Konten dari Pengguna

Digitalisasi UMKM: Mimpi Indah atau Realita Pahit?

febry kurniawan
Mahasiswa D4 Akuntansi Perpajakan di Universitas Pamulang
10 Mei 2025 11:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari febry kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Generated by AI using OpenAI's DALL·E based on editorial input.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Generated by AI using OpenAI's DALL·E based on editorial input.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, kita dijejali dengan narasi indah soal digitalisasi UMKM. Pemerintah, media, dan perusahaan teknologi kompak menyuarakan bahwa transformasi digital adalah kunci kemajuan usaha kecil dan menengah. Digitalisasi disebut-sebut sebagai jembatan menuju kesejahteraan ekonomi, cara untuk “naik kelas” dan masuk ke pasar global.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika euforia ini dibenturkan dengan kenyataan di lapangan, banyak pelaku UMKM yang justru merasa gamang. Teknologi yang diharapkan bisa memudahkan, justru sering membingungkan. Pelatihan yang menjanjikan kemajuan, justru berakhir sebagai formalitas. Maka muncul pertanyaan besar: benarkah digitalisasi UMKM membawa harapan, atau hanya mimpi indah yang tak pernah benar-benar nyata?
Narasi yang Terlalu Manis
Sejak pandemi COVID-19 merebak, digitalisasi menjadi kata kunci utama dalam strategi pemulihan ekonomi. UMKM yang mampu menjual secara daring dianggap lebih tahan banting, karena tidak tergantung pada lalu lintas konsumen fisik. Pemerintah meluncurkan berbagai program, dari pelatihan literasi digital, insentif bagi toko online, hingga kampanye besar-besaran seperti “Bangga Buatan Indonesia”.
Sekilas, tampak ada semangat nasional yang positif. Bahkan, data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan pertumbuhan signifikan jumlah UMKM yang mulai go digital—dari sekitar 13% sebelum pandemi menjadi lebih dari 20% pada 2023. Tapi angka tersebut menyisakan pertanyaan lanjutan: seberapa banyak dari mereka yang benar-benar berdaya secara digital, dan bukan hanya formalitas registrasi akun?
ADVERTISEMENT
Kenyataan yang Tak Semanis Poster
Di balik angka yang membanggakan itu, banyak pelaku UMKM yang mengaku kesulitan menjalani proses digitalisasi. Misalnya, Sari—seorang produsen keripik pisang dari Lampung—mengikuti pelatihan marketplace yang diselenggarakan dinas koperasi daerahnya. Ia sempat membuat akun di dua marketplace besar, tapi hanya bertahan beberapa minggu. Alasannya? Ia kewalahan mengelola pesanan, bingung dengan sistem pengiriman, dan tak tahu cara meningkatkan visibilitas produk. Akhirnya, ia kembali berjualan lewat WhatsApp dan menitip di toko kelontong sekitar rumahnya.
Kisah Sari bukanlah pengecualian, melainkan cermin dari realita umum. Banyak pelaku UMKM yang tidak memiliki perangkat yang memadai, tidak akrab dengan konsep seperti algoritma, SEO produk, atau strategi digital marketing. Bahkan untuk sekadar membuat desain produk yang menarik pun, mereka perlu bantuan orang lain.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi memang menjanjikan efisiensi dan perluasan pasar, tetapi tanpa fasilitas, pengetahuan, dan dukungan, itu semua hanya ilusi. Dalam dunia digital yang kompetitif, hanya mereka yang paham cara bermain yang bisa bertahan.
Marketplace: Peluang atau Perang Tak Seimbang?
Bergabung di marketplace besar memang memberi UMKM akses langsung ke pasar yang luas. Tapi di sisi lain, algoritma platform cenderung mengutamakan penjual dengan ulasan terbanyak, stok besar, dan diskon besar-besaran—yang notabene hanya bisa dijalankan oleh pemain bermodal besar.
UMKM yang baru masuk biasanya tersingkir di barisan belakang. Produk mereka tidak muncul di halaman depan pencarian. Kalaupun muncul, seringkali kalah bersaing dari sisi harga dan promosi. Akibatnya, banyak pelaku UMKM merasa frustrasi. Mereka sudah lelah belajar dan mencoba, tapi tetap tak terlihat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, ketimpangan digital menjadi isu penting. Digitalisasi seharusnya menjadi alat pemerataan, bukan justru memperlebar jurang antara yang besar dan kecil.
