Konten dari Pengguna

Apakah Kita Masih Perlu Beragama?

ferdiansyah ishaq
Anak muda yang sedang mencari Dragon ball
31 Desember 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ferdiansyah ishaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
  Sumber : Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pexels
Kepercayaan adalah hal yang umum dan sering kita dengar. Agama atau kepercayaan telah ada sejak zaman kuno, dimulai dari penyembahan objek-objek tertentu hingga keyakinan pada sosok yang dianggap memiliki kekuasaan atas kehidupan.
ADVERTISEMENT
Sebagai umat beragama, menjalankan ritual keagamaan seperti berdoa, merayakan momen foto, dan aktivitas serupa sudah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Di Indonesia, negara ini secara resmi mengakui enam agama utama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, menurut Ludwig Feuerbach¹, manusia memerlukan agama karena agama mencerminkan kebutuhan mendalam manusia untuk memahami dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Dalam karyanya *The Essence of Christianity* (1841), Feuerbach berpendapat bahwa agama pada dasarnya adalah proyeksi sifat-sifat manusia ke dalam konsep ilahi. Dengan kata lain, manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan citra dan harapan mereka sendiri.
Atas dasar inilah seringkali manusia menjadikan agama sebagai tempat pelarian ketika mereka tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan duniawi. Alih-alih menjadikannya sebagai alat untuk memotivasi kebangkitan dan melawan, agama justru dianggap sebagai tempat yang paling sempurna untuk membenarkan keburukan yang menimpa diri.
ADVERTISEMENT
Sungguh sangat disayangkan, namun itulah kenyataannya.
Lalu, apa konsekuensi dari pandangan semacam ini? Orang yang mempercayai bahwa takdir dan penindasan yang dialaminya berasal dari takdir Tuhan, mau tidak mau harus mentaati segala hal yang menimpa dirinya, bahkan jika itu berbentuk kezaliman dan eksploitasi terhadap sesama manusia. Mereka harus percaya bahwa segala keburukan, kezaliman, kemiskinan, dan kemelaratan adalah takdir terbaik yang diberikan agama padanya.
Salah satu kebiasaan orang Indonesia yang sering membuat kesal adalah memberikan jawaban yang tidak nyambung dengan pertanyaan yang diajukan. Ditanya apa, jawabnya apa. Terlebih lagi jika sudah membawa-bawa agama, pertanyaan apapun yang diajukan ujungnya pasti akan diarahkan ke agama sebagai solusi final. Masyarakat kita yang agamis ini sepertinya sudah memegang dogma bahwa agama adalah solusi dari segala permasalahan.
ADVERTISEMENT
_"Bagaimana cara memperbaiki perekonomian agar mereka bisa hidup lebih layak?"_ Maka, jawaban yang sering kita dengar adalah "dengan berdoa," alih-alih mencari penyebab ilmiah dari tingginya kemiskinan yang terjadi.
_"Bagaimana cara menghadapi isu kesehatan mental yang kini semakin ramai di kalangan anak muda?"_ Jawaban yang sering kita dengar adalah "solusi finalnya adalah kamu kurang maksimal dalam menjalankan perintah agama."
Melihat kenyataan ini, tidaklah mengherankan jika Marx pernah mengatakan bahwa agama adalah opium bagi masyarakat². Agama adalah kepercayaan yang tidak dapat menjadi dasar untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan, karena persoalan negara dan masyarakat tidak berakar pada kepercayaan agama, melainkan pada kondisi sosial.
Marx menekankan bahwa agama sering kali digunakan sebagai alat untuk menghalangi perubahan sosial dengan mengalihkan perhatian rakyat dari perjuangan memperbaiki kondisi duniawi mereka ke janji kehidupan setelah mati. Dalam masyarakat feodal, agama juga berfungsi sebagai alat legitimasi politik melalui konsep "hak ilahi raja" (divine right of kings). Para penguasa seringkali mengklaim bahwa kekuasaan mereka berasal langsung dari Tuhan, sehingga setiap bentuk perlawanan dianggap sebagai dosa. Dengan cara ini, agama berfungsi untuk menundukkan rakyat dan mempertahankan sistem kekuasaan yang menindas.
ADVERTISEMENT