengan penumpang melalui aplikasi berbasis smartphone. Fenomena ini tidak hanya mempermudah mobilitas masyarakat. Pengguna aplikasi dapat dengan cepat memesan ojek hanya dengan beberapa ketukan di layar ponsel, sementara pengemudi menerima notifikasi dan menuju lokasi penjemputan.
ADVERTISEMENT
Keberadaan ojek online telah mengubah cara orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dikarenakan lebih efisien daripada transportasi tradisional. Dibalik kemudahan yang ditawarkan, terdapat permasalahan terkait aturan komisi kepada mitra pengemudi ojek online, khususnya yang melibatkan aplikator seperti Gojek dan Grab, fenomena ini menjadi isu yang kompleks dan sering kali kontroversial.
Pemerintah mengatur status pengemudi ojek online melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 (PM 12/2019). Hal ini tertuang pada Pasal 15 yang mengatur hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi . Pasal ini menegaskan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi bukanlah hubungan kerja, melainkan kemitraan. Peraturan ini menciptakan ketidakseimbangan kewajiban antara pengemudi dan aplikator.
Aplikator memiliki kekuasaan untuk menentukan tarif layanan. Selain itu aplikator memiliki kontrol penuh terhadap mitra pengemudi, seperti sanksi apabila customer menunjukkan ketidakpuasan (dengan pemberian rating ) terhadap pelayanan pengemudi ojek online. Akibatnya akun pengemudi mengalami pembekuan hingga putus mitra yang berimbas pada performa pendapatan mereka.
ADVERTISEMENT
Prinsip kemitraan yang diterapkan dalam regulasi ini tidak sesuai dengan realitas hubungan kerja antara pengemudi dan perusahaan. Pengemudi tidak memiliki perlindungan layaknya pekerja formal, meskipun mereka bergantung pada aplikasi untuk mencari nafkah. Konsekuensi dari pengaturan ini adalah pengemudi tidak mendapatkan hak-hak dasar yang seharusnya mereka terima, termasuk upah yang layak dan perlindungan asuransi kesehatan.
Peraturan pemerintah yang berlaku menunjukkan adanya kekurangan yang signifikan dalam melindungi kesejahteraan pekerja. Seperti pada Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor, aturan ini menetapkan tarif ojek online berdasarkan biaya jasa dengan tiga kategori sebagai berikut :
ADVERTISEMENT

Zona I (Sumatera, Jawa kecuali Jabodetabek, Bali):

Batas bawah: Rp1.850/km
Batas atas: Rp2.300/km
Biaya minimal: Rp7.000 - Rp10.000

Zona II (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi):

Batas bawah: Rp2.000/km
Batas atas: Rp2.500/km
Biaya minimal: Rp8.000 - Rp10.000

Zona III (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua):

Batas bawah: Rp2.100/km
Batas atas: Rp2.600/km
Biaya minimal: Rp7.000 - Rp10.000
Aturan ini memiliki kelemahan mendasar, yaitu tidak memperhitungkan elemen penting seperti kemungkinan resto tutup dan pembatalan oleh pelanggan. Akibatnya, pengemudi sering kali menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena pendapatan mereka tidak stabil.

UPAYA DEMONSTRASI DILAKUKAN SEBAGAI BENTUK KEKECEWAAN

Gelombang protes dilakukan oleh ribuan pengemudi ojek daring (ojol) dan kurir se-Jabodetabek Kamis (29/8/2024) pukul 12.00 WIB. Demo dilakukan dengan rute Istana Merdeka, kantor Gojek di wilayah Petojo, Jakarta Pusat, dan kantor Grab di Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka menuntut adanya revisi regulasi tarif hingga penghapusan program layanan hemat. Meskipun program tersebut bertujuan untuk menarik lebih banyak pengguna, dampaknya sering kali justru merugikan pengemudi yakni tarif layanan menjadi lebih murah. Massa juga menuntut penurunan potongan tarif 20 persen, serta penghapusan aturan suspensi atau penonaktifan akun . Aturan suspensi tersebut bisa terjadi dikarenakan mitra tidak memakai atribut lengkap yang disebabkan oleh laporan pelanggan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pengemudi juga mengeluhkan fitur orderan ganda (double order) pada layanan pengantaran makanan. Fitur tersebut merugikan mitra pengemudi dikarenakan waktu pengantaran makanan menjadi lama.
Baru-baru ini aplikator juga membuat sistem baru yaitu perencanaan orderan. Mitra diberikan opsi untuk memilih zona orderan sesuai dengan wilayahnya dan dibatasi di jam tertentu. Fitur ini memang memberikan keuntungan seperti kepastian mendapatkan orderan, namun fitur tersebut memiliki kelemahan yaitu adanya tambahan potongan di setiap orderan, dan lagi-lagi aplikator menempatkan customer sebagai prioritas dalam konteks ini. Dengan adanya potongan insentif kepada mitra pengemudi, aplikator lebih mudah memberikan berbagai promo kepada pelanggan.
Satu hal yang sangat krusial adalah tuntutan untuk melegalkan status ojol di Indonesia. Di negara lain, seperti Inggris, status pengemudi ojol sudah diakui sebagai karyawan. Namun, di Indonesia, banyak pengemudi masih berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang layak. hal Ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah harus segera disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Tarif layanan yang adil adalah hal yang mendasar untuk keberlangsungan hidup pengemudi. Ketidakpastian dalam hal tarif hanya akan memperburuk kondisi mereka, yang sudah tertekan oleh persaingan yang ketat dan berbagai tantangan lainnya. Aksi ini tidak hanya sekadar protes, tetapi juga sebuah seruan untuk diakui dan dihargai sebagai mitra yang berkontribusi signifikan dalam ekosistem transportasi dan pengantaran.
ADVERTISEMENT
Hal Ini menjadi perhatian penting bahwa kesejahteraan mitra harus menjadi prioritas, bukan sekadar mengejar profit. Pemerintah sebagai pemangku Kebijakan harus responsif menghadapi fenomena tersebut. perlu adanya pengawasan ketat serta ruang diskusi antara aplikator dan mitra pengemudi guna tercipta keadilan di antara kedua belah pihak.