Tantangan Ganda: Infrastruktur dan Literasi
Masalah digitalisasi UMKM bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kesenjangan struktural. Banyak pelaku usaha di daerah masih terkendala internet lambat, jaringan tidak stabil, bahkan belum terjangkau sinyal 4G. Ketika koneksi terputus-putus, bagaimana mungkin mereka bisa mengelola toko daring atau menjawab pesan pelanggan tepat waktu?
Selain itu, tantangan literasi digital masih sangat besar. Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sering terlalu singkat, teoritis, dan tidak kontekstual. UMKM bukan hanya butuh pelatihan satu arah, tapi pendampingan yang membimbing mereka secara perlahan dan personal.
Bayangkan mengajari seorang penjual sayur yang baru belajar mengetik untuk mengelola toko online—itu bukan tugas yang bisa selesai dalam dua sesi webinar. Dibutuhkan pendekatan inklusif dan sabar, bukan sekadar mengejar angka pencapaian program.
ADVERTISEMENT
Peran Pemerintah dan Swasta: Jangan Hanya Branding
Pemerintah dan swasta sebenarnya sudah menunjukkan inisiatif yang patut diapresiasi. Namun sayangnya, sebagian besar masih bersifat parsial dan berbasis proyek jangka pendek. Banyak program pelatihan yang berakhir setelah foto bersama dan publikasi media. Setelah itu, UMKM dibiarkan berjalan sendiri.
Ke depan, kita butuh kebijakan yang lebih strategis dan berkelanjutan. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil antara lain:
Membangun pusat pendampingan digital di setiap kabupaten/kota, dengan mentor tetap dan akses internet gratis.
Menyediakan insentif bagi platform digital yang secara aktif memberdayakan UMKM kecil dan baru.
Mengintegrasikan pelatihan dengan kebutuhan riil, seperti cara memotret produk pakai HP, menulis caption yang menarik, hingga cara packing yang efisien.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, pemerintah juga bisa menggandeng perguruan tinggi dan komunitas lokal untuk mendampingi UMKM secara langsung. Mahasiswa bisa dilibatkan sebagai mentor lapangan—mereka belajar praktik, UMKM mendapatkan pendampingan. Ini kolaborasi yang saling menguntungkan.
Menyentuh Masalah Sosial: Perempuan, Disabilitas, dan Pelaku Rentan
Kita juga tak boleh lupa bahwa banyak pelaku UMKM berasal dari kelompok rentan—seperti perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, atau warga di daerah terpencil. Digitalisasi bisa menjadi jalan bagi mereka untuk mandiri dan berkembang. Tapi itu hanya mungkin jika kita menciptakan sistem yang inklusif.
UMKM perempuan misalnya, sering menghadapi tantangan ganda: harus mengurus rumah tangga dan menjalankan usaha. Mereka perlu platform dan pelatihan yang fleksibel, bisa diakses dari rumah, dan tidak menyita waktu terlalu lama.
ADVERTISEMENT
Sementara penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan produksi, juga perlu akses terhadap tools digital yang ramah disabilitas. Inilah bentuk keadilan digital yang sering terlupakan dalam narasi besar transformasi ekonomi.
Membangun Jalan, Bukan Menjual Mimpi
Digitalisasi UMKM memang bisa menjadi solusi jangka panjang. Tapi ia bukan pil ajaib. Ia membutuhkan ekosistem yang kondusif, dukungan yang nyata, dan kesabaran dalam proses. Tidak semua pelaku UMKM bisa langsung naik kelas dalam sebulan. Tapi jika mereka dibimbing dengan sungguh-sungguh, mereka akan berkembang secara berkelanjutan.
Sudah saatnya kita berhenti menjual mimpi lewat narasi manis. Saatnya membangun jalan yang nyata, agar UMKM bisa benar-benar sampai ke tujuan yang mereka impikan. Karena UMKM bukan sekadar objek statistik dalam laporan pembangunan—mereka adalah manusia-manusia tangguh yang layak mendapatkan dukungan konkret, bukan sekadar seminar motivasi.
ADVERTISEMENT
Febry Kurniawan, Mahasiswa Akuntansi Perpajakan UNPAM.