Menghayati Kalbu di Hari Ibu

Felicia Salvina
Seorang mahasiswa S1 jurusan Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara.
Konten dari Pengguna
30 November 2021 19:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Felicia Salvina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustarsi dari pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustarsi dari pixabay.com
ADVERTISEMENT
Di tengah macetnya jalan dan pesatnya peradaban, saya terjebak dalam perenungan arah tujuan. Pikiran saya berkelana menuju impian-impian kemanusiaan dan merefleksikan bayangan kejatuhan. Keabstrakan inilah yang membawa saya pada percakapan dengan objek tulisan hari ini, yakni ibu saya.
ADVERTISEMENT
“Mami, sebelum nikah, cita-cita aslinya mami apa?” tanya saya pada suatu sore yang mendung. “Jadi graphic designer lah. Aku kan nggak salah sekolah,” katanya. Mendengar impian futuristik nan unik untuk perempuan seusianya, saya pun melontarkan beberapa pertanyaan susulan.
Pada percakapan kami, ibu saya mengisahkan bagaimana ia tidak dibesarkan untuk menjadi seorang pemimpi. Tidak pula ia didorong untuk menjadi versi terbaiknya oleh sang keluarga. Di masa mudanya, ia tidak dibimbing untuk mengambil kesempatan yang berguna sebagai batu loncatan kejayaan di kemudian hari. Ia juga berceritera tentang asa di masa muda dan bagaimana idealismenya termakan realitas.
Di saat belia, beliau ingin membina keluarga muda dan memulai karir dari titik nol. Dengan begitu, upaya yang dilakukannya adalah bekerja di ibu kota, episentrum modernitas. Intensi dari ikhtiar ini terletak pada kemajuan keterampilan dan kemerdekaan finansial. Namun, ia berjumpa dengan takdir yang berbeda. Lesie muda menerima lamaran seorang berharta asal Surabaya dan memutuskan untuk membangun rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, ia berangan untuk bekerja dengan peluang homogen bak di Jakarta. Namun, kenyataan gagal merealisasikan impiannya. Peluang mikro di depan mata tidak mampu menampung kecerdasannya. Alhasil, ia banting setir dan menempuh jalan lain dengan menetap sebagai pengajar perguruan tinggi. “Sebelumnya, papi ada wacana untuk mbuka advertising untuk aku,” tuturnya. Pernyataan tersebut merupakan hal asing bagi saya. Maka dari itu, saya bertanya alasan ia tidak menerima. Ia menjelaskan bahwa ia tidak kenal dengan arahan untuk mengambil risiko atau menyortir kesempatan emas oleh familinya. Dengan demikian, ia menolak.
Di tengah redupnya cahaya impian, beliau juga disuguhkan berbagai selentingan yang tidak mendukung karirnya. Celotehan ini ada berkat kemapanan yang bisa dinikmatinya tanpa perlu banting tulang. “Gajimu jadi dosen lo cuman bisa buat berapa kali makan di restoran,” cakap ibu saya saat menirukan omongan mertua sembari memorinya bersirkulasi. Saat mendongeng di hadapan saya, ia tidak geram maupun dendam. Ia mengatakan bahwa ujaran itu realistis. Mulai saat itu, ia bukan lagi seorang ibu rumah tangga paruh waktu.
ADVERTISEMENT
Mendengar hal di atas, saya memberi umpan balik sambil mempertanyakan amatan terkait langkah pengubah hidupnya. Ia menganalogikan dirinya sebagai burung di dalam sangkar emas. Pribadi terawat yang berbalut kemewahan tanpa lagi dibuka matanya akan kerasnya kehidupan. Saat mengarahkan perbincangan kami pada kompleksitas emosi yang menyelimuti benaknya, saya masih ingat betul bagaimana ibu saya merespons dengan sorot mata terbelalak bergairah. Di saat yang sama, matanya mewadahi genangan air yang nongol tanpa kontrol.
Saya melihat gelora muda yang membara seraya mengartikulasikan kisahnya. Untuk memvalidasi diri, ia menegaskan, “Ya sedih lah tidak berjalan sesuai ekspektasi, tapi ngapain aku cari masalah dengan bertengkar setiap hari padahal banyak orang di luar sana ingin ada di posisiku?” “Lebih banyak orang yang mau jadi IRT daripada wanita karier,” sambungnya. Saat melontarkan pernyataan tersebut, Lesie yang bukan lagi juvenil teringat akan hikmah dibesarkan dari famili yang tidak memaksakan idealisme pribadi.
ADVERTISEMENT
Kisah dengan serentetan lika-liku yang ambigu telah menuntunnya sebagai Ibu. Walaupun bibit asa terkubur dan air mata bercucur, darmanya sebagai Ibu menyubur. Ia merangkai para putrinya hingga berbudi dengan jeli. Bahkan, ia menyampaikan bahwa ketakutan terbesarnya terletak pada ketidakmampuannya dalam memberi kehidupan dan pendidikan bermutu bagi para buah hati.
Tibalah kami pada tahap akhir perbincangan. Ibu saya mengekspresikan kekagumannya pada para wanita karier yang berhasil di luar dan di dalam rumah. Hal ini ia utarakan tatkala mengetahui bahwa sensibilitas wanita memegang peranan esensial di dalam rumah. Ia menyarankan bahwa artikel yang seharusnya saya angkat adalah tentang wanita karier kuat yang masih dibebani seluk-beluk rumah tangga.
Namun, terlepas dari terputusnya hidup ibu saya dari aspirasi awalnya, keikhlasan beliau patut ditulis sebagai catatan teladan. Dalam perjalanannya sebagai seorang ibu, ia memusatkan tujuan hidupnya untuk sang anak. Tulisan ini tidak berambisi untuk memvalidasi pengorbanan mimpi atau mengglorifikasi jalan hidup ibu saya. Tidak juga untuk menyalahkan didikan famili maupun berintensi mendewakan keagungan kaum puan. Namun, kisah ibu saya mengindahkan pentingnya mengikhlaskan dan memaknai ketidaksempurnaan.
ADVERTISEMENT
Mengetahui bahwa pribadi cendekia ini telah menetapkan saya sebagai lokomotif hidupnya, saya tergerak untuk mempersilakan Anda merenungkan tujuan dan impian, sebab eksistensi Anda barangkali sama dengan saya, yaitu tujuan ibu Anda menanam harapan.
Selamat berproses memaknai yang terbengkalai,
Selamat Hari Ibu Nasional kepada para pembelai!