Konten dari Pengguna

Problem Sertifikat Vaksin

Fauzan Hidayat
Analis Kebijakan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Alumni Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada
25 Februari 2022 19:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzan Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sertifikat vaksin COVID-19. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sertifikat vaksin COVID-19. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sertifikat vaksin palsu kini menjadi pilihan masyarakat yang anti terhadap vaksin. Fenomena anti vaksin ini ternyata telah mendorong munculnya ide untuk membuat sertifikat vaksin palsu tanpa harus disuntik vaksin. Sertifikat itu dijual kepada mereka yang enggan divaksin, tapi ingin bebas keluar masuk ruang publik yang mewajibkan vaksin.
ADVERTISEMENT
Tidak tanggung-tanggung, sertifikat vaksin palsu itu pun bisa terkoneksi dengan aplikasi PeduliLindungi. Artinya, mereka yang memiliki sertifikat ini pun bisa leluasa bepergian dengan pesawat terbang ataupun kereta api tanpa sekalipun pernah divaksin. Mereka juga bisa memasuki mal-mal, kantor-kantor pemerintah dan berbagai tempat yang melarang seseorang masuk tanpa vaksin.

Sertifikat Palsu

Pelaku pemalsu sertifikat vaksin ini melancarkan aksinya dengan memasarkan 'produk' penting ini melalui media sosial facebook. Sebagian besar mereka adalah petugas atau ex-petugas yang memiliki akses pada sistem P-Care BPJS yang terhubung dengan aplikasi PeduliLindungi. Seperti yang terjadi di Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara, Pelaku adalah staf pada bagian Tata Usaha di Kelurahan.
Begitu pula yang terjadi di Bandung, Jawa Barat. Pelaku adalah ex-relawan vaksinasi yang masih memiliki akses ke sistem pembuatan sertifikat. Selain itu, di beberapa wilayah di Sumatera dan Sulawesi juga marak terjadi pemalsuan sertifikat vaksin dengan tarif mulai dari Rp 100-400 rb.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah kerja keras pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat dalam membendung ganasnya pandemi Covid-19, masih saja ada oknum yang berupaya mencari celah untuk mendapatkan keuntungan dari kelemahan sistem yang dibentuk oleh pemerintah.

Menciptakan Herd Immunity

Aplikasi PeduliLindungi merupakan hasil kolaborasi empat Kementerian Negara, yaitu; Kementerian Kominfo, Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Berdasarkan fungsinya, aplikasi PeduliLindungi dibuat untuk mengidentifikasi dan memandu jarak terhadap seseorang yang bergejala (suspek) Covid-19, serta membantu pelaksanaan surveilans mulai dari tracing (penelusuran), tracking (pelacakan), dan fencing (pengurungan) terhadap masyarakat yang terinfeksi Covid-19.
Hal itu dimaksudkan sebagai wujud upaya Pemerintah yang terus menerus mendorong masyarakat agar mendapatkan vaksin dalam rangka menciptakan herd immunity (kekebalan kelompok terhadap virus).
ADVERTISEMENT
Target minimal 70% pelaksanaan vaksinasi lengkap masih terus dilakukan. Dikutip dari situs ourworldindata.org, disebutkan bahwa jumlah orang Indonesia yang telah divaksin mencapai 50,6%. Sebanyak 136 juta orang telah divaksin lengkap dari total dosis yang diberikan 336 juta.
Oleh karenanya, cita-cita-cita mewujudkan herd immunity ini kiranya bukan hanya dari pihak pemerintah, dukungan seluruh masyarakat Indonesia sangat diperlukan utamanya dalam membendung berbagai upaya yang dapat menghambat proses pencapaian herd immunity tersebut seperti halnya praktik ilegal sertifikat vaksin palsu ini.

Pasar yang Besar

Isu sertifikat vaksin palsu ini sangat krusial. Jika dibiarkan, ribuan nyawa terancam oleh mereka yang enggan divaksin tapi memiliki sertifikat bukti telah divaksin. Mereka bebas melancarkan mobilitasnya, sementara apa yang ada pada diri mereka dapat mengancam setiap manusia yang mereka temui.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, target vaksinasi lengkap untuk 208,2 juta warga akan dicapai pada bulan Maret-April 2022 ini. Dengan kata lain, sekitar 70 juta warga masih belum divaksin. Artinya, pasar bagi pelaku sertifikat vaksin palsu sangatlah besar.
Semestinya, dari kasus maraknya sertifikat vaksin palsu ini, pertanyaan yang timbul dan harus segera dijawab adalah:
"Dari total 136 juta orang telah divaksin lengkap, berapa persen yang menggunakan sertifikat vaksin palsu?".
Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul adalah:
"Bagaimana cara agar 70 juta warga yang belum divaksin itu dapat dicegah dari 'serangan' sertifikat vaksin palsu?".
Data aplikasi PeduliLindungi buatan empat kementerian negara ini semestinya sinkron dengan data riil yang ada pada instansi tersebut. Bagaimana bisa data yang ada pada aplikasi PeduliLindungi tidak sama dengan data dosis vaksin Kemenkes yang telah disuntikkan kepada warga?
ADVERTISEMENT

Akar Masalah dan Solusi

Ada hal yang timpang pada sistem informasi ini. Jika kita membuka aplikasi PeduliLindungi tidak ada fitur yang menampilkan data perkembangan vaksinasi. Sementara data pada laman covid19.go.id milik Satgas Penanganan Covid-19, data perkembangan vaksinasi cukup lengkap. Ini lah akar masalahnya.
Bayangkan jika masing-masing sistem informasi tersebut sinkron dan selalu dievaluasi perkembangan riilnya di lapangan khususnya pendataan progres vaksinasi, tentu saja tidak ada celah lagi bagi para ex-petugas ataupun ex-relawan atau siapa pun untuk melancarkan aksinya membuat sertifikat vaksin palsu.
Rasa-rasanya, tidak cukup sulit bagi sebuah lembaga sekaliber Kementerian Kominfo untuk melakukan sinkronisasi data dalam waktu singkat. Tidak pula menyulitkan bagi institusi Kementerian Kesehatan untuk memastikan perkembangan jumlah dosis vaksin yang diberikan kepada warga dilaporkan dengan riil setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Begitu pula Kementerian BUMN yang tak mungkin kewalahan menambah satu fitur baru berupa data perkembangan vaksinasi yang senantiasa disinkronkan dengan data Satgas Penanganan Covid-19 yang berada di bawah pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Ingat, masalah sertifikat vaksin palsu ini adalah sangat krusial. Bukan persoalan pemalsuan data saja, yang lebih penting untuk diwaspadai adalah bahwa isu ini berdampak pada ancaman nyawa jutaan masyarakat Indonesia.