Konten dari Pengguna

Mampukah Tren #WomenInMaleFields Mengubah Pandangan tentang Kesetaraan Gender?

Feni Suci Diah Permatasari
Mahasiswi sastra inggris uin jakarta
2 Desember 2024 11:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Feni Suci Diah Permatasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: Ilustrasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: Ilustrasi Pribadi
ADVERTISEMENT
TikTok telah menjadi platform penting bagi Generasi Z untuk mengekspresikan identitas, opini, dan kritik sosial melalui konten kreatif. Salah satu tren yang menarik perhatian adalah penggunaan humor satire oleh perempuan Gen Z untuk mengkritik norma gender yang tidak adil, terutama melalui tagar seperti #WomenInMaleFields. Tagar ini dipopulerkan oleh perempuan Gen Z yang menggunakan video singkat dengan humor satire untuk menyoroti ketidakadilan gender. Berbekal lagu-lagu ikonik seperti Anaconda dari Nicki Minaj, mereka mengangkat isu-isu yang selama ini sulit dibicarakan secara serius. Dalam format yang ringan dan mudah diterima, tren ini mencerminkan frustasi perempuan terhadap ekspektasi sosial yang tidak adil, sekaligus menjadi ruang untuk berbagi pengalaman dan menemukan solidaritas. Tren ini menggambarkan bagaimana humor menjadi alat untuk menciptakan koneksi, solidaritas, sekaligus bentuk perlawanan terhadap bias sosial. Generasi Z, TikTok, dan Humor: Membalikkan Norma Gender dengan Satir
ADVERTISEMENT
Menurut Husna dan Mairita (2024) Gen Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara tahun 1996 hingga 2010, sering disebut sebagai generasi digital natives karena internet telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Diperkirakan pada tahun 2025, populasi Gen Z akan mencakup seperempat dari wilayah Asia-Pasifik. (McKinsey, 2023 dikutip melalui Husna & Mairita 2024).
Tidak hanya sebagai sarana hiburan, media sosial juga dimanfaatkan oleh Gen Z untuk menciptakan dunia mereka sendiri. Salah satu caranya adalah melalui konten satir di TikTok. Tren seperti #WomenInMaleFields menjadi bukti bagaimana humor digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik terhadap norma sosial dan gender. Judith Butler (1999) dalam bukunya menjelaskan bahwa representasi perempuan sering kali menjadi bagian dari norma bahasa yang, baik sengaja maupun tidak, memperkuat kategori sosial yang dianggap "benar" tentang perempuan. Butler juga menyatakan bahwa gender tidak selalu konsisten atau koheren dalam berbagai konteks sejarah. Sebaliknya, gender bersifat performatif, di mana identitas gender terbentuk melalui tindakan yang berulang dan dikonstruksi oleh norma sosial. Dalam konteks TikTok, tindakan satir Gen Z memperlihatkan bagaimana stereotip gender menjadi absurd ketika dilihat secara kritis. Dengan "memerankan" ekspektasi gender secara terbalik, mereka menunjukkan bagaimana norma tersebut membatasi dan tidak adil. Bagaimana Tagar #WomenInMaleFields Menjadikan Humor sebagai Kritik Sosial di TikTok
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini tagar #WomenInMaleFields memenuhi trend Sosial Media TikTok, Generasi Z terutama perempuan awalnya menggunakan tagar ini sebagai bentuk satire atau sindiran mengenai sikap atau perlakuan laki-laki terhadap perempuan. Dalam video-video tersebut mereka menunjukan satir seperti "When a man tells me his PhD application was rejected and i hit him with "It's okay, at your age you should focus on making a family anyway" Sindiran ini, meskipun dikemas dalam bentuk humor, sebenarnya menggambarkan kritik terhadap ekspektasi sosial yang masih sering mengatur peran gender. Dalam video tersebut, meskipun ekspresi yang ditunjukkan terlihat ringan dan lucu, terdapat pesan yang mengungkapkan bagaimana masyarakat masih sering menilai pilihan hidup seseorang berdasarkan jenis kelamin mereka. Lebih khusus lagi, video ini menyindir pandangan yang kerap dilekatkan pada perempuan yang dianggap harus lebih fokus pada aspek kehidupan pribadi, seperti berkeluarga, daripada mengejar ambisi atau pendidikan. Sementara itu, laki-laki diharapkan untuk tetap berambisi secara profesional tanpa dipertanyakan. Dalam konteks ini, satir menjadi alat yang sangat efektif bagi Gen Z untuk memotret kenyataan sosial yang tidak adil bagi perempuan. Sejak tren ini mulai berkembang, perempuan secara kolektif mulai berbagi pengalaman mereka juga mengenai perilaku hubungan toksik yang mereka alami saat berkencan dengan pria, lalu dengan sindiran menanyakan, "Apa yang akan terjadi jika saya menjadi laki-laki dan bersikap seperti itu?" Semua ini disampaikan dengan satir atau humor menyindir. Dalam video lain di TikTok yang diunggah oleh Leah dengan tagar #WomeninMaleFields, ia