Konten dari Pengguna

SNBP dan Permasalahan Ketimpangan Digital

Fernandito Dikky Marsetyo
Research and Development Associate, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada
20 Februari 2025 15:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fernandito Dikky Marsetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa SMA. Foto: Agewib/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa SMA. Foto: Agewib/Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Data dari Panitia SNPMB (2025) mengungkapkan bahwa hingga batas akhir pengisian PDSS, sebanyak 21.003 sekolah telah menyelesaikan finalisasi pengisian data. Lanjutnya, berdasarkan hasil evaluasi, terdapat 373 sekolah yang sudah melengkapi data isian yang memenuhi syarat (eligible), seperti melengkapi nilai siswa dalam lima semester, namun belum melakukan finalisasi data.
Kesempatan perpanjangan pengisian data tercatat diberikan sebanyak tiga kali oleh panitia kepada sekolah yang belum menyelesaikan finalisasi data. Namun demikian, hingga batas akhir perpanjangan pengisian data pada 8 Februari 2025, masih terdapat sekolah yang belum mampu menyelesaikan pengisian data PDSS, sehingga membuat siswa tidak dapat mengikuti SNBP.
Perlu diketahui bersama bahwa Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) menjadi elemen krusial dalam Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). PDSS berisi rekam data akademik siswa, yang digunakan sebagai dasar seleksi masuk perguruan tinggi (PTN) melalui jalur prestasi atau tanpa tes. Apabila sekolah gagal melakukan finalisasi PDSS, maka siswa yang seharusnya memenuhi kriteria untuk mendaftar SNBP tidak akan bisa melanjutkan ke tahap seleksi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Dalam polemik ini, sekolah dan guru yang lalai menjadi titik kemarahan siswa. Siswa dan orang tua di sejumlah sekolah melakukan demonstrasi dan meluapkan kekecewaan mereka akibat dari kelalaian sekolah. Namun demikian, polemik ini dapat dilihat secara lebih luas bahwa ini bukan sekadar masalah kelalaian atau teknis administratif semata, melainkan cerminan ketimpangan digital di Indonesia.

Ketimpangan Sebagai Sumber Masalah

Sistem penerimaan mahasiswa baru ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Penggunaan sistem online melalui PDSS tercatat sudah dimulai pada tahun 2013. Saat itu, pemerintah memperkenalkan sistem Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) melalui sistem online dengan mekanisme seleksi rapor. Penggunaan sistem ini terus digunakan dan berkembang hingga saat ini.
Namun, pada kenyataannya, sistem ini terus menghadapi kendala yang berulang setiap tahun: keterlambatan sekolah dalam melakukan finalisasi data siswa. Masalah ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai kesalahan teknis, melainkan bukti dari keterbatasan sumber daya yang dihadapi oleh sekolah, khususnya dalam pemanfaatan teknologi digital. Studi yang dilakukan oleh UNICEF (2021) menjelaskan bahwa ketimpangan pendidikan di Indonesia terlihat dalam konektivitas digital sekolah, akses ke program dan platform pembelajaran digital, serta kesenjangan keterampilan digital yang signifikan antara guru dan siswa di berbagai wilayah.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai studi, Onitsuka et al., (2018) menyatakan bahwa ketimpangan digital bukan hanya terkait dengan akses terhadap teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan individu dalam memanfaatkan teknologi digital secara efektif. Dalam studi lainnya, Ragnedda & Ruiu (2017) juga menegaskan bahwa ketimpangan digital tidak hanya mencakup kesenjangan dalam kepemilikan infrastruktur, tetapi juga mencerminkan ketidakmerataan keterampilan dalam mengoptimalkan teknologi.
Sistem seleksi untuk masuk ke perguruan tinggi terus mengalami perkembangan dan perubahan format, tetapi masalah administratif tetap terus berulang. Alih-alih menjadi lebih inklusif, kebijakan seleksi ini justru membebani sekolah-sekolah dengan keterbatasan sumber daya. Jika pemerintah serius dalam menjamin akses pendidikan yang adil, sistem seleksi masuk perguruan tinggi harus lebih inklusif dan responsif terhadap kondisi sekolah di Indonesia yang beragam. SNBP yang memberikan tanggung jawab besar kepada sekolah memang patut diapresiasi. Akan tetapi, hal ini harus diiringi dengan jaminan bahwa semua sekolah memiliki kapasitas penguasaan administrasi pendidikan berbasis digital yang memadai. Kasus 373 sekolah yang belum mampu menyelesaikan finalisasi data PDSS tidak bisa disimpulkan dengan justifikasi kelalaian saja.
ADVERTISEMENT
Jika persoalan utama ini terus diabaikan, persoalan eksklusi sosial di dunia pendidikan akan terus berjalan. Administrasi yang buruk sering kali menjadi penyebab utama problem eksklusi ini. Lipsky (1980) menegaskan bahwa kebijakan yang tampaknya netral di tingkat pusat, dapat menjadi alat eksklusi di tingkat implementasi, terutama bagi kelompok rentan yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang memadai. Dalam konteks SNBP, siswa yang bersekolah di wilayah dengan administrasi pendidikan digital yang lemah, berpotensi kehilangan haknya bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena kegagalan sistem dalam memberikan kesempatan yang sama.

