Naiknya Harga Beras, Timpangnya Adaptasi, dan Mitigasi Perubahan Iklim

Fauzi Salam
Peduli isu kemanusiaan dan keadilan iklim. Saat ini sedang menjalani studi di Geografi, UGM.
Konten dari Pengguna
20 Maret 2024 16:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzi Salam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi beras Jepang Foto: dok.shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi beras Jepang Foto: dok.shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perubahan cuaca di Indonesia makin terasa. Cuaca tidak menentu juga menghambat aktivitas sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Cuaca ekstrem di beberapa daerah lebih sering terjadi. Banjir di Demak akibat curah hujan yang tinggi. Di daerah lain, empat kecamatan di Sumbar juga mengalami hal yang sama. Akibatnya, beberapa lahan petani mengalami gagal panen.
Lahan yang mengalami gagal panen akan berdampak terhadap ekonomi petani dan ketahanan pangan di Indonesia. Salah komoditas pangan yang terkena dampak adalah beras.
Namun, di tengah cuaca ekstrem yang sedang melanda, malah harga beras mengalami kenaikan tertinggi dalam sejarah. Padahal, permintaan komoditas beras sangat tinggi di Indonesia, bahkan menurut Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), sebanyak 98,35 persen penduduk Indonesia mengonsumsi beras.

Lantas, Mengapa Terjadi Kenaikan?

Tidak Seimbangnya Produksi dan Konsumsi

Perlu diakui bahwa ketahanan pangan di Indonesia masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi masyarakatnya yang berjumlah lebih dari 260 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari kompas.id, konsumsi beras dari tahun 2018-2022 cukup fluktuatif. Pada tahun 2018, konsumsi per kapita setiap satu tahun adalah sebanyak 80,641 kg, yang kemudian mengalami penurunan menjadi 78,429 kg pada tahun 2019.
Lebih lanjut, pada tahun 2020, jumlah konsumsi per kapita dalam satu tahun kembali naik menjadi 78,487 kg, dan meningkat lagi menjadi 81,518 kg pada tahun 2021. Pada tahun 2022, konsumsi mengalami kenaikan sebesar 115,09 kg per kapita per tahun.
Artinya, konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi dengan rata-rata konsumsi 86,833 kg per kapita per tahun 2018-2022. Hal ini juga diiringi bertambahnya jumlah penduduk.
Akan tetapi, jumlah produksi beras selama 6 tahun terakhir mengalami penurunan. Melalui data dari BPS, pada tahun 2018, jumlah produksi mencapai 59,20 juta ton dengan luas total lahan panen 11,38 juta hektare.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah grafik penurunan produksi beras selama 6 tahun terakhir:
Data Penurunan Produksi Beras 5 Tahun Terakhir | Sumber: BPS yang telah diolah oleh penulis
Data Penurunan Luas Lahan Panen Padi 5 Tahun Terakhir | Sumber: BPS yang diolah penulis

El-Nino dan Perubahan Iklim

El-Nino merupakan faktor yang krusial dari penurunan jumlah produksi beras. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya El-Nino.
El-Nino, secara sederhana, adalah periode naiknya suhu air muka laut di samudera pasifik, sedangkan La-Nina adalah periode menurunnya suhu air muka laut. Fenomena ini dapat mempengaruhi curah hujan di suatu wilayah, bahkan kekeringan ekstrem.
Banyak riset yang telah membahas hubungan antara produksi padi dan fenomena El Nino. Contohnya adalah seperti di India yang mengalami kekeringan di saat terjadinya El-Nino (Lal & Singh, 2023).
Senada dengan itu, Indonesia juga mengalami anomali El-Nino (Yuniasi, dkk., 2023). Hal tersebut dapat diartikan sebagai pergeseran suatu pola curah hujan, perubahan temperature, dan jumlah curah hujan pada tahun 2013-2022. Hal itu dapat mempengaruhi produktivitas padi.
ADVERTISEMENT

Upaya Mitigatif Harga Beras dari Pemerintah

Penduduk konsumsi tinggi, produksi menurun, dan perubahan iklim mengakibatkan pemerintah turun tangan dalam mengatasi mitigasi dampak dari perubahan iklim. Upaya pemerintah adalah memberi bantuan sosial dan impor beras.
Awal tahun 2023 lalu, dilansir dari laman resmi BPN (Badan Pangan Nasional), pemerintah telah menjalankan program bantuan pangan beras dalam 2 tahapan. Hal tersebut akan berlanjut hingga bulan Juni 2024.
Kesiapan pemerintah, sejak tahun 2023 lalu, telah mengimpor beras untuk kesiapan menghadapi El Nino. Hingga sekarang, 2024, kuota impor beras akan lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian bantuan sosial adalah langkah strategis untuk jangka pendek. Tetapi, yang jelas, kita tidak bisa memberhentikan perubahan iklim dalam waktu cepat juga. Salah satu yang diabaikan dari pemerintah, yaitu adaptasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT

Anggaran Adaptasi Iklim yang Timpang

Timpang Anggaran Pemerintah Upaya Mitigasi Iklim | Sumber: Penulis
Padahal, upaya adaptasi perubahan iklim juga diperlukan, bahkan sama pentingnya. Dilansir dari Kemenkeu, anggaran pemerintah tahun 2016-2020 untuk adaptasi perubahan iklim hanya menetapkan 26% yang dibandingkan 74% untuk upaya mitigasi.
Ini mengindikasikan bahwa pemerintah terlalu abai terhadap adaptasi perubahan iklim. Dampak yang dirasakan kemungkinan besar akan jauh berkurang jika anggaran adaptasi disiapkan lebih besar, bahkan termasuk menekan harga beras.
Menurut Peter R. Brown yang dilansir dari theconversation.com, produktivitas petani terhadap perubahan cuaca sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk luas lahan, pengalaman bertani, fasilitas infrastruktur, dan ketersediaan sumber daya. Angga Dwiartama, Ahli Manajemen Sumber Daya Hayati ITB, memaparkan bahwa peran pemerintah seharusnya berada di situ.
ADVERTISEMENT
Pemerintah di sini mengabaikan peran penting adaptasi perubahan iklim. Maka dari itu, diperlukannya keseimbangan antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Apalagi, jika bicara anggaran, merupakan salah satu faktor utama dalam berjalannya suatu kebijakan.