Konten dari Pengguna

Budaya Omotenashi: Rahasia Pelayanan no. 1 dari Jepang

Febriana Keila
Saya adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Jepang di Universitas Airlangga
10 Oktober 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Febriana Keila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Foto asli dari penulis) Contoh Omotenashi: Makanan dipersiapkan dengan teliti, mencerminkan perhatian terhadap detail dan estetika yang termasuk dalam bentuk pelayanan tanpa pamrih.
zoom-in-whitePerbesar
(Foto asli dari penulis) Contoh Omotenashi: Makanan dipersiapkan dengan teliti, mencerminkan perhatian terhadap detail dan estetika yang termasuk dalam bentuk pelayanan tanpa pamrih.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia yang terkenal dengan wisatanya baik dari wisata alam, penginapan, dan wisata dalam kota yang membuat kebanyakan orang selalu ingin kembali ke Jepang. Banyak orang yang mengatakan bahwa, “Jepang tinggal di masa depan” karena inovasi dan kemajuan dari negara tersebut. Tapi, selain wisata Jepang yang mengagumkan, apakah kalian pernah memikirkan hal lain yang membuat orang selalu ingin kembali ke Jepang? Salah satu alasan orang selalu ingin kembali ke Jepang untuk berlibur adalah budaya omotenashi. Apakah kalian pernah mendengar istilah omotenashi? Walau tidak sepopuler kata arigatou dan konnichiwa, ada baiknya kita juga mengenal kebudayaan Jepang yang lain yaitu omotenashi. Sebelum mengetahui lebih dalam mengenai omotenashi, sebaiknya kita mengetahui arti dan asal-usul dari istilah omotenashi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Omotenashi berasal dari kata motenashi yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hospitaliti atau keramahtamahan. Sedangkan O-menunjukkan penghormatan atau bentuk sopan dalam bahasa Jepang sehingga menjadi omotenashi. Pada dasarnya, omotenashi adalah pelayanan. Namun, bagi orang Jepang, omotenashi bukan hanya sekedar melayani tamu melainkan lebih dari itu. Orang Jepang menganggap bahwa omotenashi adalah sikap, perilaku, dan tata krama dalam menyambut dan melayani tamu dengan tulus sepenuh hati dan tidak mengharapkan imbalan. Di Jepang, segala bentuk pelayanan yang kalian terima ketika berwisata tidak dikenakan biaya tambahan karena itu merupakan bentuk dari omotenashi. Omotenashi didasarkan pada etika dalam bentuk penerimaan yang tulus dan mencerminkan budaya serta tradisi Jepang.
Omotenashi atau keramahtamahan di Jepang ini tidak terbentuk begitu saja. Budaya ini lahir dan terbentuk seiring dengan perkembangan Jepang dari masa ke masa. Beberapa ahli budaya menyatakan bahwa budaya omotenashi atau keramahtaman di Jepang lahir dari tradisi sadou atau chanoyu. Chanoyu atau yang juga dikenal sebagai sadou adalah sebutan untuk upacara minum teh di Jepang. Mungkin kalian bertanya-tanya, bagaimana mungkin omotenashi atau keramahtamahan bisa lahir dari chanoyu atau upacara minum teh?
ADVERTISEMENT
Sekitar abad ke-7, teh pertama kali masuk ke Jepang melalui orang-orang dan pedagang dari China. Pada masa itu, teh hanya digunakan sebagai obat. Namun, seiring berjalannya waktu yaitu sekitar abad ke-12, meminum teh menjadi bagian dari kebudayaan. Yousai Zenji, seorang pendeta Buddha dikatakan pernah belajar cara menanam dan bagaimana orang menikmati teh di China. Setelah kembali ke Jepang, teh mulai dinikmati di kuil-kuil Jepang. Para samurai yang waktu itu melihat kegiatan meminum teh pun mulai memikirkan bahwa teh dapat disajikan kepada tamu-tamu kehormatan. Para bangsawan Kyoto pada masa itu pun mulai menciptakan permainan yang disebut tocha atau permainan menebak jenama teh dari rasa dan aromanya.