Perlunya Perubahan

Untuk mengatasi persoalan ini, ada tiga langkah utama yang perlu dilakukan guna memperkuat kapasitas sekolah dalam pengelolaan administrasi pendidikan secara digital. Pertama, pemerintah perlu menyediakan sistem administrasi digital yang sederhana dan terintegrasi. Dengan platform yang mudah digunakan, sekolah dapat mengelola data akademik secara real-time tanpa kendala teknis yang berlebihan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap sekolah memiliki akses yang sama terhadap teknologi ini, termasuk dukungan infrastruktur yang memadai.
ADVERTISEMENT
Kedua, aspek penguatan kapasitas (capacity building) dalam wujud pelatihan digital bagi guru dan tenaga kependidikan harus menjadi prioritas. Sekolah membutuhkan staf yang terlatih dalam administrasi digital agar kesalahan teknis tidak terus berulang. Program pelatihan harus berkelanjutan dan berbasis kebutuhan, dengan pendekatan praktis yang memungkinkan tenaga pendidik untuk langsung mengaplikasikan keterampilan mereka dalam pengelolaan data siswa.
Ketiga, perlu adanya skema pendampingan bagi sekolah yang mengalami kesulitan dalam finalisasi data. Sekolah yang memiliki kapasitas lebih baik dapat berperan sebagai mentor bagi sekolah lain melalui kemitraan strategis. Selain itu, tim pendamping dari pemerintah dan dinas pendidikan daerah harus aktif membantu sekolah-sekolah yang menghadapi tantangan administratif, terutama di wilayah yang memiliki keterbatasan akses teknologi.
ADVERTISEMENT

Pendidikan adalah Hak

Ketika sekolah gagal dalam aspek administrasi pendidikan, yang dikorbankan bukanlah sistem, tetapi para siswa. Mereka yang seharusnya mendapatkan hak untuk bersaing, justru tersisih akibat problem teknis administratif. Jika pemerintah maupun sekolah tidak segera melakukan perbaikan, maka setiap tahun akan ada lebih banyak siswa yang kehilangan haknya karena sistem gagal menjamin keadilan bagi mereka.
Tidak ada alasan bagi kebijakan seleksi masuk perguruan tinggi untuk menjadi penghambat bagi siswa yang ingin maju. Pendidikan harus menjadi alat untuk menciptakan mobilitas sosial, bukan justru menambah ketimpangan yang sudah ada. Jika negara ini benar-benar ingin membangun masa depan berbasis sumber daya manusia yang unggul, maka memperkuat kapasitas sekolah dalam pengelolaan administrasi pendidikan berbasis digital harus menjadi prioritas.
ADVERTISEMENT