menggunakan humor untuk membalikkan stereotip gender dengan memposisikan dirinya sebagai seorang pria, "Is it that time of the month?" ketika ia kehilangan kesabaran. Pernyataan ini merupakan ironi yang memparodikan bias gender di mana perempuan sering kali dianggap emosional terutama terkait siklus menstruasi mereka. Di platform seperti TikTok, tren ini menggambarkan bagaimana perempuan menggunakan humor untuk mengkritik ketidakadilan saat menjalin hubungan dengan laki-laki atau dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengungkapkan berbagai perilaku merugikan yang sering kali dianggap "normal" atau "biasa" ketika dilakukan oleh pria, sementara jika perempuan bertindak serupa, mereka malah dipandang sebagai emosional atau manipulatif. Sindiran ini memperlihatkan standar ganda yang ada dalam hubungan, di mana perempuan sering kali harus memenuhi ekspektasi yang tidak realistis, sementara pria diberi kelonggaran untuk berperilaku toksik. Salah satu contoh yang mencolok dalam tren sindiran Gen Z adalah narasi seperti, "He sent me a paragraph explaining how he felt and I replied with 'idk what you want me to say rn." Dalam unggahan ini, perempuan menggunakan humor untuk membalikkan ekspektasi yang sering ada dalam hubungan. Jika biasanya perempuan dianggap sebagai pihak yang harus selalu memahami, peduli, dan responsif terhadap emosi pasangan mereka, narasi ini mengubah posisi tersebut dengan memberikan respons yang terkesan datar dan dingin, seperti bagaimana biasa-nya stereotype laki-laki merespons sebuah pesan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain seperti, "Told him I wanted to focus on myself then got with a new guy next week #WomenInMaleFields," adalah salah satu contoh cerdas dari cara Gen Z menggunakan humor untuk mengkritik standar ganda dalam hubungan. Unggahan ini menyindir perilaku umum pria yang sering kali mengakhiri hubungan dengan alasan ingin "fokus pada diri sendiri" atau "mengejar karir," hanya untuk kemudian terlihat dengan pasangan baru tak lama setelahnya. Dengan membalikkan situasi ini, perempuan menempatkan diri mereka dalam posisi yang sama, memberikan sentilan bahwa alasan tersebut seringkali hanyalah dalih belaka. Sindiran ini memperlihatkan ketidakadilan dalam cara masyarakat memandang keputusan yang diambil pria dan perempuan dalam hubungan. Ketika pria memberikan alasan "fokus pada diri sendiri," hal itu sering kali dianggap wajar, bahkan terpuji karena menunjukkan prioritas hidup yang jelas. Sebaliknya, jika perempuan menggunakan alasan yang sama, mereka kerap dianggap tidak jujur, egois, atau bahkan manipulatif. Bonding dan Solidaritas Digital Pada akhirnya, tren ini bukan hanya sekedar lelucon atau hiburan semata. Ia menjadi bahasa universal, sejenis love language yang membangun koneksi di antara perempuan, terutama di era Gen Z. Dengan humor dan sindiran, perempuan tidak hanya berbagi pengalaman mereka, tetapi juga menemukan kesamaan dalam cerita-cerita yang selama ini dianggap pribadi. Tren ini menunjukkan bahwa banyak perempuan, tanpa memandang latar belakang atau budaya, mempunyai pengalaman serupa dalam hubungan dan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Hal ini lebih dari sekadar tren satir; ini adalah bentuk dari trauma bonding di ruang digital, di mana perempuan menemukan kenyamanan dalam kebersamaan dan memahami bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi perilaku toksik atau standar ganda. Dengan cara yang ringan namun bermakna, Gen Z telah menciptakan ruang di mana perempuan dapat menceritakan pengalaman mereka, sekaligus menyuarakan kritik yang kuat terhadap dinamika hubungan yang tidak setara. Dan disitulah kekuatan sejati dari tren ini, ia menghubungkan kita semua sebagai perempuan, dengan sindiran sebagai media utamanya.
Kesimpulan
Lebih dari sekadar tren satir, fenomena ini mencerminkan bagaimana perempuan dapat menemukan kekuatan dalam kebersamaan dan solidaritas. Dengan humor sebagai medium utama, mereka tidak hanya menyuarakan kritik, tetapi juga membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas tentang kesetaraan gender. Seperti yang dijelaskan oleh Judith Butler, performativitas gender adalah cara untuk membongkar norma sosial yang mendominasi. Dalam hal ini, Gen Z menggunakan TikTok untuk menciptakan dunia mereka sendiri, sebuah dunia di mana humor menjadi alat perlawanan, dan solidaritas menjadi kekuatannya. Daftar Referensi: Butler, J. (1999). Gender Trouble : Feminism and the Subversion of Identity . New York: Routledge. Husna, Arina & Mairita, Desy. (2024). Gen Z dan Perilaku Konsumsi Konten Influencer pada TikTok. Jurnal Riset Komunikasi.
ADVERTISEMENT