Pada masa itu, para bangsawan memang cenderung menikmati dan mengapresiasi seni. Mereka juga tidak segan-segan untuk mengadakan pesta dengan dekorasi mahal dan antik dari China agar dapat merasakan bagaimana suasana minum teh di China. Tokoh yang sangat berpengaruh terhadap budaya minum teh ini adalah Sen Rikyu yang merupakan ahli teh yang membuat acara minum teh sebagai upacara dengan seni tingkat tinggi yang disebut dengan wabicha. Bahkan setelah sepeninggalan Sen Rikyu, para pengikutnya tetap mengajarkan wabicha ke generasi selanjutnya. Hingga pada pertengahan abad ke-17, upacara minum teh mulai dikenal oleh masyarakat luas. Upacara minum teh mulai diajarkan di sekolah hingga di rumah. Dan pada abad ke-19, upacara minum teh dijadikan sarana untuk memberikan pelajaran tata krama bagi perempuan di Jepang.
ADVERTISEMENT
Tujuan dan inti dari budaya omotenashi adalah untuk menghargai orang lain. Wujud budaya omotenashi yang lahir dari chanoyu dapat dilihat dari sikap orang Jepang yang menghargai waktu dan mengutamakan pelayanan yang maksimal. Banyak contoh dari omotenashi yang dapat kita lihat di Jepang. Seperti toko oleh-oleh yang menyediakan kertas kado dan jasa membungkus secara gratis sehingga pelanggan tidak perlu repot untuk membungkusnya sendiri. Kemudian, jasa menyampul buku dari toko buku ketika kita membeli buku sehingga membuat kita tidak perlu menyampulnya sendiri. Hal ini adalah bukti bahwa orang Jepang sangat menghargai waktu sehingga mereka menganggap bahwa waktu orang lain juga sama berharganya.
Banyak restoran Jepang yang juga menyediakan keperluan dan alat makan untuk anak-anak. Ada juga yang memberikan tanda dan penjelasan dalam menu mengenai bahan yang dapat memicu alergi agar pelanggan dengan alergi bisa mengetahui dan memilih menu yang lain. Dan beberapa restoran di Jepang juga membuat restoran mereka bersertifikasi halal untuk para pelanggan muslim walaupun mayoritas penduduk Jepang bukan beragama Islam. Di ryokan atau penginapan tradisional Jepang, pemilik penginapan biasanya akan berkeliling dari kamar ke kamar untuk menanyakan keperluan tamu mereka. Di hotel, setiap kamar menyediakan bantal dengan jumlah yang banyak dengan berbagai ukuran dan jenis seperti bantal yang dibuat dengan bahan sekam soba, karet, atau dakron. Walaupun bentuk omotenashi di ryokan dan hotel cenderung berbeda, tapi tujuannya sama yaitu melayani tamu tanpa pamrih.
ADVERTISEMENT
Selain contoh-contoh yang disebutkan diatas, orang Jepang juga sangat memperhatikan setiap hal kecil dari setiap barang atau produk yang akan digunakan oleh tamu. Seperti meja-meja persegi dengan sudut tajam akan ditutup atau dibungkus dengan kain atau bantalan lunak lainnya agar tamu tidak terluka semisal mengenai sudut meja tersebut. Di pusat perbelanjaan, ada pegawai khusus yang mengantarkan pengunjung untuk menggunakan lift dan memberikan informasi mengenai setiap lantai yang ada di pusat perbelanjaan tersebut. Misalnya pengunjung mencari sepatu atau baju, pegawai khusus tersebut akan menginformasikan bahwa sepatu atau baju yang mereka cari ada di lantai tertentu. Jepang juga terus mengembangkan fasilitas untuk orang disabilitas atau berkebutuhan khusus seperti mengembangkan barang-barang khusus untuk orang kidal.
ADVERTISEMENT
Omotenashi merupakan salah satu contoh budaya bagaimana orang Jepang berusaha untuk selalu menciptakan keharmonisan dalam hubungan antar manusia dan kehidupan bermasyarakat. Omotenashi berbeda dengan keramahtamahan atau pelayanan yang umumnya ditawarkan di negara-negara Barat. Di Barat, setiap pelayanan sekecil menulis menu pesanan dan mengantar pesanan ke meja makan pun biasanya tamu harus memberikan tips beberapa persen dari total menu yang dipesan. Ketika konteks budaya tradisional Jepang yang unik dibagikan antara tuan rumah dan tamu, omotenashi dapat dikenali. Di Indonesia mungkin juga banyak restoran, penginapan, ataupun inovasi-inovasi yang tanpa kita sadari mengandung unsur omotenashi meskipun belum ada istilah pasti seperti omotenashi di Jepang. Walaupun produk barang dan jasa yang ditawarkan di Indonesia tidak sama seperti konsep omotenashi di Jepang, penulis berharap bahwa Indonesia juga dapat mengadopsi budaya omotenashi ini di masa depan.
ADVERTISEMENT